Diskusi 5 – Lagi Tentang Amsal

11 12 2007

Diskusi ini saya kira menjadi penting karena kembali mengarahkan seluruh orientasi akademik kita kepada substansi pendidikan itu sendiri. Pemerian sejarah kenapa tulisan itu diterakan oleh bung Theo justru menyadarkan betapa “hal-hal yang biasa dilihat” sering terabaikan dalam telusuran historisnya. Sehingga tampilannya hanya dilihat dalam performa dekoratif dan simbolis, tetapi awamakna.

Kita sendiri tidak bisa memungkiri bahwa langgam intelektual kita [sebagai negara pewaris tradisi intelektual Eropa] masih kental terpetakan dalam rasionalitas Pencerahan yang positivistik. Ilmu-ilmu dan teori-teori seolah-olah mengalami kemarau spiritualitas etis yang memberi ruang bagi bernafasnya humanisme yang egaliter. Ujung-ujungnya, ilmu pengetahuan menjadi sebuah ranah perdebatan teoretik yang jauh dari solusi kemelut kemanusiaan. Dalam konteks itulah saya kira penawaran “etika” menjadi sebuah cita-cita agar ilmu pengetahuan tidak makin mandul dalam menyumbang keberlanjutan habitus baru yang memberi kegairahan dalam intersubyektivitas manusia.

Mungkin itu sebabnya meski terengah-engah dalam maraton epistemologinya, postmodernisme terus melakukan pencarian nilai-nilai etis yang selama ini tenggelam dalam “grand-narrative” ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus mengabdi kepada kemanusiaan, bukan sebaliknya. Label “Kristen” dalam akronim UKSW tentu bukan sebuah “kebetulan” tapi suatu “kesengajaan” yang mesti terus dimaknai dalam konteks gumul baru. Kekristenan itu bukan sebuah cap atau stempel supaya kita beda dengan “yang lain” atau menjadi “lain dari yang lain”. Melainkan sebuah “peristiwa” yang selalu berkelindan dengan konteksnya. Kita tidak bisa melepaskan “peristiwa Kristen” itu dari historisitasnya. Karena menjadi kristen tidak sama maknanya dengan beragama kristen. Menjadi kristen adalah sebuah proses demitologisasi institusionalisasi spiritualitas agar tidak terperangkap dalam struktur-struktur kepongahan despotik.

Meskipun tidak ada lagi pertanyaan dari Pak Wasi, saya malah berpendapat percakapan kita justru baru dimulai. Asumsi saya: seluruh proses pencarian dan pengejawantahan keilmuan kita ternyata tidak dapat terelakkan dari pendasaran teologis dalam praksis berilmu kita. “Teologi” tentu bukan suatu ranah epistemik eksklusif bagi orang-orang yang menyebut diri “teolog”. “Teologi” bukan persoalan kaum pendeta yang rajin berkhotbah. Tetapi “teologi” adalah roh dari seluruh proses kita untuk terus “menjadi” sahabat bagi bumi dan seluruh penghuninya.

Ilmu pengetahuan [yang katanya berawal dari perintah Tuhan untuk “menguasai bumi”] ternyata telah menjadi biang kerok eksploitasi lingkungan hidup dan penghancuran tatanan relasional manusia dan bumi. Kita sedang terseret dalam krisis ekologis yang mengerikan [bayangkan saja bagaimana nasib saudara-saudari kita yang sedang “ditenggelamkan” oleh semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas di Sidoarjo]. Mereka sedang menjadi komunitas tanpa identitas [hilang tanah, hilang sejarah, hilang masa depan].

Kalau dulu, kakek-kakek kita doyan sabung ayam demi kesenangan, sekarang ilmu pengetahuan memberi “ayam” yang lebih canggih dalam wujud senjata nuklir. Negara-negara sedang siap menyabung nuklir. Konflik sosial tidak lagi mengerikan tapi menjadi sebuah guyonan realitas yang menghibur kaum opresor dan meninabobokan rakyat dalam mitos SARA.

Di situlah pengujian terhadap seluruh karakter berilmu kita berlangsung. Apakah kita hanyalah pengecer-pengecer teknologi dan ilmu pengetahuan, ataukah sudah menjadi pencipta-pencipta yang “rasa tahu diri” (etis) dan bukannya “rasa diri tahu” (rigid) sehingga kita tidak [lagi] terperangkap dalam kepongahan bak “gajah” yang merasa diri besar dan siap melabrak siapa saja.





Diskusi 4 – Kenapa Harus "Takut Akan Tuhan"?

11 12 2007
Diskusi ini berawal dari pahatan teks Alkitab di tembok kampus UKSW. Terima kasih kepada bapak Wasi yang sudah “menjewer” kita yang muda-muda ini untuk siuman kembali terhadap suatu teks yang mungkin selama ini kerap kita baca [dan mungkin hafal] tapi lalai untuk membumikannya dalam sebuah wujud spiritualitas akademik yang bernas.

Menurut saya, ke-ngalor-ngidul-an yang dikhawatirkan jika wacana ini diperbincangkan adalah suatu kecemasan yang tergesa-gesa. Demikian pula dengan prapaham bahwa diskusi ini akan menjadi sebuah “jalan tak berujung” adalah sebentuk a priori yang [rasanya] tak perlu dirasa begitu. Bukankah hidup ini sendiri adalah sebuah “percakapan tak berujung” dengan banyak hal yang [mungkin] hanya berjeda dalam kematian? [Kendati tak seorang pun tahu apakah di balik kematian itu kita masih berdialog dengan Sang Tuhan yang tak terdefinisikan oleh lingkup-lingkup rasionalitas kemanusiaan]. Simpulannya: mari kita terus bercakap-cakap dalam terang pencerahan rasionalitas yang gelisah mencari sepenggal “Kebenaran”.

