UKSW dalam Pergulatan Kebangsaan Kini

7 12 2007
Mencermati situasi sosial dan keamanan publik di Poso belakangan ini membuat kita semakin cemas. Pasca eksekusi Tibo cs yang divonis bersalah sebagai “dalang” beberapa peristiwa konflik dan kekerasan horisontal di Poso, ternyata tidak membuat situasi sosial makin membaik. Sehingga kemudian beredar rumor di kalangan masyarakat luas: apakah benar orang-orang seperti Tibo cs adalah dalangnya? Ataukah Tibo cs hanyalah “kambing hitam” yang memang diperlukan untuk meredam [atau mengalihkan] energi konflik dalam masyarakat? Ataukah eksekusi Tibo cs itu hanya menjadi cara pihak kepolisian dan hukum “menyelesaikan” kasus Poso? Daftar pertanyaan masih bisa dilanjutkan lebih panjang lagi.

Sejumlah pertanyaan itu mengemuka setelah terjadinya serangkaian aksi teror bom dan kekerasan disertai pembunuhan yang melibatkan kelompok masyarakat tertentu dan aparat kepolisian. Tuntutan sekelompok orang agar pemerintah menarik pasukan Brimob yang di-BKO-kan di Poso dan beberapa orang jenderalnya, nampaknya memang agak aneh. Anehnya ialah: polisi saja [jika memang institusi negara ini diandaikan bersikap netral] tidak mampu menemukan para pelaku aksi teror; bagaimana mungkin mereka bisa ditarik? Keanehan yang berikut ialah: jika mereka menghendaki polisi BKO ditarik maka diasumsikan kelompok ini tahu siapa pelaku aksi teror sehingga mereka tidak membutuhkan kehadiran polisi. Atau, mereka memang mempunyai agenda politik tersendiri yang dirasakan dapat dilakukan dengan “menunggangi” situasi Poso yang tak menentu.

Wapres Jusuf Kalla menanggapi perkembangan situasi di Poso dengan langkah-langkah yang tidak proporsional. Dia memanggil tokoh-tokoh yang pernah menandatangani Perjanjian Malino I. Di antaranya adalah Jafar Umar Thalib, bekas panglima Laskar Jihad yang juga pernah berjibaku di medan Ambon. Langkah yang diambil oleh wapres ini memang nampak seperti sebuah “dagelan politik” yang memuakkan. Orang-orang seperti Tibo cs dengan tanpa ampun bisa dieksekusi [bahkan foto-foto jenasah mereka menunjukkan dengan jelas luka-luka di wajah akibat penganiayaan] , tapi kenapa orang seperti Jafar Umar Thalib bisa lolos mulus? Padahal nyata-nyata pasukan Laskar Jihad di Ambon petantang-petenteng dengan segala jenis senjata api [yang konon polisi Indonesia pun tak pernah memegangnya] . Memang tak berlebihan jika Clifford Geertz menyebut negara ini sebagai “negara teater”.

Dan lagi dalam wawancara di salah satu stasiun TV swasta, JK dengan enteng mengatakan bahwa konflik Poso ini hanyalah ulah sekelompok kecil orang. Mereka melakukan itu hanya karena tidak ingin Poso aman sehingga bisa mengambil keuntungan dari situasi itu. JK benar-benar sedang membodohi publik Indonesia. Kalau memang itu ulah sekelompok kecil orang, kenapa polisi pontang-panting seperti orang linglung menyelesaikan konflik Poso? Kalaulah mereka memang benar hanyalah sekelompok kecil, tapi tentunya untuk melakukan aksi teror dalam skala massif [dengan bom dan senjata api, lalu kemampuan menghilang] diperlukan “orang besar” dan “dana besar” dong. Artinya, untuk apa mereka melakukan itu? Jumlah korban yang besar dan operasi teror yang licin, tentu harus dilakukan untuk kepentingan yang besar dan jangka panjang. No pain, no gain.

Dalam pemberitaan Harian Seputar Indonesia Kamis 2 November 2006 (hlm 1) disebutkan bahwa Kapolri Jenderal Pol Sutanto mengatakan bahwa Polri telah meminta bantuan Ketua Forum Silaturahmi dan Perjuangan Umat Islam Sulteng Adnan Arsal untuk membantu mendapatkan ke-29 tersangka. Tidak disebutkan bantuan seperti apa yang diminta. Tapi dalam kapasitas sebagai masyarakat sipil, rasanya paling banter yang bisa dilakukan adalah bantuan informasi. Itu pun sebenarnya agak lucu juga, karena bukankah polisi dan militer di negara ini memiliki badan intelijen yang tugas pokoknya adalah mengumpulkan informasi dan melakukan pemetaan jaringan kelompok-kelompok yang dicurigai sebagai dalang kejahatan? Bukankah tugas seperti itu sudah dilakukan juga oleh beberapa kelompok masyarakat atau LSM, seperti Crisis Center GKST dan yang lain-lainnya? Informasi seperti apa yang dibutuhkan oleh Polri? Informasi yang memang menunjuk pada terungkapnya fakta konflik Poso ataukah informasi yang “diinginkan” oleh Polri, meskipun tak harus sesuai fakta?

Makin rumitnya konflik Poso ini seharusnya menggelisahkan kita semua sebagai orang-orang UKSW. UKSW pernah dijuluki sebagai “Indonesia Mini” dan kita yakin sampai sekarang pun masih begitu adanya. Julukan itu bukan saja menandai kemajemukan civitas academica-nya, tetapi terlebih menunjuk pada pendekatan keilmuan yang dibangun di atas dasar “spiritualitas” keindonesiaan. Tahun 2000 atas prakarsa beberapa mahasiswa asal Ambon, Halmahera dan Poso dibentuklah semacam kelompok kerja (pokja). Pokja ini bertugas a.l.:
  1. (1) menginventarisasi nama-nama mahasiswa yang keluarganya menjadi korban konflik dan mengusahakan terbangunnya jejaring beasiswa dari berbagai pihak yang konsern agar para mahasiswa dari tiga daerah itu tetap bisa studi;
(2) mencatat setiap perkembangan situasi yang terjadi di tiga daerah konflik tersebut dan membuat analisis situasi, lalu menyebarkannya ke media massa;
(3) berdasarkan analisis situasi tersebut, disusunlah semacam materi kampanye perdamaian dengan tujuan menjaring sebanyak mungkin pihak yang mau terlibat agar publik luas makin mengerti situasi sebenarnya;
(4) melakukan seruan-seruan ke lembaga-lembaga HAM internasional dengan tujuan pihak internasional mampu menekan pemerintah Indonesia agar tegas dalam menghentikan kekerasan dan pembunuhan secara massif di tiga daerah itu;
(5) dan lain-lain.

Seluruh upaya itu memang tidak semuanya membuahkan hasil. Tetapi salah satu hasil yang membuat nama UKSW semakin dikenal di dunia internasional ialah ketika Pdt. Dr. John Titaley diundang untuk hearing di hadapan United States Conference of International Religious Freedom (USCIRF) bersama dengan beberapa orang delegasi dari ketiga daerah itu. Dalam waktu 1 minggu pokja ini bekerja mengumpulkan data dari berbagai sumber, mendisain peta wilayah konflik agar lebih mudah di-display, menulis kronologis peristiwa konflik untuk menemukan sebuah “pola” yang dapat dijadikan bahan analisis, mendiskusikan draft tersebut berkali-kali. Semuanya itu dilakukan di beberapa tempat: asrama unit 7 dan unit 4, di kampus, dan di garasi rumah Pdt. John Titaley [yang untuk sementara disulap menjadi sebuah ruang kerja sederhana dengan 1 unit komputer]. Untuk pengiriman bahan lewat internet digunakan fasilitas internet di Gedung G lantai 4. [Sampai-sampai Satpam pun maklum dan meminjamkan kunci jika memang harus kerja sampai larut malam].

Walaupun agenda hearing itu lebih terfokus pada konflik Maluku, namun beberapa pakar sosiologi, antropologi, politik internasional, “indonesianis” , sejarahwan [termasuk analisis Pdt. Dr. John Titaley] yang turut hadir juga menyampaikan analisis mereka mengenai “Indonesia”. Artinya, mereka menyadari bahwa kontur politik Indonesia-lah sebenarnya yang membuka ruang bagi pecahnya konflik horisontal. Dengan perkataan lain, konflik-konflik sosial yang terjadi di Indonesia lebih banyak dilihat sebagai “akibat” dari konflik-konflik struktural dan ekonomi yang lebih besar. Bahkan turut melibatkan “tangan-tangan asing”.

Peristiwa tersebut tentu menjadi catatan penting dalam sejarah UKSW. Oleh karena itu, mungkin kita juga sekarang mesti melihat kembali peran sosial-politik UKSW [mudah-mudahan belum terpasung] dalam penentuan kebijakan [sipil dan militer] yang langsung atau tak langsung melibatkan nasib ratusan juta anak negeri Indonesia. Kita mestinya optimis bahwa jaringan ikasatya di seluruh Indonesia mampu melakukan sesuatu yang “menggetarkan” Indonesia. Apalagi jika itu dilakukan dalam spirit solidaritas kemanusiaan universal. UKSW bertindak demi kemanusiaan dan keindonesiaan. Bukankah itu sebenarnya maksud mengapa huruf “K” itu [harus] selalu ada di antara “U” dan “SW”?


*Tulisan ini awalnya merupakan materi diskusi yang diposting di mailing list alumni UKSW Salatiga.




Islam-Kristen Dalam Diskursus Kebudayaan dan Etnisitas: Catatan Kecil dari Maluku

7 12 2007
Abstract

In this article I would like to analyze theological perspective of Rev. Dr. Arnold N. Radjawane which had been written in 1960s under the title “Islam in Ambon and Haruku”. His perspective about Islam in Maluku at that time was closely related to his construction of thought as a theologian who studied theology in West (Germany). Through this article I am trying to trace interconnectedness between theological discourse and political context which very influence Radjawane’s view. From such elaboration I am also constructing my critique toward Christian understanding about mission and looking for the opportunities to unfold theological discourse in the context of local culture in Maluku (in this case, Ambon society). Once Radjawane’s article had been used as prime reference about “christianization” in Maluku since he was well-known as one influential church leader in Maluku (he was a chairperson of GPM Synod and actively involved in political party until his retirement). The aim of this article is not to debate the meaning of Christian mission in the past and its sociological effects today but rather to understand interrelationship between text and context that further producing the so-called “cultural discourse” in Maluku society.

Key words: critical discourse analysis, etnisitas, cultural studies

Pengantar

Tulisan ini merupakan tanggapan terhadap artikel Pdt. Dr. Arnold N. Radjawane bertajuk “Islam di Ambon dan Haruku”.[1] Ada dua alasan kenapa artikel itu dijadikan acuan dan sekaligus kritik:

1. Artikel itu memberikan sebuah perspektif teologis yang sangat penting dan kontekstual pada suatu ruang dan waktu tertentu; yang sangat mempengaruhi pandangan orang-orang Kristen terhadap hakikat menggereja dalam tantangan konteks sosial dan budaya masyarakat Maluku (pada saat itu).

2. Artikel itu ditulis oleh seorang teolog muda Maluku dan sekaligus kader pemimpin gereja (GPM) yang sangat potensial. Dapat dipastikan bahwa artikel itu merefleksikan sikap dan perspektif eklesiologis-misiologis GPM saat itu dalam menyikapi realitas konteks gumul GPM.

Pendekatan

Kerangka analisis yang dipakai sebagai pisau untuk membedah tulisan Radjawane itu adalah analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis – CDA). CDA dikembangkan untuk mengidentifikasi kendali-kendali sosial-politis yang diyakini secara aktif mengonstruksi masyarakat pada beberapa tataran.

Sudah banyak kajian yang menggunakan CDA dan ditemukan kerumitan tersendiri untuk menentukan suatu definisi yang tegas-jelas. CDA mempunyai tujuan utama untuk mengidentifikasi ketidaksetaraan sosial-politis yang berlangsung dalam masyarakat. Dari sejumlah definisi, saya membatasi diri dengan merujuk pada definisi Fairclough:[2]

[CDA is the study of] often opaque relationships of causality and determination between (a) discursive practices, events and texts, and (b) wider social and cultural structures, relations and processes; to investigate how such practices, events and texts arise out of and are ideologically shaped by relations of power and struggles over power; and to explore how the opacity of these relationships between discourse and society is itself a factor securing power.

Kata “kritis” menunjukkan pertautan dan akar-akar yang terselubung, juga intervensi, misalnya menyajikan sumber-sumber bagi mereka yang terabaikan dalam proses perubahan. Lacakan terhadap hal-hal yang tersembunyi itu menjadi penting, karena selama ini tidak terlalu jelas bagi masyarakat yang terlibat di dalamnya dan karena itu tidak mampu menghadapinya.

Batsone mengelaborasi lebih lanjut:[3]

Critical Discourse Analysts seek to reveal how texts are constructed so that particular (and potentially indoctrinating) perspectives can be expressed delicately and covertly; because they are covert, they are elusive of direct challenge, facilitating what Kress calls the ‘retreat into mystification and impersonality’.

