Menjadi Indonesia: Masihkah Realistis?

7 12 2007

Pertanyaan di atas terbuka bagi siapa saja yang ingin menjawabnya. Tentu, banyak ragam jawab dan interpretasi yang akan muncul menanggapi soal tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegelisahan untuk melanjutkan pembangunan bangsa ini sekarang makin menguat dan menggumpal dalam sikap fatalistis: apakah kita masih bisa terus berjalan dalam komitmen kebangsaan yang bernama Indonesia? Kegundahan itu bukannya tidak beralasan bila kita melihat eskalasi suhu politik tanah air yang akhir-akhir ini makin memanas. Banyak faktor yang memicu munculnya gejolak tersebut. Adalah suatu kenyataan bahwa gejolak internal berdampak sangat signifikan bagi upaya pemulihan situasi sosial Indonesia yang sementara tertatih-tatih.

Kita memang sedang membangun kembali infra- maupun suprastruktur negara kita yang sudah terpuruk selama beberapa tahun terakhir ini akibat disorientasi dalam penataan sistem bernegara di segala bidang. Tentu saja, pembangunan yang dimaksud tidak hanya dalam arti yang fisik semata, melainkan lebih pada rekonstruksi struktur kesadaran dan mentalitas kebangsaan yang dilandaskan pada ideologi nasional yang disepakati bersama. Kesepakatan ideologis itulah yang sebenarnya memberikan “roh” bagi eksistensi dan daya tahan hidup suatu bangsa. Inilah sebenarnya makna hakiki dari apa yang sering disebut nation building.

Karakter nation building itu sendiri bukanlah wahyu ilahi yang jatuh dari sorga, tetapi produk pergulatan manusia memaknai inter-relasi dengan sesamanya dalam wujud simbol-simbol kebudayaan tertentu. Simbol-simbol kebudayaan ini meski merupakan pantulan refleksi manusia universal namun toh tetap merupakan suatu ekspresi yang terkungkung dalam batasan-batasan berdimensi temporal. Apalagi ketika simbol-simbol kultural tersebut mengalami proses institusionalisasi, yang berarti dia makin memperoleh legitimasi sosial dalam pengambilan keputusan publik. Dengan kata lain, sebagai simbol-simbol kebudayaan, karakter tersebut tidak bersifat perenial, tetapi selalu mengalami metamorfosis baik secara natural maupun artifisial. Itu semua terjadi karena setiap manusia memiliki perbedaan persepsi mengenai eksistensi kediriannya di dalam konteks hidup masing-masing. Jadi, manusia itu sendiri tidak bebas nilai karena dikurung dalam “rumah” tradisi, bahasa, kekerabatan, adat-istiadat, religiositas, pandangan dunia dan pengetahuannya.

Kendati demikian, manusia tidak tenggelam dalam kenisbian kultural tersebut. Sebagai makhluk yang selalu menjadi atau berproses, manusia terus menerus memberi makna kepada dunianya dalam kerangka membangun suatu peradaban yang lebih maju daripada yang sudah ada. Oleh karena itu, manusia mesti bersosialisasi. Sebab peradaban itu sendiri mesti dibangun bersama-sama. Sosialisasi ini merupakan lompatan keluar dari kurungan kebudayaannya untuk berjumpa dengan mereka yang lain, yang juga melompat keluar dari kurungan yang sama meski konteks berbeda. Pada saat itulah terjadi perjumpaan kreatif yang mendorong terciptanya kehidupan baru dengan spektrum yang lebih kompleks dan berwarna-warni.

Karakter nation building adalah suatu bentuk lompatan keluar untuk bertemu sebagai manusia-manusia yang berkehendak secara sadar melakukan dialog komunikatif di dalam suatu tatanan sosial yang beradab. Implikasi pengertian ini mencuat dalam aspek eksternal dan internal. Secara internal, tatanan sosial yang disebut masyarakat itu secara kontinyu bergerak dengan aturan mainnya sendiri. Secara eksternal, masyarakat itu juga meretas kebuntuan komunikasi dengan masyarakat lainnya sehingga mereka bisa membentuk masyarakat dengan identitas yang lebih makro. Pada titik inilah sebenarnya kita bisa memahami makna globalisasi.

Jadi, karakter nation building itu sendiri merupakan perpaduan dinamis antara apa yang internal dan eksternal, lokal dan global. Fenomena itu sudah berlangsung berabad-abad, meski intensitas globalisasi (eksternal) lebih terasa selama beberapa dekade akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. itu disebabkan oleh gebrakan teknologi komunikasi dan informasi yang memperlancar akselerasi relasional antar-manusia, antar-bangsa, antar-peradaban.

Benturan Peradaban

Prof. Samuel Huntington, guru besar ilmu politik internasional dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, pernah mengajukan tesis mengenai benturan peradaban (clash of civilization). Ia mencermati bahwa pasca perang dingin akan terjadi suatu pergeseran besar dalam peta kekuatan politik global yang lebih banyak dimotori oleh perubahan-perubahan mendasar dalam kepentingan politik internasional dari kedua negara superpower Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Sejarah mencatat bahwa dalam dinamika hubungan internasional yang fluktuatif dan kadang-kadang memanas, Uni Sovyet tidak mampu lagi survive dengan ideologi sosialis Marxis-Leninisme sehingga ambruk dan terpecah menjadi negara-negara kecil yang sampai hari ini masih terus diguncang perang saudara. Amerika Serikat, simbolisasi kekuatan kapitalisme dunia, seolah-olah muncul sebagai pemenang. Itu juga berarti AS menjadi satu-satunya negara adikuasa. Kenyataan ini telah menggiring AS untuk menempatkan diri sebagai satu-satunya negara super-modern yang paling berpengaruh di dunia. Justru di situ soalnya: AS tidak lagi memiliki musuh utama yang mampu menjadi rival sekaligus kontrol atas segala kiprahnya. Sebagai yang demikian, AS bebas menanamkan cakarnya di segala bidang (pertahanan, ekonomi, politik, pendidikan, teknologi dsb) dan hampir di semua negara. AS menjadi kekuatan imperialisme baru yang menciptakan “musuh-musuh” ideologis baru dalam suatu jejaring global.

Kenyataan ini bagi sementara pihak menimbulkan persoalan karena AS memberlakukan double standard: menjadi kiblat modernitas sebagai garda utama kebebasan manusia (HAM), sekaligus kekuasaan yang represif. Pemberlakuan standar ganda ini paling jelas tampak dari keterlibatan AS dalam konflik Palestina-Israel. Bagi AS sendiri, sulit melepaskan citra sebagai “pihak yang selalu mengalah” ketika berhadapan dengan Israel yang “keras kepala” dalam kasus ini (sudah menjadi rahasia umum bahwa posisi-posisi vital di pemerintahan AS didominasi oleh kelompok Yahudi perantauan). Meski sebenarnya lebih bernuansa politis, namun di lingkungan internasional, konflik Palestina-Israel telah berkembang secara manipulatif menjadi konflik agama (Yahudi vs Islam). Tetapi karena Yahudi secara salah kaprah selalu dikaitkan dengan Kristen maka jadilah konflik segitiga: Yahudi-Islam-Kristen. Pada momentum inilah, menurut saya, sedang terjadi suatu benturan kebudayaan yang luar biasa hebatnya karena sudah mengalami bias ke ranah paling sensitif: agama. Apakah ini yang dimaksud Huntington sebagai benturan peradaban? Saya kurang yakin. Sebab saya percaya Huntington tidak akan mengabaikan konflik Inggris-Irlandia Utara yang juga sarat dengan muatan konflik agama (Protestan vs Katolik); atau India-Pakistan (Hindu vs Islam).

Apa yang bisa dikatakan secara singkat hanyalah bahwa pada dasarnya tidak ada satu konflik pun yang disebabkan oleh perbedaan agama. Seluruh konflik yang terjadi sebenarnya hanya memperebutkan satu saja: KEKUASAAN. Siapa yang menguasai siapa dan apa yang bisa dipakai untuk menguasai orang lain. Di sinilah sebenarnya agama pada tampilan wajahnya yang lain menunjukkan potensi dimanipulasi sebagai “senjata” untuk melumpuhkan, mematahkan kekuasaan pihak lain dan menguasainya. Agama telah menjadi fenomena sosial yang sangat ideologis. Dalam wacana ini pula, “Tuhan” sebagai Realitas Ultim-Transenden bergerak secara antropomorfis menjadi “panglima perang” yang memberangus musuh-musuhNya (atau musuh manusia?). Betapa mengerikan bila kekuasaan Tuhan sebagai Realitas Ultim takluk di bawah kekuasaan manusia yang terbatas dan definit. Kalau sudah begitu, siapa yang menjadi “tuhan”? Tuhan itu per se dalam misteri adikodrati-Nya, atau manusia yang menuhankan dan mentransendensikan kekuasaannya sendiri?

Indonesia: di persimpangan jalan

Pasca peristiwa 11 September 2001, ketegangan meruncing antara AS dengan kelompok teroris [?] yang selama ini sudah beberapa kali melakukan aksi teror dalam berbagai bentuk di AS (mungkin juga di negara-negara lain sekutu AS). Banyak analisis yang melihat pertautan antara aksi vandalis di World Trade Center New York dan Markas Pentagon Washington DC dengan kekecewaan kelompok-kelompok perjuangan nasional pembebasan Palestina atas sikap AS yang ambivalen terhadap konflik Palestina-Israel. Ada pula yang melihat bahwa rangkaian peristiwa teror ini tidak dapat dilepaskan dari kegeraman seorang Osama bin Laden yang merasa dikhianati oleh AS ketika ia (dan kelompok Al-Qaedha) berjuang melawan tirani kekuasaan despotik Uni Sovyet di Afganistan. AS sendiri yang menginjeksi energi (persenjataan) kepada Osama bin Laden saat itu dan mempunyai andil membesarkan embrio perjuangan Al-Qaedha. Meski kemudian hubungan Osama dan militer AS makin memburuk.