Karena pak Wasi mulai dari pahatan di tembok Satya Wacana, saya juga ingin memulai dari situ. Bukan dari temboknya atau pahatannya, tetapi dari teksnya sebagai sebentuk simbolisasi yang hanya bermakna dalam tradisi [intelektual] yang sudah, sedang dan terus dibangun dalam praksis ber-UKSW.

Kalau saya tidak salah, ungkapan itu dikutip dari Amsal 1:7. Amsal adalah bagian dari sekumpulan kitab yang dijilid dalam bundel Perjanjian Lama. Saya kira, kita jangan cepat-cepat melompat untuk meng-”yesus”-kan kata TUHAN yang ada di situ. Kata Gaston Bachelaard, nanti kita bisa mengalami “keretakan epistemologis”.

Setiap kitab mempunyai konteks dan tradisi penulisannya sendiri. Karena itulah, kekristenan tidak mengenal istilah “Firman Tuhan yang turun dari langit” sebagaimana yang dihayati oleh saudara-saudari Muslim atas kitab suci Al-Quran. Tetapi Firman Tuhan yang berproses dalam kesejarahan manusia dan dunia. Alkitab bukan Firman Tuhan, tetapi mengandung Firman Tuhan. Artinya, Firman Tuhan itu tidak termanifestasi dalam “kata-kata” Sang Tuhan [apa benar Tuhan hanya bisa bahasa Arab, bahasa Ibrani atau Yunani?], tetapi dalam “pengalaman-pengalaman kemanusiaan” [perang, kemiskinan, pemerkosaan, perselingkuhan kekuasaan, dsb]. Dalam hermeneutika sosial, seperti yang dilakukan oleh Ricoeur, “pengalaman-pengalaman manusia” adalah transposisi tekstual menjadi diskursus [wacana?]. Ricoeur melihat bahwa kalau kita ingin memahami suatu teks maka kita mesti “membaca”-nya dalam satu keutuhan sistem linguistik dan tanda-tanda bahasa. “Membaca” bagi Ricoeur adalah sebuah cara menafsir (hermeneutik). Karena itulah Ricoeur melihat bahwa realitas pengalaman manusia sebenarnya adalah sebuah diskursus yang menyembunyikan makna tertentu dan oleh karena itu perlu ditafsir. Dalam kerangka itu, alkitab hanyalah sebuah media menampilkan pengalaman manusia yang [sempat] ditulis dalam berbagai bentuk literer, yang kemudian [mestinya] ditafsir agar terkuak apa maknanya [bagi siapa saja yang membacanya].

Amsal adalah kumpulan ungkapan bijak bestari yang didesas-desuskan dalam suatu konteks masyarakat tertentu. “Dia” tidak bisa dimengerti jika dilepaskan dari akar konteksnya. Karena saya bukan “orang Ibrani” saya harus tahu dulu bagaimana sih asal muasal dan penggunaan amsal ini dalam konteks masyarakat ibrani. Asas itu saya kira tidak beda jauh dari kerangka metodologi keilmuan sekarang ini: petakan dulu konteksnya, tentukan akar masalahnya, cermati implikasinya dsb. Sama juga dengan kebingungan saya kenapa kata “by the way” kok bisa jadi “ngomong-ngomong” dalam pembahasaan indonesianya. Atau bagaimana mesti memahami “mangan ora mangan ngumpul” dalam logika kultural kejawaan. Atau kenapa orang Papua [laki-laki] hanya memakai koteka untuk menutupi “burung”nya [lalu yang perempuan?], jika alasannya hanya takut digigit nyamuk, padahal seluruh bagian tubuh lain terbuka lebar untuk dilahap si nyamuk.

Kata “takut” dalam kajian psikologi agama sebenarnya adalah asal-muasal religiositas itu sendiri. Mau diterjemahkan sebagai “hormat” atau “segan”, intinya ya karena manusia merasa takut terhadap “sesuatu” yang tidak mampu dikendalikannya [misal: kekuatan alam]. Upaya mengendalikan “rasa takut” inilah yang melahirkan temuan-temuan teknis agar hidup tidak lagi terpenjara dalam keterbatasan diri. Termasuk kemudian bagaimana cara mengendalikan “tuhan” yang [katanya] ada di balik kekuatan-kekuatan alam. Pengendalian itu [dianggap] berhasil ketika apa yang terjadi ternyata bisa dijelaskan dalam korelasi dengan sang tuhan itu. Inilah yang dialami Max Weber ketika mengatakan bahwa “kekristenan adalah agama yang rasional”. Artinya, orang kristen bisa menjelaskan kenapa begini-begitu atau harus buat ini-itu dalam korelasi dengan sang tuhan yang semula ditakuti itu.

Weber adalah seorang keturunan yahudi. Dia mengenal tradisi religius nenek moyangnya. Apa yang khas dari Yudaisme ialah keberanian mereka untuk memunculkan konsep “perjanjian” antara “Yahweh” dan manusia. Yahweh ini sebuah nama yang tak jelas. Penamaan ini hanyalah menunjuk pada superioritas tuhan israel dalam pantheon dewa-dewa bangsa-bangsa sekitar (Amon, Kanaan, dsb). Tuhan Israel dipercaya [oleh orang Israel] lebih unggul atas dewa-dewa lain. Jadi secara implisit eksistensi dewa-dewa lain dipercaya, hanya jabatannya di bawah Yahweh. [Katanya sih, superioritas Yahweh itu hanya bikinan orang Israel yang terserang demam sindrom minoritas dan cognitive dissonance pecundang.] Keunikan si Yahweh ini hanya pada kemauannya untuk “berdialog” dengan manusia. Ini konsep religius yang tak lazim karena jarang dipraktikkan oleh bangsa-bangsa non-Israel. Lantas lahirlah konsep “perjanjian”. Sederhananya, manusia bisa kok berdialog bahkan bernegosiasi dengan si Yahweh itu. Lihat saja bagaimana Abraham bernegosiasi dengan Tuhan soal keputusan Tuhan untuk membumihanguskan Sodom dan Gomora.