Fairclough menyelidiki bagaimana cara kita berkomunikasi dikungkung oleh struktur-struktur dan kekuatan-kekuatan lembaga-lembaga sosial yang di dalamnya kita hidup dan berfungsi.[4] Dia mengidentifikasi tiga tataran wacana: [1] social conditions of production and interpretation, yakni faktor-faktor dalam masyarakat yang menggiring pada produksi suatu teks dan bagaimana faktor-faktor itu mempengaruhi interpretasi; [2] process of production and interpretation, yakni bagaimana teks-teks diproduksi dan itu mempengaruhi interpretasi; [3] the product of the first two stages, the text. Fairclough membagi tiga tahapan CDA:[5]

  • Pemerian sebagai tahapan yang berkaitan dengan muatan formal suatu teks
  • Interpretasi terhadap hubungan teks dan interaksi, dengan melihat suatu teks sebagai produk dari suatu proses produksi dan sumber dalam proses interpretasi
  • Eksplanasi tentang interaksi dan konteks sosial, dengan determinasi sosial dari proses-proses produksi dan interpretasi, dan dampak sosialnya.

Agama dan Konstruksi Identitas

Berbitjara tentang Islam di Maluku apalagi tentang orang Maluku Islam, biasanja tidak sedikit menimbulkan keheranan bagi sebahagian besar kalangan Kristen diluar Maluku sendri. Hal ini dapat kita mengerti bila kita ingat bahwa dalam kontak (persinggungan) dengan suku2 bangsa Indonesia lainnja diluar daerah Maluku, maka orang hanja mengenal suku2 Maluku (jang biasa dichususkan dengan nama “orang Ambon”) melulu sebagai golongan Kristen jang mewakili lapangan kepegawaian menengah dan terutama dilapangan kemiliteran. Tetapi fictie jang mengidentikkan “Maluku (Ambon)” dengan suatu “daerah Kristen melulu” adalah djauh dari realitet sebenarnja, karena hasil pemilihan umum DPR ditahun 1955 tjukup memberikan gambaran jang djelas tentang djumlah golongan Muslimin di Maluku (Partai Masjumi diwakili oleh djumlah suara ± 50% (hlm. 70)

Masyarakat Maluku terbentuk dalam suatu konteks dengan kontur geografis kepulauan besar/kecil yang dipisah-hubungkan oleh laut. Kondisi kepulauan ini turut membentuk karakter masyarakat dan pola-pola hubungan sosial antar­masyarakat pulau-pulau. Secara sosiohistoris, masyarakat Maluku adalah kelompok sosial heterogen yang terkonfigurasi dari berbagai suku-bangsa dan ras yang selama ratusan tahun telah menjalin kehidupan bersama. Konfigurasi sosial ini yang kemudian membentuk identitas etnis Maluku.

Proses kolonialisasi di Maluku selama beberapa abad telah pula memberikan kontribusi signifikan bagi pembentukan identitas “orang Maluku”. Kolonialisasi yang diikuti dengan aktivitas-aktivitas “kristenisasi” masyarakat lokal oleh badan-badan misi Kristen Barat menjadi arena interaksi kebudayaan “superior” dan kebudayaan “inferior”. Dalam konteks itu, inferioritas menjadi atribut utama yang sangat ditentukan oleh kemampuan (k)ebudayaan itu [lokal] membangun relasi dengan (K)ebudayaan Barat yang “modern” atau superior.

Cara pandang itu sangat dipengaruhi oleh rasionalitas Pencerahan (Enlightenment), yang memandang kelompok-kelompok etnis sebagai unit-unit sosial yang statis, koheren dan stabil. Jika ditelusuri kembali, apa yang disebut rasionalitas Pencerahan juga merupakan warisan abad pertengahan dan Renaisans terhadap kebudayaan, yang melihat perbedaan-perbedaan di antara manusia sebagai suatu tatanan ciptaan Tuhan. Mulanya, etnisitas memuat suatu konotasi peyoratif, dari akar kata Yunani ethnos: orang tidak beradab, bukan-Eropa, bukan-kulit putih, kelas rendah, barbar ~ “orang luar” atau “yang lain” (other).[6] Konsekuensinya, dunia tersegmentasi menjadi kelompok-kelompok budaya dalam suatu hirarkhi, dengan kebudayaan Eropa di tempat teratas. Gagasan-gagasan ideal mengenai “kebebasan” hanya berlaku untuk kelompok budaya ini saja (bahkan kelompok yang lebih terbatas: laki-laki, kulit putih, kelas menengah). Mereka inilah yang kemudian merasa berhak untuk menentukan identitas “yang lain”, sehingga “yang lain” itu sama sekali tidak memiliki independensi kreatif.[7]

Etnisitas: konsep dan problematika

Etnisitas selama ini mengandung pengertian negatif dan positif. Yang negatif melihat etnisitas sebagai faktor penghambat dalam proses nation building; yang positif melihatnya sebagai bentuk lain dari organisasi sosial atau faktor yang mendorong pembentukan identitas atau status minoritas. Sosiologi dan antropologi mengajukan tiga model untuk memahami etnisitas: dua model saling beroposisi (model primordialis dan model instrumentalis) dan model ketiga (konstruktif) mencoba untuk mengombinasikan kedua model sebelumnya.

· Primordialisme

Etnisitas dilihat sebagai identitas primordial suatu kelompok dan menjadi kategori a priori yang menentukan batasan kelompok guna menjamin stabilitas dan tatanannya. Yang bukan-anggota akan dieksklusi berdasarkan fakta bahwa mereka tidak berbagi identitas primordial yang sama; sedangkan para anggotanya tidak pernah bisa menolak identitas etnik primordial tersebut, tanpa mempedulikan faktor-faktor kontekstual atau historis.[8]

Studi-studi antropologis oleh para pemikir Barat terhadap bentuk-bentuk kebudayaan dan agama yang berbeda-beda, mendesak terjadinya beberapa revisi mendasar pandangan primordialisme. Kebudayaan tidak lagi menjadi istilah eksklusif terhadap “orang-orang beradab” (civilized), melainkan faktor utama pembentuk semua manusia. Perbedaan-perbedaan kebudayaan lebih dilihat sebagai fenomena historis dan kontekstual, bukan lagi sesuatu yang terberikan (given) secara biologis atau alamiah.

Pluralisme dipahami sebagai pendekatan akomodatif terhadap kelompok-kelompok etnis yang lebih kecil, yang meski berbeda-beda tetapi tetap terhisab ke dalam kelompok yang lebih besar secara keseluruhan. Memang kebudayaan tidak lagi dipahami sebagai ekspresi superioritas Barat modern, sehingga etnisitas kemudian menjadi konstruksi identitas bagi masyarakat-masyarakat bukan-Barat. “Asimilasi” dan “akulturasi” menjadi istilah-istilah yang kerap digunakan untuk menggambarkan proses identitas-identitas primordial terabsorbsi ke dalam kebudayaan dominan yang hanyut dalam utopia universalisme dunia modern.

· Instrumentalisme

Muncul konsep baru tentang etnisitas yang dapat dilihat dari gerakan hak-hak sipil (civil rights movement) di Amerika Serikat selama era 1960an. Kelompok-kelompok kecil menolak untuk berasimilasi dan berakulturasi ke dalam kelompok-kelompok dominan, melainkan membatasi diri berdasarkan identitas, kemerdekaan dan otonomi mereka.

Model instrumentalisme menolak kategori-kategori a priori pandangan primordialisme. Bagi kaum instrumentalis, konsep etnisitas sangat bergantung pada kepentingan tertentu manusia dan tanggapan partikular terhadap suatu peristiwa. Arena utama di sini ialah bidang politik. Jika kondisi dan kepentingan berubah, maka berubah pula identitas etnis. Kelompok-kelompok etnis dilihat sebagai bentuk-bentuk historis dan kontekstual yang content-nya bisa berubah. Fokus instrumentalisme bukan lagi pada esensi, tetapi pada batasan (boundaries) kelompok etnis di mana berlangsung transaksi dengan lingkungan sekitarnya.[9] Etnisitas menjadi suatu proses interaksi dinamis di mana berbagai identitas dimobilisasi untuk mengejar cita-cita dan kepentingan-kepentingan tertentu, serta nyaris berfungsi sebagai barter barang-barang sosial, politik dan ekonomi.

Agama dapat menjadi salah satu instrumen. Seperti kata MacKay, agama bisa menjadi “suatu aspek sistem sosial seperti aspek lain dari sistem sosial suatu kelompok: ekonomi, politik, kekerabatan atau kebiasaan (adat)” yang semuanya “bisa dimobilisasi untuk menentukan batas-batas (border) identitas kelompok etnis.”[10]

· Konstruktivisme

Konstruktivisme mencari celah kemungkinan untuk melewati batas rigiditas ekstrem primordialisme dan relativisme ekstrem instrumentalisme. Konstruktivisme menerima adanya aspek-aspek tertentu dari identitas etnis yang terbawa sejak lahir dan secara determinatif membentuk identitas individu anggota kelompok. Sekaligus mengakui bahwa setiap anggota kelompok secara kontinyu merekonstruksi aspek-aspek tersebut (juga untuk menanggapi yang bukan-anggota) di dalam suatu konteks lingkungan historis.

Identitas etnis bukan given secara eksternal tetapi dicitrakan secara kreatif (creatively imagined), yang berbeda dengan identitas-identitas lain yang juga dicitrakan secara kreatif. Identitas etnis selalu merupakan ide-ide yang berkembang [atau wacana], ketimbang sebagai unit sosial yang dapat teramati secara empiris. Identitas etnis adalah suatu konstruksi, ketimbang suatu yang terberikan.

Menurut Tilley, kaum konstruktivis terpecah menjadi dua kubu. Kubu satu mengasumsikan bahwa “identitas etnis bukanlah konstruksi intelektual yang dapat dipisahkan secara tegas, melainkan terartikulasi dalam jejaring praktik-praktik sosial dan beragam kepercayaan”. Kubu kedua mengandaikan bahwa kaum intelektual memainkan peran penting dalam konstruksi identitas etnis sebagai sebentuk “retorika” ketimbang “wacana”.[11]

Identitas etnis dapat dilihat dalam pertautan dengan dialektika identifikasi internal-eksternal. Tilley memahami identitas kelompok sebagai suatu proses historis internal identifikasi kelompok, yang secara kontinyu direkonstruksi melalui interaksi dengan lingkungannya (eksternal) yang terus berubah.[12]

Ketiga perspektif etnisitas di atas mesti dipahami sebagai sebuah jejaring proses-proses sosial-budaya yang berkelindan dan membentuk pemahaman yang dinamis mengenai “identitas sosial”.

Islam-Kristen dalam Proses Pembentukan Identitas: Catatan dari Maluku

Berbeda dengan di-lain2 tempat di Indonesia ini maka di Ambon, Haruku dan Maluku chususnja hubungan antara golongan Islam dan Kristen merupakan jang luar biasa baiknja. Sangatlah mengherankan bahwa keduanja dapat bertumbuh dengan penuh kerukunan dan tolerensi jang hampir tak dapat dimengerti oleh orang2 Islam dan Kristen lainnja jang diluar Maluku sendiri. (hlm. 77)

Penyebarluasan Islam dan Kristen di Maluku dengan metode dan dinamika sejarahnya masing-masing turut mempengaruhi kekentalan homogenitas budaya masyarakatnya. Kesatuan konstruktif identitas budaya lantas terfragmentasi berdasarkan kategori keagamaan yang diwarisi dan dianut oleh satu atau lebih unit-unit sosial yang ada di dalam lokus itu. Meski demikian, kekuatan nilai-nilai etnisitas untuk waktu lama telah berfungsi sebagai perekat sosial (social glue) yang efektif dalam menganyam perbedaan dan ketegangan teologis pada tataran keagamaan.[13] Tampilan identitas berdasarkan ikatan kultural dan agama ini lantas melahirkan komunitas-komunitas hena (negri) yang teragregasi dalam suatu lokus tertentu (biasanya pada satu pulau).[14] Sehingga orang luar (outgroup) dengan mudah mengidentifikasi identitas budaya masyarakat suatu hena dan secara a priori mengenal apa agama yang dianut oleh komunitasnya.[15]

Jarang dijumpai struktur masyarakat hena yang terdiri lebih dari satu agama (walau ada pula beberapa pengecualian). Umumnya struktur, sistem sosial dan sistem kepercayaan masyarakat hena berlatarbelakang sejarah keleluhuran yang sama, mitos-mitos asal-usul yang satu dan hanya merupakan satu komunitas agama. Tentang mitos, saya setuju dengan Lincoln bahwa dalam memahami “mitos dan konstruksi batas-batas sosial” kita lebih baik mengklasifikasi narasi-narasi mitologis itu bukan berdasarkan muatannya, tetapi berdasarkan klaim-klaim yang dibuat oleh para naratornya dan bagaimana klaim-klaim itu diterima oleh para pendengarnya. Mitos bukan sekadar coding device untuk menyampaikan informasi penting, yang melaluinya para aktor mengonstruksi masyarakat. Mitos juga adalah tindakan diskursif yang melaluinya suatu masyarakat dikonstruksi secara aktif.[16]

Untuk jangka waktu yang panjang masyarakat Islam dan Kristen di Maluku hidup dalam dialektika pemahaman-diri yang kreatif sebagai satu etnis, yang sekaligus terbedakan menurut agama. Pandangan dunia dialektik yang terkondisikan ini dibutuhkan untuk, pada satu sisi, mengelola ketegangan antara pemahaman mengenai hakikat kebudayaan sebagai basis eksistensi lokal, dengan sandaran interpretatif teologi agama yang dianut sebagai basis eksistensi spiritual, pada sisi lain. Matra kearifan lokal masyarakat berfungsi mengakomodasi dialektika tersebut, lalu mentrans­forma­si­­kannya ke dalam harmonisasi kreatif. Dari proses ini terbentuk suatu pola religiositas yang khas, sebagaimana oleh Frank Cooley disebut dengan “agama Ambon”.[17] Meski dilekatkan Cooley pada postur Kekristenan Ambon, terminologi ini juga padan untuk menggambarkan realitas Islam Ambon. Malah dalam beberapa aspek, karakter Islam Ambon lebih gamblang menampilkan corak perpaduan agama dan adat dibandingkan dengan Kekristenan Ambon yang terkesan canggung untuk bersandar pada salah satunya. Dengan demikian, corak keberagamaan di Maluku bukan terletak pada dinamika sinkretik “Islam” dan “Kristen” pada satu sisi dan “budaya lokal” atau “adat” di sisi lain, melainkan utamanya lebih kuat menampilkan corak beragama yang hibrid.[18]

Realitas kolonialisasi telah pula meninggalkan deviasi laten dalam masyarakat Maluku. Hal itu nampak khususnya pada kelompok yang mewarisi tradisi kekristenan, yaitu punahnya bahasa tanah sebagai genre bahasa lokal dalam pergaulan sosial,[19] ambruknya lembaga adat saniri negri,[20] tergusurnya apresiasi pada hikmat lokal di kalangan muda yang “westernized”, serta terbentuknya pola beragama [Kristen] yang formalistik dengan sentralisasi kuat pada figur “pendeta”.[21] Kenyataan ini melahirkan ketaksaan dalam kesadaran dan bersikap terhadap adat, serta dikotomi tajam antara “injil” dan “adat” dalam masyarakat Kristen (Sarane). Berbeda dengan masyarakat Islam (Salam) Maluku yang tidak mengalami ~ meski tetap ada ~ ketegangan separah saudara Kristennya.