Ada atau tidak bukti-bukti yang menunjuk pada keterlibatan Osama memang sulit dipertanggungjawabkan. Seperti yang dikatakan oleh Mayjen TNI Sudrajat (mantan Kapuspen TNI) dalam wawancara di salah satu stasiun TV swasta baru-baru ini, bahwa pembuktian pelaku teror sulit dilakukan dan memang selama ini tidak pernah dirasa perlu untuk dilakukan. Tetapi AS membutuhkan target untuk menumpahkan kekesalannya, maka dipilihlah Osama bin Laden.

Polemik terjadi ketika figur Osama ternyata telah menjadi simbolisasi persona yang diidentikkan dengan Islam. Sehingga serta-merta aksi penyerangan ke Afganistan, yang dikuasai kelompok Taliban yang dicurigai AS telah melindungi Osama, langsung dikaitkan sebagai penyerangan terhadap Islam. Osama memang seorang muslim. Tetapi apakah Islam benar-benar terwujud dalam diri seorang Osama? Belum tentu. Islam lebih besar dan universal daripada seorang Osama bin Laden. Di sinilah sebenarnya letak crucial point ketika agama telah diperalat menjadi “senjata” kekuasaan. Kita tidak tahu lagi mana yang menjadi peubah (variabel) utama yang mesti menjadi kekuatan nilai: agama atau simbolisme persona? Prof. Ibraim Abu-Rabi, guru besar Agama Islam dari Universitas Temple, Amerika Serikat, dalam makalahnya yang disampaikan pada Congres of Asian Theologians ~ Christian Conference of Asia (Dewan Gereja-gereja Asia) di Yogyakarta Agustus 2001, mengatakan secara singkat tapi mengesankan bahwa “banyak muslim tetapi tidak semuanya adalah Islam”. Artinya, lanjut beliau, Islam pada hakikatnya bersifat universal dan cenderung dimengerti-salah oleh kaum muslim karena keterbatasan konteks dan kebudayaan mereka.

Posisi Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia cukup sulit menyikapi situasi ini. Maraknya tuntutan massa (yang menurut sebagian tokoh muslim dinilai tidak realistik) menimbulkan beragam interpretasi, mulai dari yang moderat hingga radikal. Kentara sekali bahwa perpaduan emosionalitas dan rasionalitas kadang berhimpit sedemikian rupa sehingga tidak mampu lagi dicandra secara jernih.

Solidaritas menjadi terminologi kunci yang mendorong aksi-aksi kelompok-kelompok muslim di Indonesia. Untuk itu, mereka rela berjihad (entah dalam makna apa, sebab pengertian istilah inipun sangat bervariasi). Pertanyaan saya: apakah solidaritas kepada saudara-saudara muslim di Afganistan hanya bisa muncul dari kalangan muslim? Saya kira di sini sering terjadi kesalahpahaman. Solidaritas tidak selamanya mencuat dalam aksi massif di jalan-jalan, tetapi juga bisa dalam bentuk hening, meditasi dan doa. Dan itu juga dilakukan oleh setiap orang yang masih punya hati nurani kemanusiaan (tanpa pandang apa agamanya).

Presuposisi tersebut sebenarnya hendak membentangkan realitas kebangsaan kita yang jamak (plural). Pluralitas itulah yang menjadi karakter nation building kita sebagai sebuah Indonesia. Solidaritas kita tunjukkan bukan karena Indonesia berpenduduk mayoritas muslim, tetapi karena kita memang sudah bersepakat untuk hidup dalam pergaulan global. Kita tidak kaku dengan pendekatan pluralisme global karena Indonesia telah menempa kita untuk hidup dalam solidaritas lintas-peradaban (budaya, agama, bahasa).

Jadi, pemaknaan solidaritas secara sempit hanya pada dan dari kelompok yang homogen, sama saja mereduksi makna “Indonesia” ke titik nadir peradabannya sendiri. Para bapak/ibu pendiri bangsa kita tidak memilih nama “Republik Jawa” meski suku Jawa mayoritas; mereka juga tidak memilih “Republik Islam” meski mayoritas penduduknya beragama Islam. Tetapi mereka memilih nama baru “Indonesia” yang memberi ruang hidup bagi segenap manusia dengan kekayaan ekspresi kulturalnya masing-masing. Selain pluralitas, kesetaraan di antara manusianya juga dijamin secara konsekuen. Sehingga Indonesia sebagai realitas politik baru (lahir 17 Agustus 1945) menjadi suatu tempat di mana perjumpaan kemanusiaan terjadi dan terus berlangsung. Sekali lagi, jika tetap setia pada komitmen para pendiri bangsa ini untuk membentuk suatu negara modern yang berwawasan humanis, bukan sektarian atau primordial.

Indonesia seperti itu pada hakikatnya memberikan suatu kelonggaran bagi pendewasaan berdemokrasi yang santun tanpa mesti terperangkap dalam segmen-segmen primordialisme yang vulgar. Namun, toh kalau ternyata sepanjang perjalanan sejarahnya, kita melihat bahwa untuk menjadi bangsa yang dewasa membutuhkan proses jatuh-bangun, sejauh itu mendorong pemerdekaan setiap warga negara, itu harus dipacu dan dipertahankan. Sebaliknya, bila ternyata komitmen untuk menjadi bangsa yang majemuk dengan wawasan modern tidak lagi mempunyai kekuatan ideologis yang mengikat dan pada akhirnya menciptakan polarisasi yang makin mengerucut, maka kita perlu melakukan re-visi: masih relevankah kita menyebut diri orang Indonesia tanpa suatu keterbukaan untuk menerima kehadiran orang lain secara setara? Atau kesadaran historis kita sudah menjadi begitu pejal sehingga seperti orang linglung yang lupa daratan? Atau mungkin yang lebih spesifik: masih realistiskah untuk menjadi Indonesia?





Tolak Bush atau AS

7 12 2007

Gelombang demonstrasi menolak kedatangan Presiden Amerika Serikat (AS) George W. Bush terus mengalir. Berbagai komentar pun mencuat dari para politisi, akademisi maupun rakyat. Reaksi atas kunjungan Presiden AS itu memang mesti disikapi secara arif.

Pada satu sisi, protes sebagian elemen masyarakat Indonesia mengindikasikan bangkitnya sikap kritis terhadap praktik-praktik kekuasaan despotik yang selama ini dipamerkan AS melalui berbagai kebijakan luarnegerinya. Sikap kritis itu, terutama dari rakyat Indonesia, sebenarnya merupakan pesan keras kepada pemerintah AS yang pasca Perang Dingin memproklamirkan eksistensinya sebagai “polisi dunia”. Kepongahan politik itu nampak dalam wujud kebijakan luarnegeri yang sarat kekerasan. Lihat saja sepak terjang militer AS dan sekutunya di Afganistan dan Irak. Alih-alih melahirkan demokrasi yang dijargonkan oleh Presiden Bush, kebijakan luar negeri dan kampanye antiteror AS malah menyeret rakyat negara-negara tersebut ke dalam kancah perang saudara yang paling mengerikan awal abad ini. Pada titik itu, kita harus berkonfrontasi dengan AS.

Di sisi lain, sikap kritis terhadap kunjungan Bush sebagai Presiden AS seharusnya menjadi momentum untuk menunjukkan kedewasaan politik kita sebagai suatu bangsa yang berdaulat. Untuk itu, protes yang tak kalah kerasnya juga mesti disasarkan kepada pemerintah Indonesia yang akan melakukan percakapan kenegaraan selama kurang lebih 10 jam. Transparansi agenda percakapan kedua pemimpin negara itu layak untuk diketahui dan dicermati secara luas. Agenda tersebut akan menjadi indikator apakah memang kita (Indonesia) memposisikan diri sebagai pihak tertunduk ataukah mitra sejajar dalam hubungan politik bilateral. Dalam konteks ini, keberanian kita sedang diuji untuk menunjukkan kesantunan politik sebagai bangsa yang berdaulat melalui keterbukaan dan keramahan menerima seorang tamu negara, sekaligus oposisi.

Agenda Politik Kemanusiaan

Agenda pertemuan kedua pemimpin negara ini tentu sangat berkait dengan hubungan kerjasama bilateral. Namun, hal terpenting yang mesti ditempatkan sebagai roh dari percakapan tersebut ialah upaya membangun sebuah diskursus politik dan praktik kebijakan internasional yang lebih manusiawi. Kekalahan Partai Republik dalam perebutan kursi Kongres Amerika Serikat (DPR dan Senat AS) membuktikan bahwa pemerintahan yang “keras” dan “militan” seperti yang dilakonkan oleh Bush, tidak lagi populer dan diminati oleh rakyat AS. Rakyat sudah capek dengan isu-isu kekerasan yang tak kunjung reda mendera publik AS.