Itu kalau kita mau lihat kasusnya Israel alkitab. Fenomena religiositas sejenis juga terjadi dalam berbagai masyarakat dan kebudayaan, seperti nampak dalam berbagai kajian fenomenologi agama oleh Mircea Eliade. Atau juga banyak kajian antropologis agama. Semua kajian itu sebenarnya membuka perspektif kita untuk melihat bahwa apa yang disebut “kebenaran” agama pada hakikatnya adalah quasi-kebenaran. Kemeriahan “kebenaran” yang dipamerkan agama-agama baiknya dilihat sebagai wujud kekuataan tafsir manusia yang terekspresi dalam simbol-simbol kultural, termasuk bahasa. Karena itu saya sih setuju-setuju aja dengan tesis John Hick (lihat “God Has Many Names”) bahwa penamaan realitas ultima itu sebenarnya hanyalah suatu penamaan budaya. “Tuhan” adalah hasil konstruksi sosial manusia. Itu juga yang digarap Max Dimont dalam bukunya [yang kemudian dilarang beredar di Indonesia beberapa tahun lalu] “Desain Yahudi atau Kehendak Tuhan”.

Kesimpulan:

  • Ilmu pengetahuan itu lahir dari ketakutan manusia pada realitas yang melampaui dirinya.
  • Ketakutan itu mendorong manusia untuk mencari cara mengendalikan kekuatan itu.
  • Cara mengendalikan itu semakin tersistematisasi ke dalam kerangka epistemologi dan aplikasinya yang makin valid.
  • Dari situ terbentuk genealogi pengetahuan. Karena itulah Francis Bacon menggelari temuannya dalam rumusan “knowledge is power”; atau Michel Foucault yang mendekonstruksi pengetahuan sebagai “metode untuk memenuhi hasrat berkuasa”.

Dalam konteks pahatan di dinding kampus saya melihatnya sebagai nasihat agar jangan takut untuk “menjadi takut” kepada apapun atau siapapun, termasuk Tuhan. Karena ketakutan kepada yang “paling ditakuti” [Tuhan] justru akan melahirkan sikap berani untuk menghadapi apa yang “tidak ditakuti” [realitas hidup]. Jadi, orang yang “takut Tuhan” justru adalah orang yang tidak boleh berdiam diri atau berhenti berpikir, melainkan mestinya terus bereksperimen dengan imannya agar tidak “cengeng” dan bisanya minta “permen” terus dari Tuhan. Orang yang takut Tuhan adalah orang yang berusaha tidak tergantung sepenuhnya pada Tuhan tapi berusaha bernegosiasi dengan Tuhan. Berdialog dengan Tuhan bukan dalam relasi tuan-hamba, tapi “sahabat” (kayaknya Yesus pernah bilang begitu tapi lupa di injil mana). Konsekuensi “perjanjian” atau “persahabatan” adalah kedua belah pihak harus dalam posisi setara, baru bisa terjadi percakapan. Kekristenan Barat [mungkin] lupa itu sehingga lebih suka conversion daripada conversation dengan budaya-budaya yang belum di”Barat”kan.

Jadi “Satya Wacana”, menurut saya, tidak bisa disempitkan menjadi [hanya] kesetiaan pada “alkitab”, karena Firman Tuhan itu tidak terpasung dalam “alkitab”. Mestinya kita “satya” pada “pengalaman-pengalaman kemanusiaan” atau dalam bahasa Whitehead “occasion of experience”, yang mesti terus menjadi diskursus keilmuan dan keimanan kita [kristen, islam, dll]. Pengalaman manusia itu bukan jargon tapi realitas. Teks yang sesungguhnya itu adalah konteks. Apakah UKSW sudah sungguh-sungguh mengkontekstualisasikan ke-“satya wacana”-annya?





Diskusi 3 – Lagi Tentang Creative Minority

11 12 2007

Catatan ringkas berikut ini merupakan tanggapan terhadap beberapa pendapat beberapa rekan mengenai topik “Meruntuhkan Mitos Creative Minority”. Terima kasih untuk tanggapan dan penjelasannya yang insightful.

Sebenarnya saya hanya mengajukan presuposisi saya berdasarkan perspektif saya tentang interpretasi wacana creative minority. Saya tidak bermaksud menjelaskan karena konsep itu sudah dicetuskan dan dijelaskan oleh Arnold J. Toynbee dalam magnum opus-nya A Study of History. Terima kasih rekan Theo Litaay yang sudah membantu menjernihkan sedikit tentang creative minority dari sang empunya.

Rekan Eka mengatakan ”sepertinya anda salah memahami apa yang dimaksud dengan creative minority”. Memang apa yang saya deskripsikan “panjang lebar” itu adalah presuposisi interpretatif saya terhadap diskursus creative minority. Jika ada yang melihatnya dari perspektif yang berbeda, silahkan. Tetapi bukan berarti saya harus menilainya sebagai “salah memahami” kan?! Tentu saja, perspektif teman-teman sama sekali “tidak melenceng” karena melihatnya dari angle yang berbeda. Bagi saya, perspektif rekan Eka malah makin menjernihkan sudut-sudut yang masih gelap dalam perspektif saya tentang creative minority.

Sebagai diskursus, saya agak ragu bisakah kita memahami creative minority dalam sebuah ranah epistemik yang terisolasi [entah dari konteksnya, entah dari bias interpretatifnya]? Maksudnya, pendasaran logis apa yang membuat creative minority dikatakan ”tidak ada hubungan dengan mayoritas atau minoritas agama, suku, ras, dll”? Apalagi dikapling dalam ”konteks pembicaraan kita”?

Mari kita lihat sejenak apa yang dikatakan Arnold J. Toynbee dalam A Study of History:

{p. 26} When we are confronted with something that we do not understand, we try to make it intelligible to ourselves by tracing a connexion between it and something else that we believe we understand better. Explanation is essentially an act or process of reference.