Islam masuk ke Maluku nyaris tanpa pergolakan berarti. Namun harus diakui bahwa teori mengenai pola-pola perdagangan dalam penyebaran agama tidak mengakomodasi konflik-konflik ideologis yang lebih didasari oleh kepentingan penguasaan teritori ekonomi pada aras mikro.[22] Kelenturan ini disebabkan Islam masuk ke Maluku bukan dalam bentuk organisasi dengan struktur hirarkhis yang ketat, melainkan lebih berupa spiritualitas religius dan hubungan-hubungan ekonomis yang diintroduksi secara individual. Hampir tidak ada ketegangan antara agama dan adat dalam masyarakat Islam. Agama dan adat bersintesis membentuk kesatuan identitas masyarakat lokal.[23] Kelenturan Islam dalam mengakomodasi matra budaya lokal dan menjadikannya bagian integral dari postur keislaman lokal, sejak lama telah memperlihatkan proses-proses kontekstualisasi ajaran Islam. Artinya, agama [Islam] benar-benar telah menjadi agama rakyat yang mengkhamiri sendi-sendi sosial kehidupan masyarakat.

Sementara Kekristenan yang diintroduksi oleh zending Barat galibnya telah memiliki perangkat struktural organisasi agama dengan visi dan misi sentralistik-hirarkhis yang cukup mapan. Jika dalam batasan tertentu kekristenan kemudian menjadi semacam civil religion di Maluku, toh tidak dapat disangkali bahwa proses awal perjumpaan kekristenan dan budaya lokal sarat dengan ketegangan-ketegangan. Pada aras praksis kehidupan sosial, ketegangan-ketegangan itu kerap terjadi dalam pemaknaan peran fungsional gereja dan lembaga adat, masing-masing dengan orientasi dan “ideologi”-nya.[24] Keduanya bersaing mencari dukungan seluas mungkin agar dapat mempertahankan otoritas legal dan pengaruh dalam masyarakat.

Secara sosiologis, pada masyarakat Kristen, persaingan (adat dan gereja) ini telah menimbulkan skisma identitas sosial. Satu sisi, sebagai anak adat orang mengidentifikasi diri secara kultural sebagai bagian dari hena dan seluruh tatanan nilai adatisnya yang berfungsi mengatur hubungan sosial (antarsesama) dan natural (kosmos). Di sisi lain, sebagai anak gereja dia mewarisi berbagai nilai yang dikemas dalam formulasi konvensional dogma gereja dengan tuntutan ortodoksinya yang bertolakbelakang dan bahkan menafikan adat. Sintesa injil-adat tidak mencapai fase pematangan nalar sehingga selalu berada pada kulminasi liminal (ambang).

Salam-Sarane dalam Wacana Teologi Jemaat di Maluku

Perhatian mengenai hubungan Islam-Kristen di Maluku dalam pemerian berikut ini lebih difokuskan pada perspektif kekristenan. Salam dan Sarane adalah terminologi budaya untuk Islam dan Kristen di Maluku. Kedua istilah ini lebih intens mengandung muatan makna budaya daripada dogmatis keagamaan. Dari kedua istilah itu secara eksplisit dapat ditelisik suatu corak beragama yang senantiasa mengalami transformasi kreatif membentuk pola religiositas yang tipikal, yang lebih bernuansa budaya. Dimensi budaya ini menjadi kekuatan fungsional yang mengikat kedua kelompok beragama di Maluku.

Dari perspektif internal kekristenan, masuknya berbagai zending ke Maluku mengintrojeksi pula beragam pandangan teologis bentukan budaya Barat, terutama menyangkut esensi kebudayaan lokal dan posisi teologi kristen saat itu terhadapnya. Pandangan teologis misi zending terhadap eksistensi kebudayaan lokal bersifat bipolar. Satu kutub, pendekatan terhadap adat memang dilakukan, tetapi di kutub lain terperangkap pada praanggapan peyoratif. Kekristenan dari Barat yang dibawa dijadikan sebentuk model kebudayaan modern yang [dianggap] lebih “baik”, “benar” dan “beradab” (civilized) daripada kebudayaan lokal. Sofistikasi semacam ini berimplikasi pada arogansi beragama yang mengejawantah dalam praktik-praktik penyingkiran bentuk-bentuk kehidupan lokal dan tertawannya hikmat-hikmat lokal dalam idiom-idiom pengadaban masyarakat. Bahasa tanah menjadi simbol keterbelakangan, tete-nene moyang dikafirkan, institusi-institusi budaya lokal tidak lagi menjadi élan vital. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa masuknya kekristenan sebenarnya telah menimbulkan benturan peradaban yang belum tuntas diwacanakan hingga kini. Secara simultan terjadi penguatan [agama Kristen] pada satu pihak, dan pemiskinan nilai [budaya lokal] pada pihak lain. Pola relasi ini sebenarnya mencerminkan korelasi kreatif antara teologi dan kekuasaan politik. Di sini “teologi” dan “kekuasaan” berkolaborasi membentuk aliansi supra-pengetahuan yang berhak menentukan kebenaran secara monolitik.

Badan-badan zending Barat ini selanjutnya membidani lahirnya institusi gereja yang secara substantif mewarisi paradigma berteologi dari induknya. Salah satu problem yang menimbulkan polemik adalah sikap dan pandangan teologi kristen mengenai kebudayaan lokal atau adat. Ketika Protestantisme terwadahi dalam wujud organisasi gereja di Maluku (1935) hingga kini, warisan teologi kolonial ini tidak banyak mengalami perubahan secara fundamental.[25] Ekspresi kebudayaan lokal masih menjadi subordinasi gereja, karena sarat dengan aspek-aspek tahayul dan kuasa-kuasa “gelap” yang menghalangi pemahaman injili jemaat. Keengganan untuk mewacanakannya sebagai bagian dari tindakan berteologi ~ disadari atau tidak disadari ~ malah mendangkalkan kedalaman spiritual yang sebenarnya bisa diperoleh melalui eksplorasi kebudayaan lokal itu sendiri. Bukankah kekristenan dari Barat itu juga sarat dengan ekspresi kebudayaan lokal dari Barat?

Pada titik ini timbul persoalan ganda. Pada satu sisi, keengganan tersebut makin menyudutkan komunitas beragama dalam krisis identitas menyangkut hakikat dan pemahaman dirinya sebagai orang Maluku, dengan segenap atribut kebudayaan yang melekat pada diri mereka. Di sisi lain, komunitas beragama mengalami cognitive dissonance dan terjerat dalam kebingungan mengartikulasikan imannya berhadapan dengan dinamika sosial-budaya dalam realitas hidup sehari-hari. Bagaimana menjadi orang Kristen yang Maluku? Apakah ada nilai-nilai kristiani dalam adat Maluku? Kalau ada, seperti apakah itu dan bagaimana menjelaskannya? Dan apakah mungkin menemukan universalitas (meski relatif) dalam partikularitas? Apakah berbicara tentang adat setelah “masuk Kristen” tidak bertentangan dengan kehendak Tuhan? Sedikit dari begitu banyak pertanyaan yang terlontar dari kegelisahan ontologis ini memberikan gambaran bahwa pergulatan teologis untuk memaknai etnisitas di Maluku masih berlangsung dengan tensi tinggi.

Pemahaman mengenai identitas sosial di Maluku terbentuk melalui proses interpenetrasi berbagai tafsir budaya dan tafsir teologi yang terus menerus bersintesa. Ada proses-proses historis yang pada satu saat mempertautkan beberapa identitas dalam wacana kebudayaan egaliter tanpa mengeliminasi perbedaan di antaranya, misalnya pada penyebutan “Salam” dan “Sarane”. Namun pada saat lain, identitas-identitas itu ~ komunitas Kristen dan komunitas Islam ~ secara kultural saling teralienasi pada posisi diametral. Keduanya teralienasi karena pertautan kebudayaan sebagai orang Maluku mengalami distorsi makna. Alienasi tersebut menggiring kekristenan (gereja) untuk lebih memperhatikan hubungan-hubungan formal kelembagaan dan mengabaikan upaya merekonstruksi secara positif relasi kultural mereka dengan komunitas Islam Maluku.

Bagi orang Islam Maluku, hampir dalam segala aspek, gereja (sebenarnya) sudah kehilangan pertautan kultural dan selalu terbentur pada kontekstualisasi teologi setengah hati. Proyek “teologi kontekstual” Kristen hanya berhenti pada tataran penanda/signifier (media), namun selalu gagal pada tataran petanda/signified (makna). Wajah teologi Kristen malah menunjukkan tendensi yang kian abstrak dan jauh dari pergulatan memaknai pergolakan kultural di Maluku. Kekristenan kontemporer tidak memberikan apresiasi secara proporsional bagi terbentuknya kesadaran akan identitas bersama sebagai orang Maluku, bahkan akar-akar teologinya tercerabut dari tanah Maluku. Dari perspektif itu, mereka melihat kekristenan hanya menjadi batu sandungan bagi berlangsungnya wacana kebudayaan yang konstruktif di Maluku.

Dalam wacana teologi Kristen di Maluku, pemaknaan kebudayaan lokal nyaris menjadi catatan pinggiran. Sementara hampir seluruh energi terkuras untuk masalah penataan institusi dan modifikasi artifisial doktrin gereja yang jauh dari geliat derita kemanusiaan yang “bisu” dalam arus modernisasi. Ajaran kekristenan (gereja) sebagai bentuk pewarisan tradisi keagamaan memang penting. Tetapi lain soalnya kalau itu diterima begitu saja tanpa melalui proses reinterpretasi yang kritis terhadap tradisi. Apalagi jika tidak ada kegairahan intelektual yang mendorong kekristenan menggali akar-akar persoalan sosio-budaya baik pada aras lokal dan nasional, yang dapat dijadikan basis refleksi teologi kontekstual di Maluku secara riel. Persoalannya, bagaimana seluruh dinamika kebudayaan di Maluku mampu melahirkan horison baru mengenai signifikansi nalar budaya dalam berteologi. Dengannya, tindakan berteologi di Maluku menjadi tindakan otentik dan bukan lagi hanya menciptakan pengecer-pengecer teologi.

Pluralitas agama dan budaya bukan fenomena baru di Maluku.[26] Korelasinya tidak mudah untuk diurai jelas karena keduanya telah dan terus bermetamorfosis menjadi fenomena-fenomena baru dengan kualitas yang berbeda. Apa yang tampak dari pewacanaan agama dan kebudayaan di Maluku adalah suatu profil taksa (ambigu) dengan dependensitas sangat tinggi pada struktur penalaran masyarakat untuk menginterpretasi pertautan nilai-nilainya. Jejaring relasi keduanya makin kompleks ketika Islam Maluku menjadi suatu kekuatan politik yang signifikan setelah meleburkan diri secara afirmatif dalam kancah pergaulan Islam nasional Indonesia. Implikasi politis dari pergeseran ini membentuk kesadaran baru dimana Islam berkembang dari wacana kebudayaan lokal menjadi wacana politik nasional. Wacana keislaman kemudian terarah pada wacana mayoritas vis-a-vis kekristenan yang pasca kolonial hanya menjadi kelompok parsial dan minoritas dalam konteks [politik] keindonesiaan.

Apa yang tercermin dari wacana Islam-Kristen Maluku di era Indonesia kontemporer adalah munculnya fenomena agama sebagai manifestasi kekuasaan politik dan hegemoni budaya.[27] Persoalan lain yang muncul adalah bagaimana memaknai pertautan antara etnisitas sebagai identitas bentukan budaya lokal dan pada saat bersamaan masuk ke dalam identitas bersama dalam konteks negara-bangsa baru. Dalam situasi problematik itu, agama acapkali memainkan peran sebagai kekuatan pemersatu sekaligus menciptakan konflik ideologis. Jadi dapat dikatakan bahwa sebenarnya agama[-agama] berada dalam realisme liminal yang mendorong penggumpalan kesadaran etnis dan ketegangan-ketegangan ideologis dalam ranah politik lokal, yang berkelindan dengan pergolakan kepentingan politik tingkat nasional.