Di pihak Indonesia, pemerintahan SBY-JK pun menghadapi sederetan masalah rumit yang saling bertemali. Begitu rumitnya hingga Presiden SBY merasa perlu membentuk unit kerjanya sendiri. Sayang, bukan makin mengurai kekusutan masalah, kehadiran unit kerja presiden ini justru “dianggap” memperumit masalah. Belum lagi persoalan-persoalan seperti teror di Poso, lahirnya generasi baru yang tak gentar bereksperimen dengan bom bunuh diri, kabut asap, bertambahnya orang yang terinfeksi HIV/AIDS secara signifikan setiap tahun, flu burung, sampah, tenggelamnya sebagian Sidoarjo oleh pancaran lumpur panas, dan masih banyak lagi.

Indonesia dan AS mempunyai masalah dalam negerinya masing-masing. Namun tidak dapat disangkali bahwa dalam konteks mondial saat ini setiap negara tidak bisa lagi melihat dan memperlakukan suatu masalah sebagai masalahnya sendiri. Apa yang kita hadapi sekarang ini lebih merupakan jejaring masalah berkelindan. Tetapi sepanjang sejarah hubungan Indonesia-AS, kita nampaknya selalu menjadi pihak yang terpinggirkan. Secara fisik kita diakui ada tapi visi kita acap diabaikan. Pola relasional semacam itu merupakan refleksi relasi penjajah-terjajah dalam kemasan yang lebih cantik atau “neo”. Ironisnya, kerangka pikir kita pun terbentuk secara hegemonik untuk mengidentifikasi diri dalam perspektif yang ditentukan oleh “sang penjajah” [lihat bentukan gaya hidup melalui media dan kurikulum pendidikan].

Kritik agar Indonesia tidak berlaku sebagai negara jajahan yang tidak punya harga diri patut diperhatikan secara serius. Namun indikatornya tidak bisa hanya pada sebuah peristiwa kunjungan Bush ke Indonesia dengan penyambutan yang [terkesan] berlebihan. Bush [saat ini] tidak bisa dilihat terlepas dari kekuasaannya sebagai Presiden AS. Oleh karena itu, perspektif kritis baiknya ditujukan kepada manajemen kekuasaan politik-ekonomi-pendidikan pemerintah AS yang tidak manusiawi dan punya andil besar menghancurkan masa depan bumi dan umat manusia.

Masalah-masalah pelik kita di dalam negeri saat ini tak lepas dari invisible hands AS atau sebagai dampak politik luarnegeri AS. Jika kita mendaku bahwa kita bukan bangsa terjajah, mestinya seluruh perspektif dan gaya politik nasional kita berorientasi pada kemandirian strategi politik yang kontekstual. Sebab tak terpungkiri bahwa kita sekarang memang sedang tertindas di bawah hegemoni politik-ekonomi-pendidikan AS dan negara-negara Barat lainnya, yang menjadi patron modernisasi dan demokrasi. Masalah-masalah itu tidak bisa dihadapi hanya dengan demonstrasi dan aksi bakar bendera AS saja, tetapi harus lebih substansial menusuk ke jantung persoalan kita di Indonesia: KEMISKINAN. Harga diri kita jatuh bukan karena rusaknya [sebagian] Kebun Raya Bogor untuk membuat helipad. Harga diri kita mestinya lebih terusik dengan seabreg masalah yang melilit kita dalam benang kusut kemiskinan dan kekerasan yang terus menerus menimbulkan korban jiwa dari antara anak bangsa ini.

Jika ada seorang anggota DPR yang dengan keras menolak kunjungan Presiden AS karena alasan “Orang ini penjahat perang yang tangannya berlumuran darah”, maka itu seharusnya menjadi kritik-diri kepada kita semua: apakah tangan-tangan kita bersih dari lumuran darah? Ataukah kita sebenarnya setuju dengan Bush-way tapi memolesnya dalam topeng hipokrisi agar kita kelihatan lebih “bermartabat”? Kalau memang kita menolak Bush karena kekuasaannya sebagai presiden telah menimbulkan pertumpahan darah di mana-mana, itu berarti gaya politik kita seharusnya tidak boleh menimbulkan pertumpahan darah; atau minimal berkeinginan membangun kehidupan bersama yang pluralistik dan demokratis tanpa harus selalu pamer kekuatan untuk memaksakan keinginan, seperti yang dilakukan oleh Bush, bukan? Bush adalah gambaran pemimpin yang sebenarnya tidak berkarakter pluralistik dan demokratis. Mungkin karena faktor itu pula popularitasnya hancur di dalam dan luar negeri AS. Tetapi AS tentu tidak identik dengan Bush. Nah, dengan demikian yang jadi soal lagi-lagi harus kita pilih: sebenarnya kita menolak Bush atau Amerika Serikat? Kita tunggu saja sejauh mana nyali keindonesiaan kita teruji berhadapan dengan “Mr. President”.





Pemilihan Presiden: Mencoba Melihat Sisi Lain

7 12 2007

KETIKA terjebak dalam antrian panjang mobil di perempatan jalan Jakarta suatu sore, pikiran penulis terusik oleh pemandangan “umum” sekelompok anak kecil dan remaja yang menadahkan tangan dari mobil ke mobil. Mereka menyanyikan untaian bait sebuah lagu pop dengan nada sumbang diiringi ecek-ecek-nya, dan seorang anak cacat sengaja “dipajang” di atas trotoar pembatas di antara pilar-pilar beton penyangga jalan tol.

Yang menarik dan ironis, pilar-pilar beton di sepanjang jalan itu dipenuhi poster-poster sejumlah figur yang saat ini sedang berlomba-lomba menjadi “Indonesian Idol” di mata dan hati rakyat. Menarik, karena selain menampilkan wajah simpatik para kontestan, poster-poster itu juga disertai pernyataan-pernyataan lucu, agak bombastik, kendati lebih banyak tidak realistik.

Ironis, karena poster-poster itu menghadirkan sang tokoh secara simbolik di tengah suatu konteks mikro secara paradoksal. Penulis yakin, para sahabat yang setiap hari mempertaruhkan hidupnya bermandi debu dan asap kendaraan di jalanan pasti sempat menikmati pameran poster-poster itu, meski hanya sekilas.

Mungkin tidak banyak mereka yang tahu bahwa sebenarnya “nasib” para tokoh itu sedikit banyak ditentukan oleh partisipasi politik mereka sebagai warga negara. Mungkin juga banyak dari mereka yang tahu bahwa sosok dalam poster itu sebenanya tidak mereka kenal, karena orang-orang itu tidak hadir dalam realitas sosial hidup mereka sebagai rakyat miskin-jelata secara konkrit. Dan kini, menjelang pemilihan presiden, orang-orang itu seperti turun dari “sorga dunia” untuk menjenguk mereka yang terperangkap dalam “neraka dunia”.

Pemandangan kemiskinan kota adalah sebuah fragmen kecil dari mosaik realitas sosial masyarakat Jakarta. Masih banyak fragmen-fragmen hidup rakyat lainnya yang membentuk jati diri Jakarta sebagai tipe masyarakat kosmo-urban Dunia Ketiga. Realitas kemiskinan kota adalah sebentuk wajah kekerasan struktural yang sebenarnya telah menciptakan suatu pola mata-rantai kriminalitas dari level kelas teri (petty crime) hingga ke level mafia profesional yang, sudah jadi rahasia umum, turut melibatkan komponen-komponen kunci negara.

Tetapi tampaknya fragmen kemiskinan kasat-mata itu sama sekali tidak menggelitik kepekaan calon-calon pemimpin yang saat ini sedang bertarung menuju kursi presiden. Secara pragmatis isu kemiskinan diperlakukan hanya sebagai aset yang siap dijual untuk sebuah target politik. Pertanyaan sederhana yang menyeruak: benarkah calon-calon pemimpin bangsa ini memang memiliki kepekaan nurani atas nasib rakyatnya? Jawabannya tentu sangat bergantung pada bobot subjektivitas personal.

Yang pasti, kepekaan seorang pemimpin terhadap geliat perjuangan hidup dan penderitaan rakyatnya adalah modal sosial yang sangat penting. Seorang (calon) pemimpin bisa saja berkoar-koar dengan sederetan panjang elaborasi teoretik mengenai rencana dan program-program kerja yang akan dilakukannya, tetapi tanpa kepekaan, bisa jadi seluruh uraian programnya hanya mengawang, tidak menggawang.

Spiritualitas Politik

Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang cerdas. Itu pasti. Namun kecerdasan tidaklah cuma terukur pada kemampuan membaca teks-teks teori sehingga menampilkannya bak ensiklopedi berjalan, atau pada gelar akademik yang disandang. Lebih jauh, dia juga semestinya mampu membaca konteks secara cermat dengan kepekaan nurani yang tajam. Kepekaan nurani tidak lahir dalam ruang-ruang kelas kuliah di kampus-kampus atau di ruang-ruang seminar.

Kepekaan nurani lahir dari pergolakan batin yang menatap kenistaan dan penderitaan manusia sebagai sebuah penghinaan bagi kemuliaan Tuhan, Sang Pencipta. Artinya, kesadaran itu hanya terbentuk dalam realitas “jalanan”, di mana seluruh jejaring kompleks aktivitas riil manusia berlangsung secara telanjang. Dalam lingkup pemahaman sedemikian, eksplorasi keberagamaan menjadi salah satu kunci utama dalam prospek kepemimpinan di republik ini.