One step towards explaining a phenomenon is to find its context. ‘Research into meaning cannot be free from synthesis, for only by putting anything into a wider context can its meaning be seen.’ A fact cannot be established or made intelligible unless it is related to other facts or is part of a larger system.

Toynbee melihat bahwa peradaban dapat dibangun dan berdaya tahan lama ketika tersedia creative minority yang mampu melahirkan ide-ide dan metode-metode untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam suatu masyarakat. Ide-ide dan tantangan-tantangan itu kemudian dijiplak oleh mayoritas. Artinya, creative minority itu mampu mengonstruksi suatu mode of thought (gaya bernalar) and mode of ought (etika).

Nah, creative minority itu bukan malaikat, bukan? Creative minority itu kan juga manusia yang struktur penalarannya sangat dipengaruhi oleh konstruksi sosial-budaya masyarakatnya. Demikian pula dengan etika sebagai seperangkat nilai yang dilihat sebagai ”baik”, ”bermoral”, ”bermanfaat” dsb. Artinya, merujuk pada statement Toynbee di atas, penjelasan suatu fenomena harus dilihat dalam konteksnya.

Saya bukan Toynbeean. Saya tidak tahu apakah Dr Noto adalah Toynbeean atau hanya sekadar memanfaatkan istilah Toynbee itu karena dianggap sesuai dengan visi/misinya dan semangat zamannya. Saya hanya ingin melihat creative minority sebagai sebuah diskursus yang mesti dipahami dalam lalu-lintas diskursus keindonesiaan yang sarat dan padat dengan multi-interpretasi. Saya ragu apakah memang Toynbee sendiri tidak melihatnya dalam sebuah jejaring makna dengan bidang-bidang kehidupan lain.

Mari kita lihat sejenak lagi apa katanya:

A disintegrating civilization was apt to enter into intimate relations with one or more other representatives of its species; and these encounters between civilizations gave birth to societies of another species: higher religions. At the beginning of the inquiry I had tried to explain the higher religions, like the national and other varieties of parochial states, in terms of civilizations. The last stage of my survey of the history of civilizations convinced me that this way of looking at the higher religions did not, after all, give anything like an adequate explanation of them.

Bukankah sesuatu yang unik ketika Toynbee mengatakan bahwa perjumpaan peradaban-peradaban ternyata melahirkan “spesies” baru dalam masyarakat yaitu “agama-agama tertinggi” yang sudah pasti bukan agama seperti yang kita pahami (Kristen, Islam, Budha, dsb). Nah di situlah persoalan saya dengan Toynbee karena dia hanya memahami jatuh-bangunnya peradaban dalam sebuah perspektif yang sangat Barat dan sangat individual. Mari kita lihat lagi apa katanya:

Civilizations arise not because of genetically superior individuals (there are none) or because of favorable geographical environment, but because of a creative response by a minority of individuals to a situation of special difficulty.

Edward Said dalam bukunya Orientalism mencoba untuk mendekonstruksi civilization yang konotasinya sangat dipengaruhi oleh ”cara pandang” Barat terhadap ”non-Western” yang kemudian dalam sejarah ternyata membentuk identitas ”kita” yang bukan Barat dalam posisi diametral dengan identitas Barat. Kita melihat Barat sebagai “individu” tetapi Barat melihat kita hanya sebagai “kerumunan tanpa identitas” (crowd). Pendekatan Said ini yang kemudian dikembangkan oleh Gayatri Spivak dengan interpretasi post-colonial. Tujuannya adalah untuk mendekonstruksi proyek-proyek rasionalisasi Barat (sosiologi, antropologi, sejarah, sastra dll) yang hanya berujung pada pelestarian hegemoni Barat atas non-Barat.

”Sejarah” ala Toynbee itu juga yang dikritik oleh Chr. Dawson sebagai yang tidak bebas nilai dan jika tidak hati-hati malah kecemplung dalam lubang hegemoni. Demikian Dawson,

There is as yet no history of humanity, since humanity is not an organised society with a common tradition or a common social consciousness. All the attempts that have hitherto been made to write a world history have been in fact attempts to interpret one tradition in terms of another, attempts to extend the intellectual hegemony of a dominant culture by subordinating to it all the events of other cultures that come within the observer’s range of vision. (Chr. Dawson, The Dynamics of World History, p. 273)

Kembali kepada creative minority. Saya percaya bahwa ketika Toynbee bicara soal creative minority dia tidak bicara dalam sebuah “ruang hampa” tapi dalam sebuah konteks sosial masyarakat tertentu. Dalam hal itu Toynbee pun tak bisa mengelak bahwa apa yang dia sebut peradaban itu (apalagi peradaban Barat) tidak bisa dilepaskan dari intervensi agama-agama. Karena apa? Karena agama-agama mampu memberikan kekuatan legitimasi moral yang sangat dibutuhkan agar sebuah peradaban mampu bertahan lama. Seperti yang diyakini oleh Peter Beger dan Thomas Luckman bahwa religion is an effective agency of legitimation because it creates an ordered and total world in which all experience has a meaningful place (Nicholaus Abercombe, Class, Structure and Knowledge: Problems in the Sociology of Knowledge, 1980, hlm. 156).