Konstruksi Dialogis Islam-Kristen di Maluku: Upaya Berteologi dengan Membaca Budaya

Asumsi dasar di sini ialah “kebudayaan merupakan suatu proses berlangsungnya transformasi kreatif dalam kehidupan sosial suatu masyarakat”. Dalam proses itu, masyarakat melakukan interpretasi simbolik terhadap realitas hidupnya yang berlangsung dalam sekuen pengalaman-pengalaman bermakna. Pengalaman-pengalaman itu lantas diinstitusionalisasikan dalam bentuk simbol-simbol budaya. Jika berteologi merupakan kesadaran kritis untuk melakukan interpretasi religius terhadap situasi hidup manusia kontemporer dalam hubungannya dengan realitas transendental yang disebut “Tuhan”, maka kebudayaan adalah basis bagi analisis kritis untuk mencari dan menghargai bentuk-bentuk manifestasi sang Tuhan.

Itu berarti, kebudayaan tidak lagi dilihat dalam perspektif dikotomik antara sakral dan profan, melainkan sebagai pengejawantahan ilahi yang berlangsung dalam proses menjadi (process of becoming) terus menerus. Karena kebudayaan tidak statis, maka konstruksi refleksi teologis yang hendak dibangun pun tidak permanen atau baku. Refleksi teologi yang dipaksa untuk relevan pada konteks yang berbeda patut dicurigai jangan-jangan ia sudah menjadi sejenis ideologi intoleran. Refleksi teologi yang dibangun di atas dasar kebudayaan ini merupakan suatu proses berpikir dan bertindak yang mengalami transformasi secara kontinyu.

Proses, menurut Alfred North Whitehead, memiliki karakter distingtif, yakni sebagai [1] “transisi” (masa antara dari satu peristiwa/pengalaman ke peristiwa/pengalaman berikutnya), yang disebut peristiwa-peristiwa aktual (actual occasions) atau peristiwa-peristiwa pengalaman (occasions of experience); dan [2] “konkresensi” (concrescence) yang berarti “menjadi konkrit”, yakni bahwa di dalam setiap peristiwa itu sendiri berlangsung suatu proses menjadi. Kedua proses ini membuka pemahaman baru dalam melihat keberbagaian pengalaman religius.[28] Proses transisi menentukan pentingnya waktu. Satu peristiwa dilanjutkan dengan peristiwa lainnya. Masa lampau terdiri dari peristiwa-peristiwa yang sudah dialami; masa depan adalah benar-benar berbeda karena tidak mengandung “peristiwa”; dan masa kini adalah peristiwa yang sedang dialami. Setiap momen adalah baru dan tidak dapat diulang. Sementara dalam proses konkresensi, tidak dikenal waktu. Tetapi bukan berarti setiap aktualitas bersifat statis. Setiap momen adalah “sekarang”.

Dengan kerangka “proses” Whitehead itu maka upaya memahami hubungan kultural Islam-Kristen di Maluku menjadi sebuah pembacaan budaya yang lebih dinamis tanpa mesti terjerat romantisme masa lalu. Dengan meminjam istilah Ricouer, langkah ini akan menjadi sebuah fixation of action.[29] Lebih jauh, kita dapat keluar dari keterperangkapan pada logika rasionalitas Pencerahan yang selalu mendikotomikan realitas dalam konstruksi oposisi-biner. Bisa saja, dalam momentum sekarang ini kita membutuhkan sebuah kontrak sosial yang baru untuk menciptakan kembali mitos baru atau pandangan dunia baru dalam konteks relasi keberagamaan di Maluku pascamodern (postmodern).

Selain itu, dalam ranah teologis, hubungan Islam-Kristen di Maluku tidak bisa didekati hanya dengan pendekatan tekstual alkitabiah atau dogmatis-apologetis, melainkan baiknya dicermati dalam suatu kerangka pemahaman konteks budaya yang utuh. Suatu “konteks” adalah “teks”, yang tersusun dari rangkaian kata sehingga menghasilkan sebuah makna. Dalam theory of action suatu diskursus tindakan merupakan salah satu bagian dari situasi transaksi yang mengalir dari satu bagian ke bagian lain, persis seperti dalam bahasa wicara yang ditangkap dalam proses interlokusi atau translokusi (translocution). “Konteks tertentu” ini secara kreatif ditransformasikan ke dalam “konteks tertentu yang berbeda”, yang dijadikan basis untuk merekonstruksi kembali makna yang valid. Pendekatan hermeneutik budaya semacam ini membutuhkan ~ apa yang disebut Paul Ricoeur ~ “objektifikasi”.[30]

By this objectification, action is no longer a transaction to which the discourse of action would still belong. It constitute a delineated pattern that has to be interpreted according to its inner connections. This objectification is made possible by some inner traits of the action that are similar to the structure of the speech act and that make doing a kind of utterance.

Bila pemahaman terhadap kebudayaan lokal mengalami stagnasi, maka kekristenan tidak akan mampu memahami pola keberagamaan yang berlangsung di Maluku. Di sini diperlukan pemahaman kontekstual mengenai hakikat pluralisme agama sebagai masalah kebudayaan dan fungsi tindakan berteologi (yang sudah mengalami transisi dan konkresensi hermeneutis dari “teks” ke “tindakan”) sebagai upaya menciptakan pandangan dunia baru dalam sebuah realitas (atau peristiwa pengalaman) yang baru.

Dalam kerangka pikir itu maka perspektif imaniah kehadiran Allah dalam peristiwa dan tindakan Kristus mesti dipahami sebagai proses, bukan sebagai doktrin yang rigid. Artinya, jika Allah itu adalah substansi transendental yang menyejarah dalam eksistensi kemanusiaan, maka setiap momen dari eksistensi manusia bersifat unik. Keilahian Allah itu memberi kualitas pada setiap momen kemanusiaan. Dengan kualitas ilahi dalam setiap momentum eksistensialnya, setiap entitas ciptaan (creatures) dihadapkan pada masa depan potensial. Masa depan potensial ini bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja karena Allah menghendakinya (God’s will), tetapi suatu masa depan yang dinegosiasikan bersama antara entitas ilahi (Allah) dan entitas kodrati (manusia). Dalam teks Alkitab, cerita Abraham yang bernegosiasi dengan Tuhan menyangkut keberadaan orang-orang benar di Sodom dan Gomora merefleksikan suatu relasi kreatif antara Tuhan dan manusia. Masa depan yang diterima dan ditolak ini sebagian besar berdasar pada seberapa besar kontribusinya terhadap kesejahteraan orang lain.

Dalam pemahaman sedemikian, setiap momen eksistensial manusia dan dunia tidak pernah menjadi kadaluarsa atau hilang, melainkan terabsorbsi ke dalam Allah. Artinya, setiap peristiwa pengalaman (masa lalu, masa kini, masa depan) menjadi peristiwa yang mengandung kualitas ilahi dan karenanya berharga. Dalam setiap momen, Allah terus menerus belajar setahap lebih tinggi tentang diri manusia. Dia belajar sebagai Allah yang hadir dalam tiap momen eksistensi kita. Manifestasi manusia Kristus, misalnya, adalah salah satu momen yang melaluinya Allah belajar memanusiakan keilahian-Nya. Allah tidak berinkarnasi, karena memang kualitas keilahian-Nya yang sempurna dan final tak mungkin tertampung dalam keterbatasan kodrat manusia. Allah hanya membangkitkan kesadaran akan kualitas ilahiah dalam eksistensi kemanusiaan Yesus yang digunakan sebagai energi positif untuk menemukan kebenaran-kebenaran lebih dalam dari setiap pengalaman.

Peristiwa Kristus adalah suatu fiksasi tindakan bermakna dalam sekuen pengalaman-pengalaman kemanusiaan. “Kristus” menjadi simbol berlangsungnya situasi transaksi pengalaman fundamental dalam realitas kemanusiaan dan dunia. Dialektika kultural yang dialami Kristus menjadi dasar untuk berjumpa secara riel dengan manusia. Kemanusiaan adalah actual occasion dari Kristus. Itu sebabnya Kristus tidak menghindari wacana budaya dengan masyarakat sipil, termasuk dengan dunia politik. Di sini kebudayaan manusia menjadi ranah penting. Tanpa kebudayaan manusia, Kristus hanyalah “sebuah kata” yang terlepas dari belantara makna “teks-teks” sosial. Artinya, tanpa berteologi dengan sebuah pertautan erat pada seluruh sistem simbolik kebudayaan manusia, kita terus mengalienasi Allah ke dalam sebuah matra nirwaktu (ahistoris), sehingga Allah hanya menjadi entitas awamakna yang bisu karena tidak mengerti bahasa dan simbol-simbol budaya manusia. Kebisuan tidak pernah menghasilkan sebuah wacana.

Menyoal-ulang Misi Kekristenan

Dengan konseptualisasi seperti itu, pendekatan terhadap hubungan Islam-Kristen di Maluku mesti dilakukan dengan memberikan fokus pada berbagai wacana identitas budaya yang inheren dalam kedua entitas tersebut. Bahwa di dalam kebudayaan, entitas ilahi mewujud dan menyatukan kemanusiaan di Maluku sehingga dapat menjadi titik awal untuk memulai tugas berteologi bagi kekristenan di Maluku.[31] Di dalamnya pergumulan kekristenan tidak sekadar memberikan makna bagi kehadiran dirinya di tengah dinamika kebudayaan lokal, tetapi juga menggali makna etnisitas dan kebangsaan yang plural dalam mengartikulasikan teologinya yang otentik dalam konteks yang lebih luas.

Kekristenan baiknya memiliki pemahaman diri yang utuh sebagai manifestasi Kristus atau translokusi “teks-teks” Tuhan (yang lahir dari pengalaman-pengalaman spiritual) dalam pergaulan umat manusia. Kemanusiaan dibangun berdasarkan kesediaan untuk mengasihi dan memberikan diri bagi kepentingan orang lain (solidaritas). Kasih dan solidaritas itu sendiri dapat diartikan sebagai wacana simbolik dan tindakan bermakna dari pertautan spiritualitas dan materialitas dalam dunia kebudayaan manusia. Jika kebudayaan dibangun sebagai kesepakatan untuk menjalani kehidupan bersama-sama dalam keberbagaian lokalitas, maka di situ terkandung nilai-nilai kemanusiaan. Bukankah itu berarti bahwa dalam kebudayaan, kekristenan bisa menemukan makna kasih dan solidaritas? Pada momentum tersebut kekristenan dapat melihat tindakan bermakna dari Tuhan yang berkarya dalam simbol-simbol kebudayaan, sejauh itu diinterpretasi secara komprehensif, bukan lagi partikular. Karena Tuhan tidak bisa didefinisikan dalam konsep-konsep baku; Tuhan hanya dapat dirasakan dalam spirit di mana kemanusiaan membangun dirinya sendiri. Dengan kata lain, kebermaknaan Tuhan hanya dapat dialami (occasion of experience) di dalam praksis. Sehingga dengan demikian, keberagamaan kita juga adalah suatu keberagamaan yang bersifat praksis.

Dalam kebudayaan-kebudayaan kita tidak menemukan konsep Tuhan, melainkan praksis kehadiran Tuhan dalam dunia dan terutama dalam bentuk terjalinnya pola-pola relasi manusia yang saling menopang. Tuhan “menuliskan” manifesto kebudayaan bersama-sama dengan manusia. Hubungan antara Tuhan dan kemanusiaan adalah kooperasi mutual, membimbing pada hasil positif agama dalam masyarakat. Dengan memahami kebudayaan manusia, teologi tidak lagi sekadar menjadi tindakan instrumental melainkan suatu praksis komunikasi yang setiap orang belajar untuk mendengarkan dan memahami, ketimbang berkonfrontasi satu sama lain mengenai “kebenaran” versi masing-masing. Jika ternyata relasi Islam-Kristen di Maluku dapat dipahami sebagai manifestasi praksis Tuhan yang memberi inspirasi bagi terciptanya hubungan kemanusiaan yang fundamental, itu berarti pembedahan dimensi kebudayaan adalah sesuatu yang sangat teologis.

Konseptualisasi konstruksi dialogis Islam-Kristen di Maluku melalui studi kebudayaan lebih membuka ruang bagi adanya perjumpaan kemanusiaan yang kreatif. Di sini etnisitas menjadi media penting bagi peristiwa tersebut dan mendorong orang untuk mengapresiasi perbedaan budaya-budaya dalam realitas pluralisme di Indonesia. Ketika proses membaca budaya ini mampu dilakukan sebagai ikhtiar pemaknaan kehadiran kekristenan di Indonesia maka refleksi teologi yang muncul tidak lagi hanya sekadar mencangkokkan teks-teks kitab keagamaan apa adanya ke dalam pergumulan konteks, melainkan sebaliknya terhisab dalam dialektika dekonstruksi-rekonstruksi sistem makna yang dibangun dari situasi sosial setempat.

Dari perspektif ini, etnisitas dapat dilihat sebagai anugerah Tuhan yang mesti dihargai dan digali maknanya untuk menjadi dasar teologis dan ideologis membangun Indonesia. Tanpa apresiasi terhadap etnisitas, agama-agama (khususnya Kekristenan) hanya akan terbelit dalam sikap mereduksi hakikat kekayaan makna Indonesia, yang justru menjadi alasan lahirnya kesepakatan untuk hidup bersama. Pada titik ini, penting bagi kita untuk memikirkan secara serius terlebih dulu pemaknaan konstruksi identitas primordial kita masing-masing sebelum beranjak ke wacana mengenai identitas nasional sebagai konstruksi hibriditas ideologis. Karena harus disadari bahwa hampir sebagian besar pemaknaan mengenai identitas primordial merupakan konstruksi kolonial dalam rangka mengidentifikasi perbedaan antara “pihak penjajah” (colonizer) dan “pihak terjajah” (colonized).