Jika dibahasakan secara lain, seorang pemimpin semestinya memiliki visi teologis yang membentuk seluruh konstruk kesadaran dan moralitasnya, sebagai pertanggungjawaban amanah kepemimpinannya kepada rakyat dan Tuhannya. Visi teologis seorang negarawan menjadi penting, karena melaluinya seorang pemimpin bangsa menyadari batas-batas kekuasaannya sebagai manusia. Ini merupakan refleksi dari kemahatakterbatasan Sang Tuhan, sehingga ia tidak mencoba-coba menuhankan dirinya melalui eksperimentasi kekuasaan-tanpa-batas.

Konstatasi itu tidak hendak menempatkan “agama” sekadar sebagai sekumpulan simbol-simbol khusus atau ritual-ritual tertentu, melainkan menaruhnya dalam bingkai sistem nilai dan rujukan moralitas yang membatasi keliaran kehendak bebas manusia. Dengan demikian, agama menjadi sebuah spiritualitas yang melampaui dan mengatasi absurditas kekuasaan manusia. Sebagai spiritualitas, agama terbebas dari kungkungan simbolisme yang sering justru mendorong kekuasaan manusia menjadi absurd.

Realitas keberagamaan di Indonesia merupakan kenyataan yang tak tersangkal. Agama-agama mampu menjadi kekuatan perekat sosial bagi keutuhan bangsa ini sejauh para pelaku mengagama memberi ruang interpretatif yang leluasa bagi terbangunnya proses dialog kemanusiaan.

Sayangnya, sejarah hidup agama-agama di dunia, kental diwarnai oleh konflik dan kekerasan, justru karena terlalu banyak memberi ruang bagi kehebatan “tuhannya” masing-masing di bumi yang satu. Kala “si tuhan” kelompoknya menjadi jagoan, maka para penyembahnya pun harus jadi jagoan. Orang lain atau kelompok (agama) lain hanyalah bandit-bandit yang harus ditumpas pada waktunya.

Padahal, menurut John Hick, “tuhan” yang dikenal dalam agama-agama dunia sebenarnya hanyalah cultural name, sebuah artikulasi kultural mengenai eksistensi dari dimensi kekuasaan yang tak terselami oleh sel-sel kelabu otak manusia. Karena itu, manusia mengenal berbagai sebutan “tuhan”. Sebab, manusia terperangkap dalam pembahasaan eksistensi “Sang Maha” itu.

Bahasa sangat terkungkung dalam suatu konteks kultural yang menjadi sandaran nilai-nilai dan ide-ide manusia. Apakah aku harus menyebut “si tuhan” dengan sebutan “anu” atau “una”, tentu tidak diartikulasikan dalam bahasa “sorgawi”, karena aku pasti tidak memahaminya. Jadi aku harus memahami “si tuhan” ini dalam kerangka budayaku sebagai manusia, demikian Hick dalam bukunya God Has Many Name.

Karena itu, tidak mengherankan jika secara ideologis maupun praksis, agama-agama menciptakan ambiguitas (ketaksaan) kekuasaan, yang berayun antara kekuasaan manusia (yang terbatas) dan kekuasaan ilahi (yang tak terbatas). Hampiran teologis agama-agama (berdasarkan interpretasi kitab suci) lebih kerap mengaburkan hakikat penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah masyarakat atau negara.

Di Indonesia, ketegangan ideologis pernah menjadi sebuah pengalaman sejarah yang penting dalam menentukan arah dan dasar negara ini. Bung Karno mencoba untuk mensintesakan kutub-kutub ideologi itu ke dalam konsep “Pancasila”. Dan Soeharto, presiden Indonesia berikutnya, memasyarakatkan Pancasila dan mem-Pancasila-kan masyarakat hingga ke sumsum kehidupan rakyat Indonesia.

Kalau Bung Karno menempatkan Pancasila sebagai landasan hidup bernegara bersama yang melampaui batas-batas ikatan primordial (etnik, agama, ideologi), Soeharto mereformulasikan konsep Pancasila berdasarkan paham primordialnya sebagai seorang Jawa. Tentu pemikiran dan praksis kedua tokoh itu patut ditempatkan dalam bingkai konteks historisnya masing-masing.

Di samping mereka berdua, di kalangan lapisan masyarakat (dari berbagai agama) tertentu juga berlangsung diskursus sengit mengenai Pancasila dalam kaitan tanggung jawab sebagai warga negara. Diskursus-diskursus itu berlangsung sebagai manifestasi keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini bersama-sama.

Namun rasanya “Pancasila” tidak lagi dianggap sakti. Bagaimana mungkin kita bisa melupakan kebesaran gagasan itu, yang pada suatu masa dianggap sebagai konsep bernegara setara dengan Declaration of Independence-nya Amerika Serikat dan Manifesto Communist-nya Uni Soviet? Apalagi, sebagai bangsa yang sedang didera oleh berbagai masalah dan konflik bertubi-tubi, kita membutuhkan sebuah gagasan filosofis mendalam sebagai sebuah kesepakatan politik bersama warga bangsa.

Gagasan itu mengikat seluruh warga bangsa dengan komitmen hidup bersama dalam kesetaraan politik dan pluralitas sosial. Juga mencegah terjadinya pembelahan sosial yang tak terkendali dan membawa kita keluar dari kesuraman situasi, menuju pada pencerahan rasional-prospektif.

Dengan menempatkan kembali gagasan Pancasila dalam perspektif baru yang lebih populis, kita sedang mencoba keluar dari kegamangan ideologis. Kita memperkokoh ketahanan masyarakat dari kemungkinan dihanyut-larutkan oleh berbagai propaganda politik para aktor politik dan menjadikannya perekat sosial. Momentum menjelang pilpres ini dapat kita pakai sebagai kasus-uji bagi kepekaan para calon pemimpin untuk bereksperimen dalam arena demokrasi.

Seluruh perhatian dan energi kita tidak boleh tersita habis hanya untuk sebuah proyek politik, dan mengabaikan sejumlah persoalan yang terjadi di luar “lingkaran” Jakarta. Indonesia bukan hanya Jawa dan Jakarta. Dan seluruh wilayah “periferi” bukanlah cuma objek penderita pelengkap dalam pertarungan politik. Seorang strong leader bukan tongkat ajaib yang menjamin berlangsungnya perubahan signifikan ke arah demokrasi.

Dengan demikian, “kesatuan” dan “persatuan” lebih dipahami sebagai sebuah proses, bukan loncatan otomatis yang bisa didesak dengan kekerasan. Dengan cara itu, kita tidak terpenjara dalam berbagai pleidoi dan aksi-aksi yang tidak cerdas. Agama lantas direduksi dalam kedangkalan teologis hanya untuk sekadar mengeruk keuntungan dari proyek politik tertentu, dengan mengumbar kredo-kredo tak andal (unreliability).

Mungkin dalam keruwetan semacam itu, kita perlu tenang dan besar hati “membaca” kembali Pancasila untuk menguak gagasan-gagasan besar yang terkandung di dalamnya. Membaca Pancasila dalam arti baru, tidak perlu dibaca keras-keras dalam setiap upacara, namun dengan hermeneutika politik yang kontekstual di mana setiap warga negara merasa hidup di dalamnya dan menghidupi Pancasila itu sendiri.

Pancasila memang bukan “agama” dalam arti tradisional. Tetapi Pancasila tentu sah-sah saja jika diperlakukan sebagai sebuah kredo politik sejauh urgensinya diletakkan secara proporsional. Artinya, konteks kemajemukan Indonesia tentu tidak bisa hanya direduksi pada rujukan sistem nilai primordial budaya atau agama tertentu saja.

Indonesia dihidupi oleh kemajemukannya dan itu berarti dibutuhkan sebuah kesepakatan nilai-nilai berbangsa yang memberi ruang bagi setiap orang tanpa tersekat dalam ikatan primordialnya, untuk berekspresi secara santun dan cerdas. Setiap orang berhak memberi makna dalam gerak “menjadi Indonesia”. Dengan demikian, Indonesia sebenarnya selalu dalam proses menjadi, dan belum usai.





Ambon Pecah Lagi

7 12 2007

KONFLIK terbuka dan aksi kekerasan massa kembali terjadi di Ambon dan meminta korban jiwa. Pantauan terhadap runutan peristiwa pada tanggal 25 April 2004 dan hari-hari sesudahnya memberikan indikasi yang kuat bahwa konflik ini bukanlah konflik spontan antarwarga masyarakat Ambon. Peristiwa ini dipicu oleh berbagai rumor yang beredar bahwa pada tanggal 25 April 2004 akan terjadi pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) oleh kelompok tertentu yang menamakan diri Front Kedaulatan Maluku (FKM).

Tulisan ini tidak berpretensi mengajukan uraian analitis terhadap bergolaknya Ambon setelah mulai sejuk selama beberapa waktu. Apa yang tertuang di sini hanyalah suatu kegelisahan ontologis terhadap fenomena konflik dan kekerasan yang tampaknya semakin mengakar dalam struktur kesadaran kolektif masyarakat Ambon. Benarkah struktur kesadaran kolektif masyarakat telah terbentuk dalam pola-pola impulsif yang selalu merespons setiap riak sosial dengan reaksi kekerasan secara spontan?

Atau telah berlangsung penciptaan konteks sosial yang sedemikian kuatnya mempengaruhi berbagai relasi sosial masyarakat Ambon sehingga mereka tidak mampu melakukan resistensi atau distansi kritis terhadap setiap garapan isu-isu yang mengarah pada tindakan destruktif?