Craig R. Prentiss (ed.), Religion and the Creation of Race and Ethnicity (2003) menyajikan 14 artikel tentang pertautan agama dan etnisitas yang melahirkan kesadaran identitas, nasionalisme, resistensi, konflik sosial, dsb:

  1. “A Servant of Servants Shall He Be”: The Construction of Race in American Religious Mythologies – Paul Harvey
  2. Myth and African American Self-Identity – Eddie S. Glaude, Jr.
  3. Almost White: The Ambivalent Promise of Christian Missions among the Cherokees – Joel Martin
  4. Indigenous Identity and Story: The Telling of Our Part in the Sacred Homeland – Nimachia Hernandez
  5. Jew and Judaist, Ethnic and Religious: How They Mix in America – Jacob Neusner
  6. Blackness in the Nation of Islam – Aminah Beverly McCloud
  7. Theologizing Race: The Construction of “Christian Identity” – Douglas E. Cowan
  8. Loathsome unto Thy People: The Latter-day Saints and Racial Categorization – Craig R. Prentiss
  9. Our Lady of Guadalupe: The Heart of Mexican Identity – Roberto S. Goizueta
  10. Myths, Shinto, and Matsuri in the Shaping of Japanese Cultural Identity – John K. Nelson
  11. Islam, Arabs, and Ethnicity – Azzam Tamimi
  12. Cosmic Men and Fluid Exchange: Myths of Arya, Varna, and Jati in the Hindu Tradition – Laurie L. Patton
  13. Religious Myth and the Construction of Shona Identity – Chirevo V. Kwenda
  14. Sacral Ruins in Bosnia-Herzegovina: Mapping Ethnoreligius Nationalism – Michael A. Sells

Di Indonesia, kita bisa menemukan proyek intelektual “membangun peradaban” dalam karya-karya Nucholish Madjid (alm.) yang hendak menempatkan Islam sebagai fondasi sivilisasi Indonesia (masyarakat madani). Cak Nur sangat terpengaruh dengan gagasan “civil religion” di Amerika Serikat yang dikembangkan oleh Robert Bellah berdasarkan analisisnya terhadap agama Tokugawa di Jepang yang ternyata menjadi pendorong utama kemajuan masyarakat Jepang [jelas di sini creative minority tak dapat dilepaskan tautannya dari nilai-nilai agama dan etnisitas].

Saya sengaja menulis judul-judul ke-14 artikel itu hanya untuk menawarkan betapa perspektif kita tentang peradaban dan lahirnya creative minority tidak bisa dilepaskan dari kompleksitas diskursus yang mengitari dan melilitnya. Saya tidak tahu apakah menurut teman-teman judul-judul artikel di atas bisa dianggap merefleksikan diskursus peradaban atau tidak. Saya hanya ingin menempatkan creative minority sebagai sebuah diskursus kontekstual di Indonesia. Bahwa itu dilahirkan oleh Toynbee, okelah… Tapi ketika ”dia” dibaca dan dialami oleh orang lain, ”dia” tidak lagi menjadi milik Toynbee sehingga kita harus menempatkannya dalam struktur penalaran manusia Indonesia dengan pengalaman-pengalamannya yang khas.

Saya setuju dengan rekan Neil bahwa kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam perangkap ideologisasi ”mayoritas-minoritas” yang sempit, serta ”perlu merujuk kembali kepada kira-kira apa yang sebetulnya ingin dikatakan dengan pemilihan konsep ini”.

Jika rekan Neil melihat bahwa ”konsep creative minority yang dirujuk pak Noto dari Toynbee tampaknya lebih menekankan peran kepemimpinan”, saya kira itu akan menjadi lebih menarik dan kontekstual dalam bidang pendidikan.

Itu pula yang sebenarnya saya maksudkan dalam paragraf

Julukan “Indonesia Mini” kepada UKSW bukanlah sebuah jargon atau faktor kebetulan, tetapi sebuah metodologi praksis untuk menciptakan sebentuk kesadaran multikultural di kalangan para intelektual yang ditempa di UKSW. Perjumpaan kultural generasi kampus inilah yang nantinya diharapkan membentuk karakteristik kepemimpinan dan intelektual yang sadar budaya dan jauh dari kesan “culun” seperti “katak yang malas keluar dari tempurung”. Dalam konteks itu, UKSW adalah sebuah laboratorium sosial-budaya. Kita semua sedang bereksperimen dengan kemajemukan sosial masyarakat Indonesia. Namanya juga “laboratorium”, kita menguji segala sesuatu di dalamnya dan tidak semua eksperimen itu berhasil, bukan? Pasti kita akan menjumpai kegagalan-kegagalan, yang justru makin membuat kita mengenal dimana letak kesalahan kita dan artikulasi formula seperti apa yang mesti tetap dipertahankan dalam serangkaian interaksi sosial yang diuji itu.

Melahirkan seorang pemimpin tidaklah ekuivalen dengan mencetak teknokrat atau spesialis ilmu pengetahuan. Sebagaimana kritik filsuf Spanyol Jose’ Ortega Y. Gasset (1883-1955) yang pada tahun 1930 menyimpulkannya dalam “The Revolt of the Masses” bahwa peradaban diruntuhkan oleh “the masses and creative minorities”.

Ortega menulis: The prototype of the mass man is the technocrat or the specialist, the person who knows very well a small corner of the universe, but who is ignorant of the rest. The creative minority is a man of dynamic excellence. This man is a hero in that he exerts his will in service to values and goals that are larger than himself; he lives the noble, rather than the common life, in that he lives it as a discipline for which he constantly trains.

Kalau rekan Eka berpendapat bahwa “Cita-citanya UKSW diharapkan menghasilkan orang-orang yang kreatif, yang berbeda dengan sarjana pada umumnya, orang-orang yang jumlahnya sedikit, tetapi memberi warna pada dunia”. Di mana perbedaannya? Dari sudut ilmu pengetahuan? UKSW tidak menyajikan genre ilmu pengetahuan yang baru. Dari sudut penelitian? Mungkin. Tapi tema-tema penelitian toh tidak berbeda dalam kerangka teoretiknya dengan universitas2 lain (daftar pertanyaan bisa diperpanjang).