Proses tersebut tidak hanya meliputi perubahan struktur dalam postur kelembagaan Kristen (Gereja), tetapi merupakan transisi paradigmatis. Memang dalam proses itu, seperti kata David Bosch, kita akan mengalami semacam “skizofrenia teologis” karena bekerja dalam dialektika logika Pencerahan ~ pada satu sisi ~ dan pencarian orientasi baru berteologi yang belum tuntas ~ di sisi lain.[32] Apa yang penting untuk dicatat di sini tentu saja munculnya tantangan sosial-politik yang baru bagi proses artikulasi peran dan fungsi agama-agama dalam masyarakat multikultural, serta reformulasi “wahyu” khususnya dari agama-agama teistik kontemporer. Jika hal itu tidak dipikirkan secara serius maka agama-agama akan makin terkerdilkan menjadi atribut pelengkap dari munculnya new spirituality pasca-modern yakni teknologi sibernetika dan internet. Agama baru ini sedang mengubah wajah dunia kita menjadi sebuah dunia yang dibangun di atas lambaran interelasi hegemonik dimana batas-batas “kekuasaan imperialis” dan “yang tertindas” makin kabur dalam eufemisme modernisasi dan kapitalisme global.

Penutup

Kerangka kerja Critical Discourse Analysis yang disebut pada awal tulisan ini memang tidak nampak sebagai kerangka keseluruhan elaborasi. CDA memberikan inspirasi untuk meneropong teks Radjawane sebagai sebuah proses produksi konseptual yang tak terpisahkan dari ketertarikan dan keterikatan pada konteksnya. Karena keterbatasan ruang pula maka tidak seluruh bagian teks itu dapat diurai. Kajian ini dapat dilihat sebagai sebentuk “undangan” untuk masuk dalam diskursus teologis yang lebih debatable sehingga ~ insya Allah ~ melahirkan bentuk-bentuk pemahaman baru dalam menata hubungan-hubungan keberagamaan dan kebudayaan yang lebih segar.

Kepustakaan

Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 2004)

Bruce Lincoln, Discourse and Construction of Society: Comparative Studies of Myth, Ritual and Classification (New York: Oxford Univ. Press, 1989)

Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005)

Craig R. Prentiss (ed.), Religion and the Creation of Race and Ethnicity: An Introduction (New York: New York Univ. Press, 2003).

David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (Jakarta: BPK GM, 1999)

Frank Cooley, Mimbar dan Tahta: Hubungan Lembaga-lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah (Jakarta: Sinar Harapan, 1989)

Frank Cooley, “Indjil dan Adat di Maluku” dalam W.B. Sidjabat (peny.), Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964), 220-235.

John B. Cobb, Jr. dan David Ray Griffin, Process Theology: An Introductory Exposition (Philadelphia: Westminster Press, 1976)

John Hutchinson dan Anthony Smith (eds.), Ethnicity (New York: Oxford Univ. Press, 1996)

Leonard Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period (University of Hawaii Press, 1993)

N. Fairclough, Language and Power (London: Longman, 1989)

N. Fairclough, Discourse and Social Change (London: Politiy Press, 1992)

W.B. Sidjabat (peny.), Panggilan kita di Indonesia Dewasa Ini (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964)

Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II. Translated by Kathleen Blamey and John B. Thompson (Northwestern Univ. Press, 1991)

R. Batstone, “Grammar in discourse: attitude and deniability” dalam G. Cook dan B. Seidhofer (ed.), Principle and Practice in Applied Linguistic (Oxford: Oxford University Press, 1995)

V. Tilley, “The Term of the Debates: Untangling language about ethnicity and ethnic movement” dalam Ethnic and Racial Studies 20 (1997), 511-512.

W. Braun dan R.T. MacCutcheon (eds.), Guide to the Study of Religion (London, 2000)



[1] W.B. Sidjabat (peny.), Panggilan kita di Indonesia Dewasa Ini (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964), 70-85. Pendeta Dr. Arnold N. Radjawane adalah pendeta Gereja Protestan Maluku dan dosen matakuliah Perjanjian Lama pada Fakultas Teologi UKIM Ambon. Ketika tulisan ini dibuat beliau sudah memasuki masa emeritusnya.

[2] N. Fairclough, Discourse and Social Change (London: Politiy Press, 1992), hlm. 132-133.

[3] R. Batstone, “Grammar in discourse: attitude and deniability” dalam G. Cook dan B. Seidhofer (ed.), Principle and Practice in Applied Linguistic (Oxford: Oxford University Press, 1995), hlm. 198-199.

[4] N. Fairclough, Language and Power (London: Longman, 1989), hlm. vi.

[5] Fairclough, Language and Power, hlm. 26.

[6] Lihat D.B. MacKay, “Ethnicity” dalam W. Braun dan R.T. MacCutcheon (eds.), Guide to the Study of Religion (London, 2000), 96-109. Dalam Politics Aristoteles memakai istilah ethnos untuk mendeskripsikan “orang-orang asing dan barbar” yang berbeda sekali dengan orang-orang Yunani yang beradab seperti dirinya sendiri (MacKay, 98).

[7] Gagasan-gagasan ini pula yang sangat mempengaruhi paradigma misiologi dari badan-badan misi (zending) yang masuk ke Maluku bersama-sama dengan proses kolonialisasi Barat. Proyek Pencerahan telah melahirkan karakter keberagamaan (Kristen) yang triumfalistik terhadap kebudayaan-kebudayaan bukan-Barat (dan bukan-Kristen). Atau dengan kata lain, kekristenan adalah pantulan spirit eurosentrisme.

[8] Lihat Max Weber, “The Origins of Ethnic Groups” dalam John Hutchinson dan Anthony Smith (eds.), Ethnicity (New York: Oxford Univ. Press, 1996), 35.

[9] Fredrik Barth, “Ethnic Group and Boundaries” dalam John Hutchinson dan Anthony Smith (eds.), Ethnicity (New York: Oxford Univ. Press, 1996), 75-82.

[10] Lihat D.B. MacKay, “Ethnicity” dalam W. Braun dan R.T. MacCutcheon (eds.), Guide to the Study of Religion (London, 2000), 102.

[11] V. Tilley, “The Term of the Debates: Untangling language about ethnicity and ethnic movement” dalam Ethnic and Racial Studies 20 (1997), 511-512.

[12] Tilley, ibid., 514-515.

[13] Lih. Craig R. Prentiss (ed.), Religion and the Creation of Race and Ethnicity: An Introduction (New York: New York Univ. Press, 2003). Buku ini mendeskripsikan sejumlah pertautan agama dan etnisitas yang terjadi di dalam beberapa masyarakat di sejumlah negara.

[14] Di Pulau Jawa dikenal sebagai “desa” meskipun ada perbedaan karakteristik sosiohistoris yang cukup tegas di antara konsep “desa” (Jawa) dan “hena” atau “negri” (Maluku). Proses agregasi simbol-simbol agama dan budaya lokal ini tidak dapat dipahami sebagai proses linear, melainkan interpretatif.

[15] Sebagai contoh, Pulau Ambon. Pulau ini menyerupai huruf “U” (karena terdapat teluk Ambon). Di sebelah utara disebut Jazirah Leihitu, didiami oleh negri-negri Salam (Islam); di sebelah selatan disebut Jazirah Leitimor, didiami oleh negri-negri Sarane (Kristen). Sebelah timur merupakan wilayah batas yang dalam pandangan masyarakat tidak bisa dimasukkan ke dalam salah satu wilayah dari kedua jazirah itu.

[16] Bruce Lincoln, Discourse and Construction of Society: Comparative Studies of Myth, Ritual and Classification (New York: Oxford Univ. Press, 1989), 24-25.

[17] Frank Cooley, Mimbar dan Tahta: Hubungan Lembaga-lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah (Jakarta: Sinar Harapan, 1989), 53. Lihat juga Frank Cooley, “Indjil dan Adat di Maluku” dalam W.B. Sidjabat (peny.), Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964), 220-235.

[18] Lihat Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), 27. Hibriditas menandai karakter masyarakat-masyarakat lokal pascakolonial. Hal itu terutama dapat dilihat pada fenomena kreolisasi dalam genre bahasa-bahasa lokal. Dalam percakapan dengan seorang tokoh masyarakat di negri Liang (Islam), berkali-kali dia menggunakan istilah “Tete-Manis” untuk menyebut nama Tuhan; sementara di beberapa negri Kristen ada pengistilahan “Upu Yesu”. Ada beberapa komunitas kecil generasi tua di salah satu jemaat kota Ambon yang masih getol berkomunikasi memakai bahasa Belanda ~ yang bisa dipahami sebagai social boundaries dengan kelompok-kelompok lain.

[19] Dalam cultural studies dikenal argumen anti-esensialisme yakni bahwa identitas bukanlah sesuatu yang eksis; ia tidak memiliki kandungan universal atau esensial. Identitas merupakan konstruksi diskursif, produk diskursif atau cara bertutur yang terarah tentang dunia ini. Identitas dibangun, diciptakan ketimbang ditemukan, oleh representasi, terutama bahasa. Lihat Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), 12.

[20] Fenomena ini dapat dilihat dari arsitektur baileu di negri-negri Salam/Sarane yang telah direnovasi menurut rancangan arsitektur modern dan menggunakan material modern, serta tidak lagi mengikuti aturan adat. Penyimpangan ini kemudian ditafsirkan sebagai makin teralienasinya pandangan dunia adatis dari diskursus sosial masyarakat negri kontemporer.

[21] Pernah pada suatu masa sebagian besar rakyat Ambon-Lease mengalami booming hasil cengkeh. Penduduk yang memiliki dusun cengkeh menyekolahkan anak-anaknya ke Pulau Jawa dan Makassar. Sebagian besar mengambil studi kedokteran. Mereka ini representasi generasi modern pasca kemerdekaan Indonesia yang tidak lagi “berminat” pada matra budaya lokal Maluku. Di sisi lain, animo besar di kalangan muda untuk menjadi “pendeta” juga mengindikasikan adanya suatu pewarisan nilai-nilai spiritualitas pietistik untuk beroposisi dengan tendensi penguatan semangat primordialisme adatis.

[22] Lih. Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 2004), 80-83.

[23] Pada masa pemerintahan kolonial, kebijakan “kebebasan mempertahankan budaya lokal” diperlukan agar tidak menimbulkan perlawanan rakyat yang akan sangat mengganggu aktivitas administratif pemerintahan dan ekonomi kolonial. Sehingga dapat dimengerti bahwa pada masa-masa kolonial cukup berkembang tulisan-tulisan mengenai hukum adat (adatrecht).

[24] Lih. Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), 60. Bagi Althuser, ideologi memiliki dua sisi: pertama, ideologi adalah pengalaman yang dijalani, meliputi pandangan dunia yang menjadi landasan orang untuk hidup dan menyelami dunia ini. Karena itu ideologi tidak palsu (seperti yang dikemukakan oleh Marx). Kedua, ideologi merepresentasikan hubungan imajiner individu dengan kondisi eksistensi nyata mereka.

[25] “Kolonial” di sini tidak hanya dipahami sebagai suatu peristiwa pengalaman dalam rentang sejarah masa lalu, tetapi juga mengindikasikan karakter kekuasaan yang selalu berada dalam polarisasi “menguasai-dikuasai”. “Kekristenan” (Katolik) lebih tua usianya daripada Protestantisme. Sikap tegas terhadap “adat” muncul dalam Pesan Sinode 1960. ini juga dipengaruhi oleh situasi sosial, politik dan perekonomian yang dihadapi GPM. Wawancara dengan Dr. A.N. Radjawane tanggal 23 Juli 2006 di rumahnya.

[26] Leonard Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period (University of Hawaii Press, 1993), 55. Menurut Andaya, pandangan dan sikap pluralisme itu rupanya lahir dan bertahan karena pandangan dunia “dualisme” di Ternate dan Tidore. Jalinan hubungan ini membingungkan orang Eropa. Kendati kedua kerajaan bersumpah untuk saling bermusuhan, mereka tetap saling menasihati tentang setiap aktivitas orang Eropa yang dapat mengancam kesejahteraan masing-masing.

[27] Lih. Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), 11. Hegemoni adalah proses penciptaan, perawatan dan reproduksi makna dan praktik yang menguasai kehidupan masyarakat. Hegemoni berakibat kepada situasi di mana satu ‘blok historis’ kelompok-kelompok berkuasa menggunakan otoritas sosial dan kepemimpinan terhadap kelompok-kelompok subordinat lewat kemenangan konsensus.

[28] John B. Cobb, Jr. dan David Ray Griffin, Process Theology: An Introductory Exposition (Philadelphia: Westminster Press, 1976), 14-15.

[29] Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II. Translated by Kathleen Blamey and John B. Thompson (Northwestern Univ. Press, 1991), 150.

[30] Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II. 151.

[31] Saya memakai “kekristenan” di sini untuk menggantikan terminologi “gereja” yang secara konotatif lebih memberikan gambaran yang strukturalistik ketimbang fungsional. Walaupun saya sadar bahwa tanpa “tubuh organisasi” sebuah agama akan lebih bersifat introver (individual) dan tidak berdampak sosial dalam pergaulan bersama di tengah-tengah masyarakat multikultural.

[32] David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (Jakarta: BPK GM, 1999), 296.