Rasanya terlalu dini untuk berasumsi bahwa ada semacam grand-narrative tertentu yang sedang disiapkan pasca-Malino II dan kemungkinan memainkan kondisi keamanan yang masih labil di Ambon untuk kepentingan politik tertentu selama pengondisian psikologis masyarakat menjelang pemilu presiden. Kendati kemungkinan tetap tidak terhindarkan mengingat daya eksplosif konflik yang begitu massif hanya dalam hitungan jam.

Selain itu, kita tidak dapat menafikan kenyataan bahwa kondisi psikologis sosial masyarakat Ambon yang belum pulih dari trauma konflik selama kurang lebih tiga tahun turut memainkan peran vital. Paling tidak, kondisi psikologis inilah yang terus dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk tetap menjaga agar intensitas konflik tetap tinggi. Euforia “Ambon Aman” tentu bukanlah slogan yang menyenangkan bagi mereka yang masih ingin terus bermain api dan mengeruk keuntungan dari situasi rusuh di Ambon.

Lagi-lagi RMS

Tanggal 25 April memang merupakan momentum yang paling kritis, khususnya sejak konflik Ambon pecah tahun 1999. Selama konflik Ambon, tanggal 25 April ini selalu menjadi momok di kalangan masyarakat sipil di Ambon dan Maluku. Alasannya sederhana, pengibaran bendera RMS (entah oleh siapa) di beberapa wilayah permukiman penduduk menjadi legitimasi politis bahwa memang sebagian masyarakat sipil (yang disegmentasi sebagai warga Kristen) secara nyata telah diidentifikasi sebagai kelompok separatis dalam format Negara RI. Tentu stigmatisasi “RMS” versus “kelompok pro-NKRI” (hanya dengan indikator simbolik berupa bendera) yang didiseminasi oleh beberapa media massa yang meliput konflik Ambon masih merupakan simpulan yang tergesa-gesa dan harus ditelisik secara bijak dan kritis. Dan lagi, hipotesis ini perlu diuji berdasarkan kelengkapan analisis sosial politik yang andal, bukan hanya sekadar terjebak dalam perangkap-perangkap simbolik. Dalam konteks Ambon kontemporer, “wacana RMS” menjadi peluru tajam yang siap ditembakkan dalam kondisi sosial-politik-budaya masyarakat Ambon yang masih gamang.

Benarkah “RMS”, dalam bingkai gerakan pemberontakan separatis memang ada di Ambon? Pertanyaan ini memang sangat terbuka untuk diinterpretasi dari berbagai segi. Namun setidaknya fenomena munculnya isu dan simbol-simbol RMS yang diusung oleh FKM harus disikapi sebagai sebuah “wacana”, bukan sebagai sebuah entitas politik riil. Sebagai “wacana”, dia dapat dimunculkan oleh siapa saja dan untuk kepentingan apa saja selagi tersedia konteks sosial yang memadai sebagai lahan subur berkembangnya wacana tersebut.

Ini berbeda dengan penyikapan terhadap “entitas politik”. Entitas politik memang bisa memainkan wacana tertentu, tetapi dalam format kerangka ideologi, struktur organisasi yang jelas terumuskan dalam platform organisasi, dan sistematisasi program untuk mencapai sebuah tujuan dengan dukungan perangkat human resources yang kapabel. Dalam hal ini, tentu terbuka ruang luas bagi suatu entitas politik untuk turut memainkan sebuah wacana yang dianggap strategis dan menguntungkan bagi tercapainya tujuan.

Kalau begitu, apakah FKM bisa disebut sebagai suatu entitas politik? Untuk menjawabnya dibutuhkan sebuah pencermatan sejarah yang konsisten dan mendalam, tidak bisa hanya melalui perampatan (generalisasi) yang dangkal. Artinya, kita sebaiknya menempatkan konsep “RMS” secara substantif pada dinamika historis dan konteks sosial yang relevan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman (misunderstanding) atasnya.

Prof. Richard Chauvel menyebutkan dalam bukunya Nationalist, Soldiers and Separatists: The Ambonese Islands From Colonialism to Revolt 1880-1950, bahwa lahirnya konsep RMS harus dilihat dalam bingkai dinamika politik lokal saat itu. Dorongan untuk memisahkan diri dari Republik (Indonesia) sebenarnya lebih didasarkan pada perasaan ketergantungan pada Kerajaan Belanda ketimbang keinginan untuk merdeka atau otonom.

Para pemimpin dan pendukung GSS (Gaboengan Sembilan Serangkai) yang terdiri dari para raja (pemimpin negeri), tentara dan pejabat, merupakan kelompok yang menikmati keuntungan dalam sistem kolonial di Ambon. Mereka khawatir bahwa di bawah pemerintahan Indonesia yang didominasi oleh orang Jawa, mereka akan kehilangan posisi dan status di dalam masyarakat lokal, sebagaimana terjadi di beberapa wilayah kepulauan ini (hlm 233). Keinginan tersebut justru tidak mendapat sambutan positif oleh W Hoven, komisaris pemerintah untuk Borneo dan Indonesia Timur. Hoven menilai tindakan itu terlalu prematur dan tidak akan didukung oleh pemerintah (Belanda), yang malah menilai keberadaan Ambon dalam Negara Indonesia Timur (NIT) adalah dalam rangka terciptanya keseimbangan politik (hlm 234).

FKM Beda dengan RMS

Apa yang bisa ditarik dari uraian ringkas Chauvel tersebut? Menurut saya, ada beberapa hal. Pertama, pergulatan dan dinamika politik lokal sangat ditentukan oleh faktor kepemimpinan elite lokal dan unsur-unsur pendukungnya. Dalam konteks itu, vested interest para pemimpin lokal mengalami transformasi sebagai keinginan masyarakat. Ini wajar karena struktur sosial masyarakat Ambon sebenarnya telah bergeser dari konsep tradisional ke konsep “modern” seperti yang diintroduksi oleh pemerintah kolonial Belanda. Pergeseran tersebut berimplikasi pada terbangunnnya struktur kesadaran dan pola-pola kultural masyarakat Ambon yang lebih hirarkis. Dalam struktur sosial sedemikian, rakyat sama sekali tidak berperan apa-apa.

Kedua, persoalan mendasar yang tidak terselesaikan dalam konstruk ideologi dan tatanan masyarakat bernama Indonesia sebagai sebuah realitas baru, ialah tidak digarapnya wacana pluralitas etnik yang menjadi cornerstone bagi bangunan keindonesiaan per 17 Agustus 1945. Sentimen primordial etnik ini selama masa kolonial telah menggumpal menjadi bongkah-bongkah identitas yang tidak gampang untuk ditransformasi dalam konsep Indonesia. Namun di sebelah lain, dalam konteks pluralitas sosial itu tidak terhindarkan pula dominasi kultural oleh kelompok mayoritas secara etnis.

Oleh karena itu, sebenarnya “Indonesia” harus dilihat sebagai sesuatu yang belum usai, atau masih terus dalam proses menjadi. Sebagai yang demikian, konsep “kesatuan” mesti dipahami dalam dinamika realitas berbangsa dan bernegara yang cair karena kemajemukannya, tidak bisa dipaksakan secara kaku dan tidak kontekstual.

Dari sudut pandang historis, FKM memiliki latar belakang dan maksud yang berbeda sama sekali dari konsep RMS 1950. Oleh karena itu, dia harus disikapi sebagai “wacana”. Kalaupun mau dilihat sebagai suatu entitas politik, dia masih sangat prematur. FKM muncul dalam situasi konflik yang dirasakan membawa implikasi bagi terjadinya ketidakadilan oleh negara (Indonesia) dalam masyarakat (Ambon). Sebagai suatu embrio yang prematur, FKM harus disikapi dengan tindakan tegas dan sistematik oleh perangkat-perangkat negara yang berkompeten agar tidak membesar dan malah memperkeruh konflik.

Itu seharusnya dilakukan jika memang negara bermaksud “baik” untuk menghentikan konflik Ambon. Yang terjadi malah sebuah paradoks. Pada satu sisi, negara mengklaim bahwa FKM adalah sebuah tindakan makar karena mengusung dan merekonstruksi kembali simbol-simbol politik yang pernah digunakan oleh gerakan RMS tahun 1950, namun di sisi lain, negara “membiarkan” FKM makin membesar.

Sebagai Bentuk Protes

Apakah memang FKM telah bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan pemberontakan seperti yang terjadi tahun 1950? Tentu tidak, karena dia hanya menjadi besar berdasarkan wacana yang digarapnya dalam suatu ranah kontekstual negara RI. Jadi yang diperlukan di sini adalah sebuah dekonstruksi wacana (RMS). Jika hal ini tidak dilakukan, pada titik inilah konflik Ambon tidak akan pernah mencapai titik pemulihan yang maksimal secara komprehensif, karena pewacanaan RMS ini tidak ditangani serius oleh negara (sebagai indikator empirik, kenapa Alex Manuputty bisa lolos sampai ke Amerika Serikat?).

FKM adalah embrio gerakan protes sosial yang berpotensi menjadi entitas politik. Namun dia masih sangat prematur sehingga negara sebenarnya sangat mampu membendung gerakannya. Kenyataannya itu tidak terjadi. Jadi, pertanyaan hipotetik yang terbersit ialah apakah memang negara tidak merasakan eksistensi FKM sebagai sebuah ancaman terhadap bangunan sosial politik RI (bandingkan dengan GAM di mana TNI/Polri all out)?