Dalam pandangan saya, UKSW harus berbeda dari caranya memahami konteks keindonesiaan yang multikultural ini sehingga karakter intelektual yang dibentuk di dalamnya tidak hanya melahirkan teknokrat dan spesialis untuk memenuhi tren dunia kerja kontemporer (meski itu bukan tak penting), tetapi dari UKSW lahir intelektual-intelektual yang memiliki karakter ”Indonesia”: artinya, tidak terperangkap dalam arogansi ”kebarat-baratan” yang ”sok tahu” tapi sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang ”Indonesia”. Ujung-ujungnya, kita malah menciptakan hegemoni baru. Para intelektual UKSW mestinya berbeda karena memiliki kompetensi untuk membangun ”strategi kebudayaan” (pinjam istilah Van Peursen, Strategi Kebudayaan). Tapi bagaimana bisa membangun strategi kebudayaan jika kita sendiri tidak mengenal karakteristik masyarakat kita dan mengalami kehidupan multikultural (agama, etnis, bahasa, dsb) sebagai bagian dari praksis pengalaman komunitas ”kampus”?

”Menuju Kampus Populis” hanyalah gagasan eksperimental berdasarkan pengalaman ber-UKSW dan ber-Salatiga yang sangat singkat. Dan itu adalah refleksi intelektual dan spiritual saya yang sebenarnya juga dicerahi oleh Berger dan Luckmann yang believe that one of the main weakness of analyses in the sociology of knowledge, besides their determinism, is their concentration on theoretical thought or, worse, on the written ideas of intellectuals…Within knowledge defined in this way, theoretical speculation plays only a minor role. What is of much greater importance is the knowledge appropriate to the conduct of everyday life and, following Schutz, Berger and Luckmann believe that the reality of everyday life is the paramount reality. (Abercombe, hlm. 146).

Begitulah!





Diskusi 2 – Meruntuhkan Mitos Creative Minority

11 12 2007

Hal pertama yang saya rasa sangat mengusik karena kerap muncul, bahkan seolah menjadi mitos ialah konsep “creative minority”. Indonesia ini kan rumah kita bersama to? Ataukah masih ada yang merasa “ngontrak” atau “indekos” di Indonesia? [Istilah “ngontrak” di sini beda maknanya dengan social contract-nya mbah Rosseau]. Kalau rasa “teralienasi” itu masih ada, saya rasa di situlah pekerjaan rumah kita untuk terus menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa negara-bangsa ini lahir karena tuntutan proyek nasionalisme bersama lintas golongan [etnis, agama, kebudayaan, aliran politik dll]. [nah, saya rasa kontrak sosialnya Rosseau bisa dipakai dalam proyek ini] Ya karena itulah namanya “Indonesia”, bukan Republik Islam karena Islam [anggap diri] mayoritas atau Republik Jawa [karena etnis Jawa anggap diri lebih banyak jumlahnya]. Namanya “Indonesia” supaya saya yang berkulit sawo matang dan rambut keriting tetap bisa ngobrol bahkan berdebat tegang dalam kesetaraan dengan teman-teman berkulit kuning dan rambut lurus. [nb: tesis itu saya pinjam dari Prof. John Titaley]. Dan obrolan kita bukan siapa yang lebih banyak atau lebih jago tapi tentang kemungkinan-kemungkinan agar hidup bersama yang kental dengan potensi konflik ini bisa dijalani sebagai konsensus budaya.

Julukan “Indonesia Mini” kepada UKSW bukanlah sebuah jargon atau faktor kebetulan, tetapi sebuah metodologi praksis untuk menciptakan sebentuk kesadaran multikultural di kalangan para intelektual yang ditempa di UKSW. Perjumpaan kultural generasi kampus inilah yang nantinya diharapkan membentuk karakteristik kepemimpinan dan intelektual yang sadar budaya dan jauh dari kesan “culun” seperti “katak yang malas keluar dari tempurung”. Dalam konteks itu, UKSW adalah sebuah laboratorium sosial-budaya. Kita semua sedang bereksperimen dengan kemajemukan sosial masyarakat Indonesia. Namanya juga “laboratorium”, kita menguji segala sesuatu di dalamnya dan tidak semua eksperimen itu berhasil, bukan? Pasti kita akan menjumpai kegagalan-kegagalan, yang justru makin membuat kita mengenal dimana letak kesalahan kita dan artikulasi formula seperti apa yang mesti tetap dipertahankan dalam serangkaian interaksi sosial yang diuji itu.

Nah, di situlah saya melihat bahwa proses mengejawantahkan ideal-ideal itu tidak mesti terjadi dalam bentuk-bentuk formal [penerbitan buku, diskusi, dll], melainkan bisa saja mewujud dalam interaksi alamiah. Komunitas “askarseba” saya kira bisa menjadi refleksi “benturan peradaban” yang tidak harus menuju konflik tetapi malah melahirkan kreativitas menyiasati hidup bersama dalam perbedaan. Di situlah, saya mencoba berjarak kritis dengan Mpu Samuel Huntington dan mungkin juga Francis Fukuyama yang nampaknya cenderung mengintip fenomena Asia dan Indonesia dalam “kaca pembesar” Amerikanisme. Dengan “kaca pembesar” itu memang nampak semua yang kecil-kecil di Asia atau Indonesia, tetapi dalam beberapa konseptualisasi mereka lupa bahwa “Ini bukan Amerika, bung!”

Saya tidak merasa nyaman dengan “creative minority” karena saya curiga jangan-jangan konseptualisasinya sebenarnya sudah terserang “sindrom kompleks minoritas” yang malah melumpuhkan kreativitas kita sehingga kita malah jadi salah kaprah dalam banyak kiprah.

Saya sekarang [masih] Kristen Protestan dan dilahirkan dalam kultur Ambon. Apakah itu tanda bahwa saya adalah “minoritas” [entah ukurannya kualitatif atau kuantitatif]? Setidaknya, di kampung saya di Ambon saya masih punya keluarga besar yang menerima saya bukan sebagai “alien”. Dan di kampus pun saya merasa tidak harus berdialek Ambon dan enjoy dengan slank Salatiga. Demikian pula dengan teman2 lain yang dengan enteng ber-“beta”-ria “sonde” dengan aksentuasi daerah mereka yang menimbulkan efek bunyi yang menggelikan di telinga. Tetapi itulah Indonesia kita, kan?