Pemuda Gereja dan Pemaknaan Identitas

7 12 2007

Pengantar*

Sophie Amundsen, seorang pelajar sekolah menengah berusia empatbelas tahun. Suatu hari sepulang sekolah, dia mendapat sebuah surat misterius yang hanya berisikan satu pertanyaan: “Siapa kamu?” Belum habis keheranannya, pada hari yang sama dia mendapat surat lain yang bertanya: “Dari manakah datangnya?” seakan tersentak dari rutinitas hidup sehari-hari, surat-surat itu membuat Sophie mulai mempertanyakan soal-soal mendasar yang tak pernah dipikirkannya selama ini. Dia mulai belajar filsafat.

Kutipan di atas adalah sinopsis dari novel filsafat karya Jostein Gaarder yang judul aslinya “Sofie’s Verden” (Norwegia); Sophie’s World (Inggris); dan dalam edisi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Mizan dengan judul “Dunia Sophie”. Novel ini sempat menjadi best-seller dunia pada tahun 1995. Di dalamnya Gaarder menyajikan sejarah filsafat dalam bentuk novel (sesuatu yang luar biasa mengingat rumitnya sejarah dan pemikiran para filsuf dunia sejak zaman Yunani hingga era modern).

Tetapi kita tidak sedang membahas buku itu. Saya justru agak digelisahkan dengan subtema “Jadikan Aku Alat Damai Sejahtera-Mu” yang didasarkan pada Injil Yohanes 14:27. Kegelisahan itu rupanya sama seperti yang dirasakan oleh sang tokoh utama dalam novel itu, Sophie: “Siapa kamu?”. Pertanyaan itu pula yang sebaiknya mengawali diskusi kita saat ini.

Dalam dunia pemikiran filsafat, pertanyaan tersebut adalah pertanyaan pertama-tama yang kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan mengenai hakikat hidup keberadaan manusia dan dunia, serta bagaimana relasi eksistensial dengan substansi-substansi yang lain (sesama manusia, hewan, tumbuhan, lingkungan hidup). Pertanyaan “siapa kamu” adalah pertanyaan yang eksistensial. “Siapa kamu” (who are you; mindarokomu) berbeda dengan “apa namamu” (what is your name; apa sangammu). Kita bisa menyebutkan nama kita dengan singkat, tetapi mengenai hakikat diri kita atau identitas kita sebagai manusia membutuhkan suatu uraian panjang lebar dalam jangka waktu yang panjang (bisa jadi, seumur hidup ~ termasuk mengenai kepribadian, latar sosial-budaya, ekonomi dan seterusnya).

Jadi hakikat sebuah identitas itu tidak terpaku mati pada sebuah nama (seperti kata William Shakespeare: apa arti sebuah nama). Identitas kita sebagai manusia mempunyai makna yang lebih dalam, bahkan mencakup seluruh proses kesejarahan kita. Identitas kemanusiaan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dapat terus mengalami perubahan. Tetapi pada saat yang sama, ketika identitas digempur oleh berbagai realitas perubahan, ada suatu dorongan untuk mempertahankan prinsip-prinsip atau nilai-nilai utama yang tetap memagari identitas agar tidak terlebur dalam perubahan namun menjadi sumber hikmat yang memaknai perubahan.

Karena itulah, saya merasa pemakaian kata “alat” dalam subtema ini menjadikan identitas kita sebagai pemuda agak kaku dan tidak menggambarkan proses pembentukan kesadaran yang dinamis bagi peran kaum muda dalam pergumulan hidup menggereja di tengah konteks masyarakatnya.

Memaknai Identitas

Persoalan identitas adalah persoalan kemanusiaan. Manusia adalah makhluk simbolik yang selalu ingin untuk dikenal oleh orang lain. Itu pula yang sementara terjadi di jemaat Efesus.

Apa yang terjadi di Efesus? Kita bisa melihatnya pada ayat 14: perseteruan. Perseteruan (konflik) ini dilihat sebagai “tembok pemisah” antara kedua pihak: Yahudi dan non-Yahudi. Tetapi perseteruan itu adalah akibat (implikasi) dari sesuatu yang lebih mendasar yaitu “proses identifikasi sosial” (identitas); suatu proses mendefinisikan diri dan kelompok berdasarkan ciri-ciri simbolik bersama yang kemudian dilegitimasi oleh suatu ideologi superioritas kelompok tertentu atas kelompok yang lain.

Sekarang pun kita melihat betapa masyarakat dunia terperosok ke dalam perseteruan tiada henti hanya karena alasan “identitas” (agama, etnisitas, budaya, golongan ekonomi, parpol, negara maju/negara berkembang, identitas nasional/identitas primordial dsb). Termasuk pula gereja-gereja kita yang melekatkan nama kelompok primordial pada gereja: GPM, GT, GBKP dll. Walaupun mengklaim sebagai persekutuan yang terbuka, namun penamaan itu telah menciptakan citra kelompok yang eksklusif (tertutup) dimana hanya orang-orang yang berasal dari akar budaya dan bahasa yang sama yang bisa bertemu di situ. “Yang lain” (other) tidak punya tempat.

Itulah sebabnya masyarakat manusia tidak pernah bisa berhenti berkonflik. Konflik, kata George Simmel, merupakan tanda bahwa suatu masyarakat sedang bergerak maju. Malah konflik itu sebenarnya yang menciptakan masyarakat. Hal itu juga yang dicatat oleh Terrance Bigalke dalam bukunya Tana Toraja: A Social History of an Indonesian People, bahwa identitas “Toraja” itu sebelumnya belum ada sampai masyarakat yang hidup dalam tondok-tondok berhadapan dengan “yang lain” yakni Islam dan Kristen Barat (hlm. 110).

Mari kita lihat sekarang bagaimana proses identifikasi sosial yang dilakukan oleh orang Yahudi di Efesus. Supaya mereka [tampak] berbeda dengan kelompok lain non Yahudi, mereka melekatkan sejumlah atribut identitas:

  • Menciptakan istilah “bukan Yahudi” (gentile)
  • Berdasarkan tradisi: tak bersunat
  • Tidak masuk “kewargaan” Israel
  • Tidak masuk “perjanjian”
  • Tanpa pengharapan (?)
  • Tanpa Allah (?)

Seluruh atribut tersebut menjadi “tembok pemisah” yang membedakan kelompok kita (ingroup) dan kelompok mereka (outgroup). Pembedaan semacam itu dalam kenyataan sering mengerucut menjadi konflik antargolongan bahkan dengan menggunakan tindakan kekerasan. Di situlah kemudian kita menemukan bahwa “perbedaan” tidak dipahami sebagai suatu realitas yang mesti diterima sebagai anugerah, melainkan sebagai ancaman terhadap diri sendiri. Perbedaan yang seharusnya memperkaya kehidupan dengan warna-warni dinamika kelompok sosial malah terus dilihat sebagai bahaya. Sehingga kita tidak lagi merasa hidup di “taman firdaus” tetapi di “taman safari”. Yang merasa lemah selalu terancam oleh kepentingan yang kuat; yang kuat cenderung mengabaikan kehidupan yang lemah. Hukum yang berlaku adalah “hukum rimba”.

Tuhan menciptakan kita dengan kemampuan untuk membangun kebudayaan. Dalam kebudayaan, hidup kita menjadi kaya dengan berbagai simbol. Makna simbol-simbol itu bukanlah sesuatu yang baku-kaku, tetapi terus mengalami perubahan makna seiring perubahan zaman.

Kekristenan dan Transformasi Sosial-Budaya

Dalam film “Pong Maramba” kita sudah melihat bagaimana orang Toraja membangun kebudayaan dalam tatanan simbol-simbol yang maknanya mesti ditafsir ulang terus menerus (kontekstualisasi) sehingga makna itu tetap bernilai dalam membangun kehidupan bersama dalam konteks yang berubah.

Kita tidak bisa menyangkali bahwa identitas ketorajaan kita bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Identitas ketorajaan kita adalah suatu konstruksi sosial-budaya yang dibangun berdasarkan kesepakatan dan konflik dengan unsur-unsur budayawi yang lain (misalnya, Bugis, Islam dan Kristen).

Oleh karena itu, ketorajaan kita sekarang ini adalah suatu bentuk transformasi identitas yang berlangsung tanpa henti. Anda sedang berada dalam proses “menjadi” orang Toraja dan memberi makna pada identitas ketorajaan dalam perubahan zaman.

Jika kemudian para leluhur kita bersepakat untuk menerima kekristenan sebagai bagian dari identitas ketorajaan, maka itu harus dilihat sebagai cara mereka menyerap perubahan yang mereka alami pada masa hidup mereka. Hal yang sama juga perlu kita renungkan: apakah kekristenan masih bermakna memperkuat identitas ketorajaan kita menjadi identitas yang terbuka ataukah makin tertutup? Jika dalam diskursus budaya Toraja terjadi transformasi dalam memahami tongkonan sebagai “rumah bersama” (oikumenis) maka proses itu merupakan upaya memahami budaya Toraja seutuhnya dan melakukan kontekstualisasi pengalaman-pengalaman iman kristiani.

Teks Efesus menyebutkan sejumlah transformasi karena perjumpaan dengan Kristus:

  • Yang “jauh” menjadi “dekat oleh Darah Kristus
  • Tembok pemisah dirubuhkan
  • Dipersatukan oleh Damai Sejahtera
  • Reinterpretasi hukum taurat
  • Manusia baru
  • Menghadirkan damai sejahtera
  • Kedua pihak berjumpa (ayat 18)
  • Menjadi “kawan sewarga”; tidak ada “orang asing”

Kita bisa meyakini bahwa dengan segala kelemahan historisnya kekristenan telah memberikan kesempatan kepada kita untuk menafsir ulang seluruh dimensi kebudayaan Toraja sehingga menjadi kebudayaan yang terbuka bagi perubahan dan menampung perbedaan. Tetapi proses itu tidak terjadi dalam semalam. Pengalaman iman dan sejarah ketorajaan kita terus berjalan dalam dinamika perubahan zaman. Kita juga mesti jeli melihat tanda-tanda zaman. Apakah kekristenan dan ketorajaan kita menjadi sebuah identitas yang terbuka dan transformatif; ataukah hanya menjadi semacam ekstasi teologis demi kepuasan diri dan kelompok kita sendiri?

Efesus memperlihatkan bahwa pengenalan kita kepada Kristus seharusnya membuat kita menjadi sebuah komunitas yang terbuka bagi perubahan; atau istilah Pak Jonathan Parapak: “berselancar di atas ombak perubahan”. Kita tidak takut terhadap perubahan, tetapi mampu menyiasati perubahan dalam strategi dan seni kehidupan.

Jika dianalogikan: pemuda gereja adalah peselancarnya, bukan papan selancarnya. Jadi kita semua bukanlah “alat damai sejahtera Tuhan” melainkan “pelaku damai sejahtera Tuhan”. Alatnya apa? Macam-macam: ormas, organisasi gereja, organisasi politik, LSM, paduan suara, perguruan tinggi, dsb. Dengan kata lain, seluruh bidang kehidupan itu adalah “alat” atau “sarana” kita memberlakukan damai sejahtera Tuhan. Tidak ada wilayah yang kotor atau tabu bagi pelayanan menghadirkan damai sejahtera Tuhan bagi manusia (termasuk politik dan ekonomi).

Pertanyaannya: Sudahkah kita masuk dalam spiritualitas transformatif seperti itu? Ataukah kita masih terus bersibuk ria dengan hal-hal internal yang menguras energi sehingga tidak lagi berdaya “berselancar di atas ombak perubahan” sekarang ini, lalu digulung oleh ombak perubahan itu dan hancur terhempas di batu karang realitas kehidupan?

Kita sering mendengar jargon “pemuda adalah tulang punggung bangsa”. Lalu gereja-gereja kita latah dengan jargon yang sama: “pemuda adalah tulang punggung gereja”. Kenyataannya, itu tetap cuma jargon. Dalam praktiknya, kaum muda dihadapkan pada suatu sistem di mana perannya tetap dipinggirkan dan tak lebih hanya objek pelengkap. Alasannya macam-macam: masih hijau dalam pengalaman, pengetahuan belum matang, dll. Jadi yang bisa memimpin dan mengorganisasi gereja cuma kaum “ortu” saja.

Memang tidak ada salahnya. Tetapi dominasi yang berlebihan kaum ortu ini tentu menimbulkan ketidakseimbangan yang cukup parah dalam dinamika menggereja khususnya di Indonesia. Kenapa demikian? Karena pengelolaan gereja sebagai organisasi sosial membutuhkan kepekaan terhadap munculnya tantangan-tantangan baru yang mesti ditangani dengan metodologi atau cara yang baru pula. Dan tentu itu membutuhkan energi baru dari sumber daya yang masih segar. Jika kebuntuan itu tidak segera ditembus maka kaum muda gereja-gereja kita tak lebih hanya berperan sebagai pelengkap liturgi gereja (vocal group, paduan suara). Itu penting. Tetapi peran kaum muda semestinya harus lebih berbobot dan signifikan daripada hal-hal semacam itu. Dengan kata lain, saya mau mengatakan bahwa ada persoalan internal dan eksternal gereja yang tak dapat dihindari serta mesti dipikirkan dan disikapi oleh pemuda gereja kalau memang kita mau mencapai suatu sasaran yang jelas di masa depan.

Pemuda Gereja Menyikapi Tantangan Zaman

Untuk menjalani proses pematangan diri sebagai kaum muda gereja, maka dalam pemahaman saya, ada beberapa segi wawasan yang mesti menjadi kepekaan kaum muda gereja, yang kemudian bermuara pada terbentuknya karakter kaum muda gereja yang cerdas dan punya komitmen kuat terhadap pergumulan gereja dalam konteksnya.