Padahal kesepakatan Malino II telah secara jelas memposisikan pemerintah atau negara sebagai pihak yang turut bertanggung jawab bagi proses penyelesaian konflik, ekses-ekses yang ditimbulkannya dan rancang-bangun perdamaian tiga pihak (Muslim-Kristen-Pemerintah). Itu berarti pewacanaan isu-isu yang dianggap dapat kembali mengobarkan konflik kekerasan (yang bermuara pada jatuhnya korban sipil) harus diisolasi secara ketat dengan tindakan konkrit sebagai implementasi kesepakatan tersebut.

Dengan demikian, dalam perspektif tertentu, yang menjadi kunci persoalan pecahnya konflik 25 April 2004 adalah tetap mengambangnya wacana RMS dalam konstruk politik nasional Indonesia. Dan sekali lagi, sebagai wacana, dia dapat dimanfaatkan oleh siapa saja dan untuk kepentingan apa saja selagi wacana itu dirasakan strategis untuk mengkondisikan tercapainya tujuan-tujuan (politik) tertentu.

Dalam sebuah negara yang berdaulat seperti Indonesia, siapakah atau lembaga apakah yang lebih berkompeten untuk mengeliminasi kemungkinan terbentuknya wacana seperti ini, selain lembaga-lembaga negara atau negara itu sendiri?

Oleh karena itu, sangat naif bila seluruh kesalahan hanya ditimpakan kepada “massa” pendukung A atau B. Masyarakat sipil tentu bukanlah orang bodoh yang dapat dijadikan pion terus-menerus jika ternyata mereka hanya menjadi korban dari pertikaian yang mereka sendiri tidak pahami.

Tetapi jika kekuatan massa yang tergumpal mengarah pada berbagai aksi destruktif, tentu harus dipahami dalam konteks yang lebih besar bahwa ada kekuatan determinan yang tak mampu dilawan. Kalau begitu, sebenarnya siapakah yang berkepentingan untuk menjaga agar wacana ini tetap terjaga sebagai “bom” yang siap diledakkan pada saat yang tepat dan dengan efek yang menghancurkan?





Lembaga Pelayanan Kristen dalam Sorotan Profetik Yeremia

7 12 2007
Pengantar*

Ada dua kesulitan dalam menyajikan refleksi teologi mengenai perjalanan Lembaga Pelayanan Kristen (LPK) dan kemungkinan membangun jejaring dalam konteks Jabodetabek:

(1) Kompleksitas Konteks Jabodetabek: Sebagai kota metropolitan Jakarta merangkai dalam dirinya keruwetan antarhubungan sosial yang berkelindan membentuk simpul-simpul masyarakat urban yang antagonistik.[1] Butuh kecermatan dalam mencerap dinamika konteks dan kefasihan menelisik makna-maknanya secara utuh. Kemampuan itu terbentuk dari keterlibatan dan pengalaman-pengalaman riel (individu atau kolektif). “Pengalaman” yang dimaksud tak hanya dalam arti “praktis”, tetapi juga “teoretis”, sebagai bentukan proses abstraksi pengalaman praktis dalam ranah kognisi yang membantu penyusunan skenario prospektif di lingkup kerja masing-masing. Asumsi bahwa yang “praktis” lebih penting dari yang “teoretis”, tidak tepat. Itu akan menggiring pada keluncaspahaman (misunderstanding) mengenai visi dasar yang disepakati dan kedangkalan tindak pelayanan. Tidak menukik ke kedalaman esensi seluruh sistematisasi tindak pelayanan. Di sisi lain, pengandalan analisis teoretis tanpa [mampu] menerjemahkan konsep ke dalam program empiris, hanyalah masturbasi intelektual yang mengawang tetapi tidak menggawang ke tujuan objektif pelayanan. Keduanya sama penting. Aksentuasi berlebihan pada salah satunya malah menciptakan penyekatan antara “intelektualis/akademis” dan “praktisi” yang terkurung di tempurungnya sendiri.

(2) Sebuah refleksi teologi sebagai pendasaran gagasan ideal dan tindakan praktis, serta pertautan keduanya yang mengacu pada implementasi nilai-nilai kehidupan yang berterima dalam kerangka jejaring itu: Seluruh tindak pelayanan kita membutuhkan sandaran ideal yang sahih agar tidak terjebak pada kesempitan matra “kerja” saja, namun menyata sebagai “tindak komunikasi”. Perspektif ideal sedemikian tidak dibangun dalam kehampaan. Sebagai orang Kristen, perspektif itu bisa dibangun – pertama-tama – melalui penguatan konstruksi refleksi teologi sebagai basis matra transendental. Transendental bukan berarti terhempas keluar dari realitas keduniaan, melainkan justru proses abstraksi keduniaan ke dalam spektrum iman kepada Sang Tuhan. Proses sedemikian [harus] berlangsung dalam kejujuran dan keterbukaan terhadap teks Alkitab.

Pembacaan Teks Alkitab dan Rekonstruksi Teologi

Pembacaan teks Alkitab sebaiknya diikuti oleh kesadaran kontekstual bahwa ia adalah bentukan semiotik realitas historis, kultural dan sosiologis yang mengandung ideologi tertentu. karenanya pembacaan teks alkitab tidak bisa secara kasat mata. Diperlukan perspektif sosiohistoris dan analisis wacana yang mendekonstruksi teks/wacana itu, sekaligus telusuran pandangan-dunia (worldview) yang melatarinya. Penghadapan “teks” dan “dunia kini” menuntut kepekaan hermeneutis sehingga produk interpretasi teks mendorong pada terbukanya horison nalar dan iman yang melahirkan karakter kekristenan yang berterima, daripada mendesak teks mentah ke dalam konteks yang tak padan.

Jadi, teks tak sekadar ditranslasi, namun – lebih dalam – tertransformasi secara kreatif.[2] Tanpa jalan (methodos) spiritualitas demikian, kekristenan akan terperangkap pada kedangkalan pemaknaan tekstual yang tak bertaut dengan konteks faktual. Ini hanya melahirkan calo-calo ayat-ayat alkitab yang menjajakan ekstasi sorgawi dan keselamatan jiwa, tanpa berakar dalam pergulatan historis dan kontekstual untuk memahami transendensi tekstual yang terdekonstruksi tadi.[3]

Lantas, “teologi” itu apa? Teologi sudah ada dalam pergaulan manusia sebagai suatu fenomena. Fenomena merupakan suatu kenyataan di dalam pergaulan manusiawi. Di sana kita harus mencari apa yang tetap, umum dan esensial dalam fenomena itu. Tetapi, karena kenyataan itu suatu kenyataan manusiawi maka perlu juga kita dapat “ikut-melaksanakannya” (keterlibatan kritis). Kita membaca gejala itu sebagai data, tetapi selalu dengan latar belakang ikut-melaksanakan. Di sana kita mencoba merealisasikan diri, mengekspresikan diri, ke arah fenomena itu.[4]

Sesungguhnya, kita berteologi sejak kita mulai berpikir tentang iman, meskipun dalam bentuk spontan, kebetulan, tidak secara sistematis dan ilmiah. Teologi ialah percobaan supaya kita – sebagai manusia yang berpikir – mengintegrasikan iman ke dalam kehidupan kita sebagai subjek yang berkepribadian, yang berpikir dan bebas. Dalam iman dan teologi selalu ada dua matra yang konstitutif: (a) matra eksistensial peristiwa yang menjelma dalam fakta-fakta sejarah; (b) matra pemahaman arti, menurut aspek esensi dan struktur-struktur.

Dengan demikian, apa yang disebut sebagai refleksi teologi selalu berada dalam dialektika antara teks (alkitab) – sebagai yang secara imaniah dipercaya menjadi media sosiokultural untuk menyingkapkan serba-sedikit misteri ilahi dalam sejarah kemanusiaan – dan konteks sosiologis faktual yang menjadi ranah pergulatan manusia memaknai kehidupannya di sini dan kini. Refleksi teologi selalu kontekstual, berubah mengikuti jejak gumul zaman, tidak pernah tunggal atau baku.

Merambah Spirit Profetis Yeremia

1. Siapakah nabi itu?

Max Weber mendefinisikan “nabi” sebagai individu dengan suatu kharisma yang melalui kebajikan misinya memproklamasikan ajaran suatu agama atau perintah ilahi.[5] Nabi berbeda dengan fungsionari-fungsionaris institusi keagamaan. Kenabian Israel adalah kenabian etis. Para nabi etis Israel tidak pernah menawarkan jalan keselamatan, tetapi lebih mengarahkan pendengarnya semata-mata kepada perintah ilahi. Para nabi ini tampil ke permukaan sosial ketika terjadi konflik mengenai apa makna dunia sebagaimana dinyatakan dalam agama Israel dan ancaman empiris terhadap eksistensinya (Asyur dan Babil). Tanpa konflik ini para nabi tidak pernah akan muncul.

2. Pergumulan Profetis Yeremia

Nabi ini berkarya dalam kerangka konteks kebuntuan gerakan Reformasi Deuteronomi Yosia dan pergeseran kekuasaan di Timur Dekat kuno dari Asyur ke Babil.[6] Upaya Yosia untuk mereformasi kultus religius dan kebobrokan sosiopolitik di Yehuda, serta penegakan kekuasaan Neo-Daud untuk mengisi kevakuman kekuasaan yang ditinggalkan Asyur, terdegradasi sehingga menihilkan mimpi-mimpi (penguasa) Yehuda.