Dalam konteks keagamaan, apakah tepat mengatakan Islam adalah agama mayoritas. Secara umum mungkin ya. Tapi kenyataannya, seorang teman NU sendiri mengakui betapa kuatnya fragmentasi karena banyaknya faksi dalam Islam Indonesia. Misalnya, kelompok Ahmadiyah tetap merasa “teralienasi” dalam arus utama keislaman Indonesia [yang lebih banyak ditentukan oleh tradisi-tradisi besar seperti NU dan Muhammadiyah].

Jadi menurut saya soalnya adalah bagaimana kita mengelola “otherness” kita bukan sebagai upaya pengerucutan kategorial “minoritas” atau “mayoritas”.

Itulah pula sebenarnya yang saya alami sebagai eksperimentasi UKSW untuk mengejawantahkan idealisme keindonesiaan dan ideal-ideal lainnya dalam konteks yang lebih konkrit. Saya kira UKSW serius dengan itu karena pengalaman saya studi di UKSW baru pertama kali saya temukan genre ilmu pengetahuan seperti “Sosiologi Menurut Indonesia” yang sekarang menjadi “Sosiologi Indonesia”. Saya percaya karakteristik sejenis juga bisa ditemukan di fakultas-fakultas lainnya di UKSW.

Sebenarnya itu yang saya maksud dengan pertanyaan “menuju kampus populis”. Itu sebuah pertanyaan retoris yang hendak menggugat kembali apa yang pernah menjadi praksis UKSW [sekarang pun masih hanya tampil dalam performa dan intensitas yang berbeda].

Konsientisasi saya kira berlangsung pada semua aras pendidikan [yang mungkin maknanya mesti lebih luas dari sekadar “mengajar”]. Jika kehadiran UKSW sudah “disadari” sebagai bagian dari dinamika sosial masyarakat Salatiga [yang masih wilayah Indonesia] itu saja sudah merupakan revolusi paradigma pendidikan tinggi Indonesia, menurut saya. Maksudnya, janganlah kita terjebak untuk mengukur yang “nasional” itu selalu harus “made in Jakarta”. Dampak positif kehadiran UKSW [performa, kontribusi iptek, dll] DI SALATIGA, bagi saya itu sudah sebuah prestasi nasional. Hanya banyak orang yang memang enggan belajar dari “yang kecil”. Padahal dari peristiwa biasa “apel jatuh” oleh seorang Newton bisa melahirkan teori gravitasi yang menginspirasi manusia untuk mengatasinya agar bisa menyentuh “big apple” [maksudnya: bulan].

Catatan untuk rekan Neil Rupidara, saya kira artikulasi “grassroot” dan “academic role” mungkin sebaiknya tidak dilihat sebagai aral tapi misi humaniora ilmu pengetahuan. Muhammad Yunus peraih Nobel yang lalu membuktikan bahwa konsep perbankan populis bisa menjadi teladan bahwa misi itu bukan sebuah utopia.





Diskusi 1 – UKSW: Menuju Kampus Populis?

11 12 2007

JAS MERAH – JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH, demikian pernah dikatakan Bung Karno. “Sejarah” memang merupakan aspek penting bagi kita untuk belajar tentang apa yang sudah kita lakukan dan dampaknya bagi masa depan kita sendiri. Kita “belajar” dari sejarah kita. Artinya, kita ingin dibebaskan dari keterbelengguan historis yang membuat kita hanya sibuk mengurus [atau bahkan meluruskan] masa lalu. Tetapi apakah “sejarah” itu? Bagi saya, “sejarah” bukanlah fakta, melainkan perspektif tentang apa yang dianggap fakta. Sebagai yang demikian, kita memang bisa mengeksplorasi jutaan informasi yang kita anggap sebagai “sejarah” [padahal itu hanya kumpulan informasi dan analisis yang reliabilitasnya pun tergantung pada vested interest masing-masing orang].

Saya adalah generasi kampus yang TIDAK “merasakan” langsung pergolakan UKSW yang sudah dibahas rekan-rekan milis. Karena itu, saya merasa urun rembug saya akan mubazir karena toh perspektif saya tidak memadai tentang apa yang saya anggap fakta itu. Catatan-catatan dari para rekan milis sudah cukup memberikan gambaran bagaimana rekan-rekan “outsider” dan “insider” meneropong peristiwa saat itu.

Kita harus mengakui bahwa apa yang pernah terjadi di UKSW sangat mempengaruhi eksistensi dan praksis UKSW selanjutnya. Tetapi apakah tepat jika hanya satu “peristiwa” itu kemudian dipakai sebagai parameter tunggal untuk menilai seluruh cara mengada (atau eksistensi) UKSW? Kalau “kemelut UKSW” pernah dijuluki sebagai pergolakan kampus terhebat, saya justru melihatnya hanya salah satu riak kecil dalam perjalanan panjang UKSW yang tak pernah berhenti bergolak. Maksud saya, pergolakan intelektual di kampus diponegoro rasanya TIDAK PERNAH berhenti pasca peristiwa itu. Dalam konteks itulah saya adalah generasi kampus yang MERASAKAN langsung pergolakan [intelektual] di UKSW [bahkan sampai saat ini].

Persoalannya: mungkinkah kita mentranformasi paradigma sejarah sebagai sejarah “orang-orang besar” dan “lembaga-lembaga besar”, menjadi sebuah sejarah populis atau sejarah rakyat yang termarjinalisasi?