1. Pemahaman mengenai hakikat Alkitab

Sederhananya, ada dua pemahaman mengenai apa itu Alkitab yang sangat berpengaruh terhadap sikap hidup jemaat. Pertama, pandangan bahwa Alkitab itu adalah wahyu yang disampaikan langsung oleh Tuhan. Karena itu setiap bagian dalam Alkitab tidak boleh diragukan kebenarannya. Alkitab tidak bisa salah (infalibitas). Barangsiapa meragukannya, digolongkan sebagai orang “kafir” yang perlu dilawan atau diselamatkan dari iman yang sesat. Mereka yang berpandangan seperti ini digolongkan sebagai kaum fundamentalis yang sering sangat kaku dalam memaknai pesan-pesan dalam alkitab. Biasanya pandangan seperti ini berlaku dalam jemaat-jemaat kita (sebagai konsekuensi warisan teologi kolonial).

Kedua, pandangan bahwa Alkitab merupakan tulisan-tulisan manusia yang proses pengumpulan, seleksi, penyuntingan (editing), dan pengakuannya (disebut kanonisasi) berlangsung selama berabad-abad hingga mencapai bentuknya yang sekarang. Alkitab merupakan suatu refleksi teologi, sosial, politik dan kebudayaan dari suatu masyarakat yang pernah hidup pada suatu waktu dan tempat tertentu. Sehingga untuk membaca Alkitab kita membutuhkan suatu pengetahuan tersendiri mengenai latar belakang kitab-kitab tersebut. Dengan begitu kita bisa tahu pesan apa yang mau disampaikan oleh penulis kitab, pertama-tama kepada masyarakatnya saat itu, dan kemudian kita hadapkan dengan kenyataan kita di saat ini. Apakah pesan yang sama bisa kita tangkap dan maknai sebagai bagian dari pergumulan kita juga. Dengan cara ini pesan-pesan Alkitab bisa kita maknai secara kritis dan kontekstual. Firman Allah akan ditemukan dalam sejarah manusia, bukan cuma dalam Alkitab. Karena Allah terus berfirman dalam peristiwa-peristiwa sepanjang sejarah pergumulan manusia, baik secara pribadi maupun sosial. Di sini dibutuhkan kepekaan terhadap konteks kita sendiri.

2. Kepekaan terhadap pergumulan konteks sosial

Gereja berada di dalam dunia dan masyarakatnya, bukan di awan-awan nirwana atau sorga. Selain ditopang oleh berbagai pengalaman rohani jemaatnya, gereja turut pula dibentuk oleh struktur kebudayaan dan struktur sosial masyarakatnya. Jadi gereja tidak bebas nilai, bahkan mesti terus dikritisi. Konteks sosial gereja itu yang sering mempengaruhi kemampuan gereja dalam membaca alkitab dan melihat tindakan Allah dalam sejarah dan pergulatan masyarakatnya. Oleh karena itu, di sini kita membutuhkan kepekaan terhadap pergumulan konteks sosial. Itu penting. Kalau tidak, gereja hanya menjadi ghetto (perkampungan Yahudi) yang tertutup dan “kuper” (kurang pergaulan), “gatek” (gagap teknologi). Secara fisik keberadaan gereja memang diakui, tetapi secara visi, miskin dan kering makna. Untuk itu gereja membutuhkan kaum muda yang cerdas, kritis dan cepat tanggap terhadap berbagai persoalan sosial, politik, budaya, dll. Dari mana harus memulai? Tidak dapat tidak, budaya membaca buku-buku dalam berbagai dimensinya mesti menjadi tradisi dalam kehidupan menggereja kita. Sehingga orientasi kita tidak melulu kuantitas, tetapi juga kualitas pengetahuan kaum muda gereja.

3. Penyiapan pola kepemimpinan gereja yang modern dan dinamis

Kalau proses pencerdasan kaum muda gereja sudah mencapai tahap yang optimal (meskipun pengukurannya relatif) maka paling tidak kita telah mulai membentuk karakter kaum muda yang progresif. Maka selanjutnya kita perlu melakukan review terhadap pola kepemimpinan yang berlaku dalam gereja kita. Apakah masih terpaku pada paradigma kuno yang ketinggalan zaman, atau perlu direkonstruksi sesuai prinsip-prinsip manajemen dan kepemimpinan modern yang dinamis serta mengutamakan mutu dalam pelayanannya. Kita merumuskan suatu analisis yang tajam terhadap dinamika sosial kemasyarakatan dan berani menawarkan gagasan pembaruan kepada masyarakat kita. Hanya dengan cara itu, gereja diperhitungkan dalam seluruh proses pengambilan keputusan di republik ini. Kalau tidak, kita hanya jadi minoritas yang mandul.

4. Tersedianya forum diskusi pemuda gereja yang kritis dalam pemikiran

Untuk melaksanakan itu semua tentu kita membutuhkan suatu forum diskusi yang kapabel, kritis serta terorganisasi rapi. Yang saya maksud, bukan hanya momen-momen diskusi seperti ini saja, tetapi suatu wadah resmi di mana pemikiran-pemikiran serius mengenai teologi dan masa depan gereja serta masyarakat berlangsung dengan melibatkan kelompok internal maupun eksternal gereja. Jika perlu, gagasan-gagasan tersebut diartikulasikan dan dipublikasikan secara luas kepada umum. Dengan melakukan itu, masyarakat kita juga diajak untuk menyadari bahwa gereja-gereja kita bukan lagi “agama kolonial” yang sebaiknya dibom saja karena hidup dalam “menara gading”, tetapi mereka melihat bahwa gereja sudah menjadi bagian dari pergumulan, penderitaan, tekanan ekonomi, depresi, yang mereka rasakan.

5. Membangun komunikasi pemuda lintas organisasi gerejawi dan lintas agama

Kalau anda melihat kembali keempat hal di atas, anda akan melihat bahwa gereja yang kita bicarakan bukan lagi milik jemaat kristen, tapi milik masyarakat. Sebagai bagian integral dari masyarakatnya, gereja dituntut membangun komunikasi pro-aktif dengan semua elemen kemasyarakatan. Karena konteks kita adalah pemuda, maka pemuda gereja mesti membangun komunikasi kritis dengan berbagai organisasi kepemudaan, khususnya teman-teman pemuda dari agama lain. Kita harus mengakui bahwa secara kualitatif kita telah tertinggal jauh dari teman-teman pemuda Islam. Dalam amatan saya, teman-teman Islam telah berhasil menemukan core pemikiran-pemikiran progresif khas Islami. Bila dinamika berjalan kontinyu, bukan tidak mungkin konstruksi ideologi dan struktur kenegaraan Indonesia di masa depan akan sangat dipengaruhi oleh kelompok-kelompok muda Islam yang progresif dan cerdas ini. Sementara kita, masih ribut dengan urusan kita sendiri yang tak kunjung usai. Saya khawatir jika kita menyadari hal ini dan menyikapinya secara serius, kita hanya akan dianggap parasit yang hanya bisa hidup menumpang tetapi tidak produktif.

Tema Natal 2006 ini memang sedang menantang kita untuk memaknai natal dalam perspektif yang lebih realistis. Kita tidak lagi hanya sebatas berkisah tentang kelahiran bayi Yesus yang sudah terjadi dulu, tetapi kita mengarahkan hidup kita sebagai manifestasi kehadiran Tuhan dalam kekinian dan masa depan bersama. Kita ditantang untuk menjadi persekutuan yang transformatif karena hakikat kehadiran Allah dalam karya dan hidup Kristus juga adalah suatu spiritualitas transformatif (mentolinomo Puang Matua ilan Puang Yesu). Jika kepercayaan kita kepada Kristus ternyata tidak membawa perubahan dalam diri kita maupun masyarakat kita, jangan-jangan kita salah percaya Yesus.

Saya ingin mengutip perkatan bijak dari Tana Toraja yang sebenarnya mengandung makna persekutuan yang sangat dalam: Kita raka la losong na lise ‘na bo’bo’ yang artinya “kita tidak lebih banyak dari butiran nasi”. Ungkapan itu sebenarnya merupakan ungkapan iman orang Toraja bahwa hidup ini adalah sebuah anugerah yang mesti dibagi dengan orang lain, sehingga kita tidak perlu takut akan kekurangan dan pesimis menghadapi hidup dalam rekatan persekutuan beriman.

Bukankah itu pula makna natal sebagai cara Allah berbagi kasihNya dalam derita dan hidup manusia? Oleh karena itu Natal 2006 semestinya menjadi sebuah refleksi kehidupan yang mengajak kita pertama-tama memaknai identitas kita bukan sebagai tempurung yang menghalangi visi hidup kita, tetapi sebagai suryakanta yang makin memperjelas siapa kita dan apa orientasi visioner hidup kita. Di situlah kita bisa belajar dari Sophie Amundsen, si tokoh novel Jostein Gaarder.



* Materi ini awalnya merupakan refleksi Natal Pemuda Gereja Toraja, 10 Desember 2006 di Gereja Toraja Depok. Yang memilih tema: Dialah Damai Sejahtera Yang Telah mempersatukan (Ef. 2:14) dan subtema: Jadikan Aku Alat Damai Sejahtera-Mu (Yoh. 14:27).





Menjadi Indonesia: Masihkah Realistis?

7 12 2007

Pertanyaan di atas terbuka bagi siapa saja yang ingin menjawabnya. Tentu, banyak ragam jawab dan interpretasi yang akan muncul menanggapi soal tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegelisahan untuk melanjutkan pembangunan bangsa ini sekarang makin menguat dan menggumpal dalam sikap fatalistis: apakah kita masih bisa terus berjalan dalam komitmen kebangsaan yang bernama Indonesia? Kegundahan itu bukannya tidak beralasan bila kita melihat eskalasi suhu politik tanah air yang akhir-akhir ini makin memanas. Banyak faktor yang memicu munculnya gejolak tersebut. Adalah suatu kenyataan bahwa gejolak internal berdampak sangat signifikan bagi upaya pemulihan situasi sosial Indonesia yang sementara tertatih-tatih.

Kita memang sedang membangun kembali infra- maupun suprastruktur negara kita yang sudah terpuruk selama beberapa tahun terakhir ini akibat disorientasi dalam penataan sistem bernegara di segala bidang. Tentu saja, pembangunan yang dimaksud tidak hanya dalam arti yang fisik semata, melainkan lebih pada rekonstruksi struktur kesadaran dan mentalitas kebangsaan yang dilandaskan pada ideologi nasional yang disepakati bersama. Kesepakatan ideologis itulah yang sebenarnya memberikan “roh” bagi eksistensi dan daya tahan hidup suatu bangsa. Inilah sebenarnya makna hakiki dari apa yang sering disebut nation building.

Karakter nation building itu sendiri bukanlah wahyu ilahi yang jatuh dari sorga, tetapi produk pergulatan manusia memaknai inter-relasi dengan sesamanya dalam wujud simbol-simbol kebudayaan tertentu. Simbol-simbol kebudayaan ini meski merupakan pantulan refleksi manusia universal namun toh tetap merupakan suatu ekspresi yang terkungkung dalam batasan-batasan berdimensi temporal. Apalagi ketika simbol-simbol kultural tersebut mengalami proses institusionalisasi, yang berarti dia makin memperoleh legitimasi sosial dalam pengambilan keputusan publik. Dengan kata lain, sebagai simbol-simbol kebudayaan, karakter tersebut tidak bersifat perenial, tetapi selalu mengalami metamorfosis baik secara natural maupun artifisial. Itu semua terjadi karena setiap manusia memiliki perbedaan persepsi mengenai eksistensi kediriannya di dalam konteks hidup masing-masing. Jadi, manusia itu sendiri tidak bebas nilai karena dikurung dalam “rumah” tradisi, bahasa, kekerabatan, adat-istiadat, religiositas, pandangan dunia dan pengetahuannya.

Kendati demikian, manusia tidak tenggelam dalam kenisbian kultural tersebut. Sebagai makhluk yang selalu menjadi atau berproses, manusia terus menerus memberi makna kepada dunianya dalam kerangka membangun suatu peradaban yang lebih maju daripada yang sudah ada. Oleh karena itu, manusia mesti bersosialisasi. Sebab peradaban itu sendiri mesti dibangun bersama-sama. Sosialisasi ini merupakan lompatan keluar dari kurungan kebudayaannya untuk berjumpa dengan mereka yang lain, yang juga melompat keluar dari kurungan yang sama meski konteks berbeda. Pada saat itulah terjadi perjumpaan kreatif yang mendorong terciptanya kehidupan baru dengan spektrum yang lebih kompleks dan berwarna-warni.

Karakter nation building adalah suatu bentuk lompatan keluar untuk bertemu sebagai manusia-manusia yang berkehendak secara sadar melakukan dialog komunikatif di dalam suatu tatanan sosial yang beradab. Implikasi pengertian ini mencuat dalam aspek eksternal dan internal. Secara internal, tatanan sosial yang disebut masyarakat itu secara kontinyu bergerak dengan aturan mainnya sendiri. Secara eksternal, masyarakat itu juga meretas kebuntuan komunikasi dengan masyarakat lainnya sehingga mereka bisa membentuk masyarakat dengan identitas yang lebih makro. Pada titik inilah sebenarnya kita bisa memahami makna globalisasi.

Jadi, karakter nation building itu sendiri merupakan perpaduan dinamis antara apa yang internal dan eksternal, lokal dan global. Fenomena itu sudah berlangsung berabad-abad, meski intensitas globalisasi (eksternal) lebih terasa selama beberapa dekade akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. itu disebabkan oleh gebrakan teknologi komunikasi dan informasi yang memperlancar akselerasi relasional antar-manusia, antar-bangsa, antar-peradaban.