Inti pesan Yeremia: tatanan sosiopolitik internal Yehuda yang sudah sangat korup akan segera dimusnahkan oleh Babil. Kecuali jika para pemimpinnya bertobat dan memberlakukan keadilan sosial yang telah sekian lama diabaikan. Dalam pandangannya, tradisi perjanjian dan kultus Yerusalem tidak (bisa) lagi memberikan dasar bagi berlangsungnya keamanan dalam ketiadaan keadilan sosial.[7] Upaya menggantungkan nasib pada kekuatan Mesir untuk menyelamatkan diri dari ancaman Babil hanyalah sebentuk eskapisme utopis.

Yeremia menyerukan agar Yehuda merekonstruksi bangunan religiositas dan ideologi politiknya secara fundamental, dengan bersandar pada hukum perjanjian yang didasarkan atas perubahan hakiki nilai-nilai dan kesetiaan. Di tengah kebuntuan spirit reformasi, dia menyatakan komitmennya dengan menyerukan implementasi agresif reformasi sosial pemerintahan Yehuda di bawah Yosia. Namun, reformasi tersebut hanya terjadi dalam bingkai penerimaan formal terhadap realitas kekuasaan Babil.

Ketika pemberontakan Yoyakim dan Zedekia dipatahkan oleh Babil – seperti pada pemberontakan I – Yeremia melihat tidak ada lagi “ruang bernafas” bagi reformasi internal. Dia mendesak Zedekia agar menyerahkan diri. Sebab, tanpa raja atau kultus kuil suci, kehidupan rakyat Yehuda akan tetap berlanjut. Akseptabilitas Yeremia kepada Babil ditunjukkan dengan keputusannya untuk tetap tinggal di Yehuda dan berpartisipasi dalam rekonstruksi rezim Babil yang dipasak di Mizpah melalui Gedalia, gubernur boneka yang ditunjuk oleh penguasa (tetapi mendukung gerakan politik sang nabi, 40:1-6).

Dalam suratnya kepada mereka di pembuangan (597 sM), Yeremia menasihati untuk tinggal dan menjalani kehidupan secara normal di Babil sebagai antisipasi masa pembuangan yang masih lama (29:1-14). Malah dia berbicara tentang 70 tahun penguasaan Babil atas bangsanya sebelum para kaum terbuang itu dapat berharap untuk bebas.[8]

Persoalan di antara elite politik dan agama pun tak kalah pelik. Kalangan elite politik dan elite agama terbelah menjadi dua kubu yang beroposisi. Pertentangan internal mengerucut sekitar program politik yang antagonistik pada periode 609-586. Satu pihak, para raja dan mayoritas birokrat, imam-imam dan nabi-nabi membentuk partai berideologi otonom. Mereka melihat bahwa pembebasan dari cengkeraman Babil dapat terwujud dengan dukungan (militer) Mesir. Nabi Hananya, yang tak sepaham dengan Yeremia tentang lamanya masa pembuangan (pasal 28) adalah contoh salah satu eksponennya.[9]

Di lain pihak, kelompok lebih kecil yang terdiri dari pegawai istana (termasuk keluarga Shaphan yang aktif dalam Reformasi Deuteronomi), Yeremia (kemungkinan juga nabi-nabi lain seperti Uria dari Kiriath-jearim [26:20-23], Habakuk [?]), serta beberapa imam, membentuk partai koeksistensi. Mereka lebih setuju menerima infiltrasi Babil daripada mendukung gerakan revolusi antiBabil. Karena, sekali revolusi pecah dan gagal, terbentuk stigma “pemberontak” vis a vis kekuatan Babil. Ini bukan langkah yang strategis dan taktis.[10] Ada perbedaan penilaian dan kebijakan dari kedua partai itu sebagai berikut:

Partai Berhaluan Otonomi dan AntiBabil:

  1. “daya-tahan nasional” (national survival) akan terwujud dengan kemerdekaan penuh Yehuda di bawah kepemimpinan yang sekarang.
  2. melihat kelas penguasa sebagai perwakilan resmi yang mewakili kepentingan rakyat. Menjatuhkan mereka berarti menghancurkan rakyat.
  3. melihat benturan utama atau kontradiksi dalam situasi tersebut sebagai konflik antarnegara Yehuda dan Babil.
  4. kehendak Yahweh yang terungkap melalui nabinya (Hananya dll) adalah mempertahankan Yehuda di bawah rezim yang sekarang dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya.

Partai Berhaluan Koeksistensi dan Pro-Babil:

  1. “daya-tahan nasional” terwujud hanya dengan pemulihan kondisi sosio-ekonomik dan religio-kultural rakyat Yehuda.
  2. sebaliknya, melihat kebijakan internal di bidang sosio-ekonomi yang diterapkan kelas penguasa sebagai sumber malapetaka bagi kepentingan rakyat.
  3. melihat setiap upaya penguatan kelas penguasa melawan Babil sebagai promosi ketidakadilan sosial yang tak perlu dipertahankan karena akan membahayakan rakyat. Kerja sama dengan Babil akan membuka peluang bagi pembaruan reformasi yang terwarisi dari Yosia.
  4. benturan utama atau kontradiksi sebagai konflik antarkelas kepentingan oposisional antara kelas penguasa dan mayoritas rakyat Yehuda.
  5. kehendak Yahweh yang terungkap melalui nabinya (Yeremia dll) adalah mempertahankan hidup rakyat Yehuda dengan merombak pola dan struktur kepemimpinan (dan kebijakannya) yang sekarang melalui tindak politik dan pembersihan oleh militer Babil.

Memaknai Pergumulan LPK dalam Sorotan Yeremia

1. Partisipasi dan penguatan civil society

Reformasi Deuteronomi Yosia diinspirasi oleh teks-teks keagamaan yang direvisi dan direinterpretasi para penulis kerajaan (scribes class) sesuai dengan tujuan reformasi. Teks-teks ini pula yang menginspirasi kritik profetik Yeremia. Malah, dengan perspektif baru, bahwa reformasi total dapat terjadi dengan intervensi Babil. Oleh para penentangnya, sikap Yeremia ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kedaulatan Yehuda alias tidak nasionalis. Toh, bagi Yeremia, apa arti konseptualisasi nasionalisme ketika – dalam praktik – penindasan terbesar terhadap rakyat Yehuda justru dilakukan oleh para pemimpinnya sendiri. Di sini terjadi transposisi secara interpretatif dari teks ke tindakan konkret.

Kritik profetis Yeremia didasarkan pada keterlibatan bersama rakyat. Ini ditunjukkan dengan keputusan untuk tetap tinggal di Yehuda bersama rakyat dan mendampingi mereka agar memahami peristiwa ambruknya Yehuda sebagai suatu proses reformasi total. Dalam menjalankan misi kenabiannya, Yeremia tidak bekerja sendiri. Dia melakukan sosialisasi secara intens untuk menjaring banyak kawan (dengan visi yang sama) ke dalam lingkaran kelompoknya. Kritik dan sikap oposisinya bergaung lebih keras dan efektif justru karena ia berada dalam jejaring kelompoknya.

2. Kritik Ideologi Kekuasaan (Politik dan Agama)

Yeremia menggiring kesadaran para pemimpin (politik dan agama) bahwa seharusnya yang menjadi tolok-ukur implementasi kekuasaan adalah “kemanusiaan”. Jika prasyarat ini tidak dipenuhi sehingga rakyat harus menjadi tumbal kekuasaan, maka Tuhan akan tampil sebagai pembela rakyat. Tuhan bekerja dengan cara-Nya, bukan cara manusia. Cara Tuhan penuh dengan ketakterdugaan karena Ia tidak bisa dipasung oleh klaim-klaim teologis atau doktrin yang dikredokan institusi agama (Israel). Apalagi jika kredo keagamaan ternyata digunakan sebagai legitimasi kekerasan dan pleidoi teologis atasnya. Tuhan bebas bergerak dalam matra universalitasnya menerobos ke dalam setiap sumsum kehidupan manusia dan kesemestaan alam. Tugas manusia adalah mencermati setiap fenomena kenyataan manusiawi dan menemukan makna tindakan Tuhan tersebut dengan perspektif kemanusiaannya (sosial, budaya, politik, ekonomi, dll). Capaian langkah tersebut ialah makin berkualitasnya nilai dan hidup manusia. Ketika hal ini tidak terpenuhi maka refleksi teologi [mesti] menjadi kritik ideologi terhadap tendensi kekuasaan yang menggilas esensi kemanusiaan.

Pada momentum ini “refleksi [ber]teologi” sebagai aktivitas iman setiap orang makin kaya dengan makna apabila aktivitas tersebut saling ditautkan dalam jaring-jaring relasi dan pengalaman bersama. Sehingga berteologi tidak lagi menjadi tindakan individu tetapi kolektif (dengan bobot kualitas yang beragam). Kalau demikian, teologi yang kita wacanakan adalah teologi sosial.[11] Pemahaman berteologi sebagai aktivitas iman bersama (teologi sosial) menjadi signifikan saat berhadapan dengan kompleksitas situasi problematik pelayanan di Jabodetabek.