Siapa yang tak kenal “Probowinoto”, “Arief Budiman”, “Th. Sumartana”, “Ariel Heryanto”, “Willy Toisuta”, “John Titaley” dll? Saya mengagumi pikiran-pikiran mereka! Dedikasi mereka terhadap UKSW tentu mesti dilihat dalam sebuah cara pandang yang kontekstual, karena mereka juga dibentuk dalam kultur akademik yang berbeda-beda. Karena itu, tidak mengherankan jika gaya kepemimpinan mereka juga berbeda. Tetapi bukankah itu yang membuat UKSW menjadi makin kaya dengan perbedaan?

Tetapi mungkin kita tidak kenal “Mas Joko” tukang sapu kampus beranak 3 yang juga nyambi jualan singkong di pasar Salatiga, “Mbak Retno” penjual nasi pecel di pinggir kampus, “Pak Warno” satpam kampus, “Mbak Indah” pramugerai wartel dan lain-lain… Mereka termasuk “tokoh” dalam “sistem” atau tidak?

Pernah suatu hari di tahun 2000, saat itu situasi konflik di Ambon sedang memanas, ada sekelompok anak muda yang mengaku datang dari beberapa pesantren menempelkan selebaran-selebaran yang berisi ajakan berjihad ke Ambon di tembok-tembok bangunan di Salatiga. Tak lama kemudian, serombongan anggota BANSER NU melakukan swepping dan merobek-robek selebaran-selebaran yang sudah maupun yang belum ditempel. BANSER NU kemudian mengingatkan kelompok yang menempelkan selebaran itu dengan berkata [dalam bahasa Jawa]: “Ini Salatiga, bukan Ambon. Jangan merusak Salatiga. Jangan coba-coba mengganggu UKSW karena kalian akan berhadapan dengan wong Salatiga!”

Peristiwa itu mungkin peristiwa kecil karena hanya disaksikan oleh sedikit orang. Tetapi peristiwa itu merupakan refleksi kesadaran mendalam akan pentingnya kehadiran UKSW di tengah-tengah kehidupan masyarakat Salatiga. Siapa yang membesarkan siapa? Siapa yang tokoh? Sistem mana yang lebih kokoh? UKSW-kah atau masyarakat Salatiga-kah? Saya kira, kita tidak bisa menafikan keduanya. Masyarakat dan kampus adalah bagian integral dalam orientasi pendidikan kita. Mudah-mudahan kita [yang orang kampus] tidak lupa itu. Sehingga kita selalu siuman bahwa “kebesaran” UKSW tidak hanya ditentukan oleh “tokoh-tokoh besar” dengan sederetan gelar akademik jebolan luar negeri, tetapi juga oleh “rakyat” yang memberikan hidupnya bagi UKSW.

Intermeso

Saya pernah ditanya: UKSW itu di mana? Saya jawab: Di Salatiga. Komentar balasan: “Lho, ada to kampus di kota kecil itu? Mangkanya gak kedengeran namanya.” [Apa hubungan universitas dengan ukuran kota tempat kampusnya? – toh banyak juga “kampus ecek-ecek” yang bertebaran di kota-kota besar; jadi yang “besar” kapabilitas universitasnya atau ukuran kotanya?] Lagi-lagi soalnya: UKSW yang gak bersuara [membisu] atau si penanya itu yang budeg [bolot]? Padahal pengalaman saya, identitas UKSW melekat padu dengan identitas sosial wong Salatiga.

Jika “kemelut UKSW” pernah membuat CEMAS [itu perspektif saya berdasarkan percakapan dengan ibu-ibu tukang cuci baju di Askarseba] rakyat Salatiga karena banyak orang menggantungkan hidupnya pada kehadiran UKSW [langsung dan tak langsung], tidakkah itu menjadi sebuah catatan penting bahwa “sejarah” UKSW sebenarnya adalah juga “sejarah kaum proletar” [pinjam istilah eyang Karl Marx]? Dan oleh karena itu, UKSW juga harus menata masa depan berdasarkan keterlibatannya dalam kehidupan masyarakat marjinal, bukan hanya di Salatiga tapi juga di Indonesia.

Persoalannya: mampukah UKSW [tokoh, sistem, visi/misi, orientasi, ideologi, teologi, kurikulum, faculty development, dll] di masa depan tidak lagi terkooptasi oleh lingkaran elitis di menara gading, tetapi menampilkan eksistensinya sebagai “kampus populis”?

Kalau mau dikonkritkan: kita bisa bertanya apa visi dan misi keindonesiaan yang ditawarkan oleh UKSW tentang bencana berseri sejak akhir 2006 hingga awal 2007 ini. Kok rasanya gak pantes jika kita “membisu” di tengah jeritan histeris kematian yang menimpa rakyat negeri ini. Atau malah asyik nonton tayangan tragis rakyat kecil di tv sambil menikmati batagor panas? Atau hanya tersipu dengan kebinalan kelamin sang anggota DPR dengan penyanyi dangdut – refleksi kebobrokan elite yang bercadar “kepentingan rakyat”. Lantas, hukum ternyata mengarahkan perhatian publik pada kebersalahan “perempuan” yang selalu dianggap “nakal” dalam keliaran sensualitasnya, sementara “lelaki” sebagai lambang keangkuhan tak pernah diutak-atik. Hukum makin menjadi “maskulin” dan kehilangan “feminitasnya”. Akhirnya, cuma yang perkasa dan berduit yang menang, yang kecil dan lemes… emang gue pikirin. Nah, untuk urusan “hukum-menghukum” biar nanti bung Theo cs di fakultas hukum yang mempersiapkan berkas perkaranya.

Mungkin saja, “saya” [daripada mengatasnamakan “kita”] termasuk orang-orang yang lebih doyan beronani intelektual ketimbang melakukan intercourse dengan realitas derita rakyat miskin-tertindas. Padahal [katanya] kita hendak menjadikan pendidikan sebagai konsientisasi untuk menghancurkan “budaya bisu” ketidakadilan yang kerap malah dilestarikan oleh lembaga-lembaga pendidikan [seperti yang diidealkan oleh opa Paulo Freire].