3. Pluralitas sosial sebagai arena pelayanan progresif

Kalau begitu, dalam gerak transposisi dari teks ke tindakan, bagaimana memahami anjuran “usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang”? Menurut saya, anjuran ini bukan eksplisitasi sikap fatalistis karena ketidakberdayaan atau hipokrisi. Tetapi merupakan teguran keras kepada para elite politik dan elite agama Yehuda yang dibuang agar bersikap realistis terhadap kenyataan hidup di pengasingan dan tidak terbuai mimpi-mimpi tentang pembebasan dalam waktu dekat atau harapan semu untuk berkuasa lagi.[12] Dengan bersikap realistis dan mau mengenal konteks hidup yang baru bersama dengan kelompok masyarakat lain, mereka dapat mengatasi perasaan teralienasi itu. Daripada bermimpi, situasi tersebut lebih baik dipahami sebagai waktu (kairos) dan ranah (oikos) untuk menemukan makna kehendak Tuhan dalam carut-marut kenyataan sosiopolitik dan sejarah nasional mereka. Untuk menuju ke arah sana, bukan usaha spontan, tetapi membutuhkan tindakan strategis dan kepaduan relasi berjaringan. Dalam perspektif itu, ancaman bisa dikelola menjadi peluang membangun diri dan masyarakat yang berkarakter majemuk. Kita tidak bisa menafikan pluralitas sosial (dalam konteks perkotaan). Konteks pluralitas sosial ini harus mendeterminasi gagasan dasar dan pola pelayanan kita, serta menjadi arena berlangsungnya implementasi pelayanan yang lebi progresif. Itu bisa terlaksana jika kinerja kita berada dalam gerak bersama, tidak sendiri-sendiri.

Kita memang tidak berada di “pembuangan” (exile), tetapi locus Jakarta merupakan melting pot yang kaya dengan perbedaan dan kesenjangan sosial. Tanpa pemahaman konteks yang utuh, bisa-bisa kita teralienasi secara sosial dari pergulatan kerakyatan lokal. Apalagi berhadapan – langsung maupun tak langsung – dengan kekuasaan yang menghimpit ruang gerak kita untuk berproses bersama dalam tindakan pembebasan rakyat dari berbagai proses dehumanisasi (situasional maupun sistematis). Ketika rakyat dibenamkan dalam kebudayaan bisu dan kepatuhan semu. Dalam keadaan itu – bisa jadi – tanpa strategi dan ekstensifikasi lingkup jejaring, kita pun tak berdaya atau dilumpuhkan, lalu akhirnya lebih memilih asyik-masyuk dengan kesibukan diri sendiri. Agar terhindar dari perangkap itu, kita butuh banyak kawan dalam satu jaringan komitmen (lintas-agama) dan visi kristiani yang sepadan (antar-LPK), yang paham dengan realitas konteks kota besar.[13] Tanpa itu, horison spektrum masalah yang kita tangani hanya terpahami secara parsial. Pemahaman yang fragmentaristik dan tak utuh akan menggiring kita pada pola tindakan praktis yang distorsif (tidak tepat sasaran atau tidak sesuai yang dibutuhkan).

Akhirulkalam

Dinamika reformasi sosial Indonesia hingga kini ternyata tidak beranjak dari kubangan lama. Malah menampakkan versi lain kekuasaan kuasi-despotik, yang tak kalah bahayanya dengan karakter kekuasaan sebelumnya. Kita perlu menyiapkan masyarakat dampingan menjadi corpus christianum, bukan dalam spirit kristenisasi, tetapi penebaran benih-benih Injil dalam bentuk yang manusiawi (non-violence), yang mengarah pada penguatan civil society tanpa terkooptasi kekuasaan dalam bentuk apapun (termasuk agama). Orientasi utamanya ialah terjadinya pencerahan yang mendorong proses pembebasan: dari kemiskinan, dari pembodohan, dari kekerasan, dari ancaman penyakit, dari penipuan, dll. Bagi saya, tidak ada yang lebih injili daripada upaya pencerahan dan pembebasan manusia dari tindak dehumanisasi multirupa. Ini berimplikasi pada penemuan kembali harkat-martabat kemanusiaan yang telah tergusur ke wilayah periferi wacana publik. Saya tidak tahu apakah anda [masih] percaya pada hakikat manusia sebagai citra kemuliaan Allah (imago Dei). Tetapi premis teologis tersebut perlu pembuktian empirik dalam karya kemanusiaan kita melalui jejaring LPK. Begitulah!



* Disampaikan dalam Forum Konsultasi Jaringan Kerja Regional Lembaga Pelayanan Kristen (LPK) Wilayah Jabotabek tanggal 25-27 Maret 2003 di Ciawi Bogor, Jawa Barat.

[1] Lih. J.E. Goldthorpe, Sosiologi Dunia Ketiga: Kesenjangan dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 238-257. Juga James Goldsmith, Perangkap (Jakarta: Yayasan Obor, 1995), hlm. 4. Menurutnya, salah satu kekeliruan budaya modern adalah bahwa kita diajari untuk percaya setiap problem dapat diukur dalam istilah perekonomian.

[2] Aminudin, “Pendekatan Linguistik Kritis: Roger Fowler” dalam Kris Budiman (peny.), Analisis Wacana: Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi (Yogyakarta: PSK UGM & Kanal, 2002), hlm. 37. teks merujuk pada wujud konkret penggunaan bahasa berupa untaian kalimat yang mengemban proposisi-proposisi tertentu sebagai suatu keutuhan. Wacana merujuk pada kompleksitas aspek yang terbentuk oleh interaksi antara aspek kebahasaan, sebagaimana terwujud dalam teks, dengan aspek luar bahasa. Interaksi tersebut berfungsi menentukan karakteristik bentuk komunikasi ataupun penggunaan bahasanya, dan menentukan makna suatu teks. Unsur luar bahasa antara lain merujuk pada pemeran/partisipan, tujuan dan konteks.

[3] Dekonstruksi bukan berarti pembongkaran/perusakan, tapi hanya membuka jalan dalam aktivitas berpikir dan penandaan dalam proses penjejakan jaringan makna guna membentuk pemahaman. Lih. Aminudin, “Pendekatan Pasca-struktural: Jacques Derrida” dalam Kris Budiman, ibid., hlm. 170. Juga Gayatri C. Spivak, Membaca Pemikiran Jacques Derrida: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003).

[4] S. Hardiyanto, Pengantar Ke Teologi Lambaran: Objek ~ Persoalan Dasar ~ Metode (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 1998), hlm. 10.

[5] A.D.H. Mayes, The Old Testament in Sociological Perspective (London: Marshal Pickering, 1989), hlm. 44-45.

[6] Disebut Reformasi Deuteronomi karena dalam upaya Yosia dan para skribanya (penulis) merevisi dan mengedit kembali naskah-naskah keagamaan tradisional, mereka banyak terinspirasi oleh gagasan-gagasan dan gaya kitab Deuteronomi (Ulangan). Lih. Robert Coote & Marry Coote, Power, Politics and The Making of Bible: An Introduction (Augsburg: Fortress Press, 1990), hlm. 59-66.

[7] Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction (Augsburg: Fortress Press, 1985), hlm. 396.

[8] Gottwald, ibid., hlm. 400.

[9] Mengacu pada penghancuran kerajaan Yehuda, Yeremia mengindikasikan bahwa nabi-nabi yang ikut dalam gelombang pertama pembuangan telah mengagitasi sebagian orang untuk cepat kembali ke Yehuda. Yeremia mengingatkan dua di antara mereka bahwa mereka berada dalam bahaya eksekusi oleh Babil atas aktivitas subversif yang dilakukan (Yer. 29:20-23). Lih. Norman K. Gottwald, The Politics of Ancient Israel (Louisville: Westminster John Knox Press, 2001), hlm. 99.

[10] Seorang pemimpin yang ikut dalam pembuangan, Semaya ben Nehelam (imam atau nabi [?]), menulis kepada imam Yerusalem dan menginstruksikan dia untuk mengekang aktivitas pro-Babil Yeremia, yang menganggap Nebukadnezar sebagai “hamba Yahweh”, yang secara ilahi ditunjuk untuk menghukum Yehuda atas kesalahan kultis dan sosial (Yer. 29:24-32; bnd. 27:1-7). Lih. Gottwald, ibid.

[11] Teologi sosial dimaksud mencakup arti sebagai teologi kontekstual. Seluruh teologi dijalankan dan dikembangkan dalam cakrawala kontekstual-kemasyarakatan. Juga dalam arti sebagai teologi khusus tentang keterlibatan umat dalam masalah-masalah masyarakat (mis. Kemiskinan dan ketidakadilan). Lih. J.B. Banawiratma, SJ & J. Muller, SJ, Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Kanisius 1993), hlm. 25-26.

[12] Asyur: semua penduduk dan pemimpin Israel Utara dibuang ke wilayah-wilayah sekitar. Akibatnya, penduduk Utara tidak lagi “asli” karena sudah kawin campur dengan bangsa-bangsa di mana mereka dibuang; Babil: hanya para pemimpin yang diasingkan, rakyat sipil tetap di tanahnya. Mereka mempertahankan tradisi endogami (kawin-dalam) untuk menjaga kemurnian etnis. Ini yang menyebabkan orang Selatan (Yehuda) menganggap orang Utara (Samaria) bukan lagi sebagai bangsa pilihan karena sudah tercemar (bnd. Perumpamaan orang Samaria yang baik hati).

[13] Di sini kita sedang “berpolitik” dalam arti tindakan kerja sama dengan orang lain untuk tujuan bersama. Menurut Thompson, untuk itu kita perlu etika politik. Etika ini bisa memberitahu pemimpin politik, missal, untuk tidak merugikan pihak tak bersalah, tetapi etika bisa juga menuntut mereka untuk mengorbankan kehidupan orang tak bersalah demi kebaikan bangsa. Lih. Dennis F. Thompson, Etika Politik Pejabat Negara (Jakarta: Yayasan Obor, 2000), hlm. xix.