Benturan Peradaban

Prof. Samuel Huntington, guru besar ilmu politik internasional dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, pernah mengajukan tesis mengenai benturan peradaban (clash of civilization). Ia mencermati bahwa pasca perang dingin akan terjadi suatu pergeseran besar dalam peta kekuatan politik global yang lebih banyak dimotori oleh perubahan-perubahan mendasar dalam kepentingan politik internasional dari kedua negara superpower Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Sejarah mencatat bahwa dalam dinamika hubungan internasional yang fluktuatif dan kadang-kadang memanas, Uni Sovyet tidak mampu lagi survive dengan ideologi sosialis Marxis-Leninisme sehingga ambruk dan terpecah menjadi negara-negara kecil yang sampai hari ini masih terus diguncang perang saudara. Amerika Serikat, simbolisasi kekuatan kapitalisme dunia, seolah-olah muncul sebagai pemenang. Itu juga berarti AS menjadi satu-satunya negara adikuasa. Kenyataan ini telah menggiring AS untuk menempatkan diri sebagai satu-satunya negara super-modern yang paling berpengaruh di dunia. Justru di situ soalnya: AS tidak lagi memiliki musuh utama yang mampu menjadi rival sekaligus kontrol atas segala kiprahnya. Sebagai yang demikian, AS bebas menanamkan cakarnya di segala bidang (pertahanan, ekonomi, politik, pendidikan, teknologi dsb) dan hampir di semua negara. AS menjadi kekuatan imperialisme baru yang menciptakan “musuh-musuh” ideologis baru dalam suatu jejaring global.

Kenyataan ini bagi sementara pihak menimbulkan persoalan karena AS memberlakukan double standard: menjadi kiblat modernitas sebagai garda utama kebebasan manusia (HAM), sekaligus kekuasaan yang represif. Pemberlakuan standar ganda ini paling jelas tampak dari keterlibatan AS dalam konflik Palestina-Israel. Bagi AS sendiri, sulit melepaskan citra sebagai “pihak yang selalu mengalah” ketika berhadapan dengan Israel yang “keras kepala” dalam kasus ini (sudah menjadi rahasia umum bahwa posisi-posisi vital di pemerintahan AS didominasi oleh kelompok Yahudi perantauan). Meski sebenarnya lebih bernuansa politis, namun di lingkungan internasional, konflik Palestina-Israel telah berkembang secara manipulatif menjadi konflik agama (Yahudi vs Islam). Tetapi karena Yahudi secara salah kaprah selalu dikaitkan dengan Kristen maka jadilah konflik segitiga: Yahudi-Islam-Kristen. Pada momentum inilah, menurut saya, sedang terjadi suatu benturan kebudayaan yang luar biasa hebatnya karena sudah mengalami bias ke ranah paling sensitif: agama. Apakah ini yang dimaksud Huntington sebagai benturan peradaban? Saya kurang yakin. Sebab saya percaya Huntington tidak akan mengabaikan konflik Inggris-Irlandia Utara yang juga sarat dengan muatan konflik agama (Protestan vs Katolik); atau India-Pakistan (Hindu vs Islam).

Apa yang bisa dikatakan secara singkat hanyalah bahwa pada dasarnya tidak ada satu konflik pun yang disebabkan oleh perbedaan agama. Seluruh konflik yang terjadi sebenarnya hanya memperebutkan satu saja: KEKUASAAN. Siapa yang menguasai siapa dan apa yang bisa dipakai untuk menguasai orang lain. Di sinilah sebenarnya agama pada tampilan wajahnya yang lain menunjukkan potensi dimanipulasi sebagai “senjata” untuk melumpuhkan, mematahkan kekuasaan pihak lain dan menguasainya. Agama telah menjadi fenomena sosial yang sangat ideologis. Dalam wacana ini pula, “Tuhan” sebagai Realitas Ultim-Transenden bergerak secara antropomorfis menjadi “panglima perang” yang memberangus musuh-musuhNya (atau musuh manusia?). Betapa mengerikan bila kekuasaan Tuhan sebagai Realitas Ultim takluk di bawah kekuasaan manusia yang terbatas dan definit. Kalau sudah begitu, siapa yang menjadi “tuhan”? Tuhan itu per se dalam misteri adikodrati-Nya, atau manusia yang menuhankan dan mentransendensikan kekuasaannya sendiri?

Indonesia: di persimpangan jalan

Pasca peristiwa 11 September 2001, ketegangan meruncing antara AS dengan kelompok teroris [?] yang selama ini sudah beberapa kali melakukan aksi teror dalam berbagai bentuk di AS (mungkin juga di negara-negara lain sekutu AS). Banyak analisis yang melihat pertautan antara aksi vandalis di World Trade Center New York dan Markas Pentagon Washington DC dengan kekecewaan kelompok-kelompok perjuangan nasional pembebasan Palestina atas sikap AS yang ambivalen terhadap konflik Palestina-Israel. Ada pula yang melihat bahwa rangkaian peristiwa teror ini tidak dapat dilepaskan dari kegeraman seorang Osama bin Laden yang merasa dikhianati oleh AS ketika ia (dan kelompok Al-Qaedha) berjuang melawan tirani kekuasaan despotik Uni Sovyet di Afganistan. AS sendiri yang menginjeksi energi (persenjataan) kepada Osama bin Laden saat itu dan mempunyai andil membesarkan embrio perjuangan Al-Qaedha. Meski kemudian hubungan Osama dan militer AS makin memburuk.

Ada atau tidak bukti-bukti yang menunjuk pada keterlibatan Osama memang sulit dipertanggungjawabkan. Seperti yang dikatakan oleh Mayjen TNI Sudrajat (mantan Kapuspen TNI) dalam wawancara di salah satu stasiun TV swasta baru-baru ini, bahwa pembuktian pelaku teror sulit dilakukan dan memang selama ini tidak pernah dirasa perlu untuk dilakukan. Tetapi AS membutuhkan target untuk menumpahkan kekesalannya, maka dipilihlah Osama bin Laden.

Polemik terjadi ketika figur Osama ternyata telah menjadi simbolisasi persona yang diidentikkan dengan Islam. Sehingga serta-merta aksi penyerangan ke Afganistan, yang dikuasai kelompok Taliban yang dicurigai AS telah melindungi Osama, langsung dikaitkan sebagai penyerangan terhadap Islam. Osama memang seorang muslim. Tetapi apakah Islam benar-benar terwujud dalam diri seorang Osama? Belum tentu. Islam lebih besar dan universal daripada seorang Osama bin Laden. Di sinilah sebenarnya letak crucial point ketika agama telah diperalat menjadi “senjata” kekuasaan. Kita tidak tahu lagi mana yang menjadi peubah (variabel) utama yang mesti menjadi kekuatan nilai: agama atau simbolisme persona? Prof. Ibraim Abu-Rabi, guru besar Agama Islam dari Universitas Temple, Amerika Serikat, dalam makalahnya yang disampaikan pada Congres of Asian Theologians ~ Christian Conference of Asia (Dewan Gereja-gereja Asia) di Yogyakarta Agustus 2001, mengatakan secara singkat tapi mengesankan bahwa “banyak muslim tetapi tidak semuanya adalah Islam”. Artinya, lanjut beliau, Islam pada hakikatnya bersifat universal dan cenderung dimengerti-salah oleh kaum muslim karena keterbatasan konteks dan kebudayaan mereka.

Posisi Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia cukup sulit menyikapi situasi ini. Maraknya tuntutan massa (yang menurut sebagian tokoh muslim dinilai tidak realistik) menimbulkan beragam interpretasi, mulai dari yang moderat hingga radikal. Kentara sekali bahwa perpaduan emosionalitas dan rasionalitas kadang berhimpit sedemikian rupa sehingga tidak mampu lagi dicandra secara jernih.

Solidaritas menjadi terminologi kunci yang mendorong aksi-aksi kelompok-kelompok muslim di Indonesia. Untuk itu, mereka rela berjihad (entah dalam makna apa, sebab pengertian istilah inipun sangat bervariasi). Pertanyaan saya: apakah solidaritas kepada saudara-saudara muslim di Afganistan hanya bisa muncul dari kalangan muslim? Saya kira di sini sering terjadi kesalahpahaman. Solidaritas tidak selamanya mencuat dalam aksi massif di jalan-jalan, tetapi juga bisa dalam bentuk hening, meditasi dan doa. Dan itu juga dilakukan oleh setiap orang yang masih punya hati nurani kemanusiaan (tanpa pandang apa agamanya).

Presuposisi tersebut sebenarnya hendak membentangkan realitas kebangsaan kita yang jamak (plural). Pluralitas itulah yang menjadi karakter nation building kita sebagai sebuah Indonesia. Solidaritas kita tunjukkan bukan karena Indonesia berpenduduk mayoritas muslim, tetapi karena kita memang sudah bersepakat untuk hidup dalam pergaulan global. Kita tidak kaku dengan pendekatan pluralisme global karena Indonesia telah menempa kita untuk hidup dalam solidaritas lintas-peradaban (budaya, agama, bahasa).

Jadi, pemaknaan solidaritas secara sempit hanya pada dan dari kelompok yang homogen, sama saja mereduksi makna “Indonesia” ke titik nadir peradabannya sendiri. Para bapak/ibu pendiri bangsa kita tidak memilih nama “Republik Jawa” meski suku Jawa mayoritas; mereka juga tidak memilih “Republik Islam” meski mayoritas penduduknya beragama Islam. Tetapi mereka memilih nama baru “Indonesia” yang memberi ruang hidup bagi segenap manusia dengan kekayaan ekspresi kulturalnya masing-masing. Selain pluralitas, kesetaraan di antara manusianya juga dijamin secara konsekuen. Sehingga Indonesia sebagai realitas politik baru (lahir 17 Agustus 1945) menjadi suatu tempat di mana perjumpaan kemanusiaan terjadi dan terus berlangsung. Sekali lagi, jika tetap setia pada komitmen para pendiri bangsa ini untuk membentuk suatu negara modern yang berwawasan humanis, bukan sektarian atau primordial.

Indonesia seperti itu pada hakikatnya memberikan suatu kelonggaran bagi pendewasaan berdemokrasi yang santun tanpa mesti terperangkap dalam segmen-segmen primordialisme yang vulgar. Namun, toh kalau ternyata sepanjang perjalanan sejarahnya, kita melihat bahwa untuk menjadi bangsa yang dewasa membutuhkan proses jatuh-bangun, sejauh itu mendorong pemerdekaan setiap warga negara, itu harus dipacu dan dipertahankan. Sebaliknya, bila ternyata komitmen untuk menjadi bangsa yang majemuk dengan wawasan modern tidak lagi mempunyai kekuatan ideologis yang mengikat dan pada akhirnya menciptakan polarisasi yang makin mengerucut, maka kita perlu melakukan re-visi: masih relevankah kita menyebut diri orang Indonesia tanpa suatu keterbukaan untuk menerima kehadiran orang lain secara setara? Atau kesadaran historis kita sudah menjadi begitu pejal sehingga seperti orang linglung yang lupa daratan? Atau mungkin yang lebih spesifik: masih realistiskah untuk menjadi Indonesia?





Tolak Bush atau AS

7 12 2007

Gelombang demonstrasi menolak kedatangan Presiden Amerika Serikat (AS) George W. Bush terus mengalir. Berbagai komentar pun mencuat dari para politisi, akademisi maupun rakyat. Reaksi atas kunjungan Presiden AS itu memang mesti disikapi secara arif.

Pada satu sisi, protes sebagian elemen masyarakat Indonesia mengindikasikan bangkitnya sikap kritis terhadap praktik-praktik kekuasaan despotik yang selama ini dipamerkan AS melalui berbagai kebijakan luarnegerinya. Sikap kritis itu, terutama dari rakyat Indonesia, sebenarnya merupakan pesan keras kepada pemerintah AS yang pasca Perang Dingin memproklamirkan eksistensinya sebagai “polisi dunia”. Kepongahan politik itu nampak dalam wujud kebijakan luarnegeri yang sarat kekerasan. Lihat saja sepak terjang militer AS dan sekutunya di Afganistan dan Irak. Alih-alih melahirkan demokrasi yang dijargonkan oleh Presiden Bush, kebijakan luar negeri dan kampanye antiteror AS malah menyeret rakyat negara-negara tersebut ke dalam kancah perang saudara yang paling mengerikan awal abad ini. Pada titik itu, kita harus berkonfrontasi dengan AS.

Di sisi lain, sikap kritis terhadap kunjungan Bush sebagai Presiden AS seharusnya menjadi momentum untuk menunjukkan kedewasaan politik kita sebagai suatu bangsa yang berdaulat. Untuk itu, protes yang tak kalah kerasnya juga mesti disasarkan kepada pemerintah Indonesia yang akan melakukan percakapan kenegaraan selama kurang lebih 10 jam. Transparansi agenda percakapan kedua pemimpin negara itu layak untuk diketahui dan dicermati secara luas. Agenda tersebut akan menjadi indikator apakah memang kita (Indonesia) memposisikan diri sebagai pihak tertunduk ataukah mitra sejajar dalam hubungan politik bilateral. Dalam konteks ini, keberanian kita sedang diuji untuk menunjukkan kesantunan politik sebagai bangsa yang berdaulat melalui keterbukaan dan keramahan menerima seorang tamu negara, sekaligus oposisi.

Agenda Politik Kemanusiaan

Agenda pertemuan kedua pemimpin negara ini tentu sangat berkait dengan hubungan kerjasama bilateral. Namun, hal terpenting yang mesti ditempatkan sebagai roh dari percakapan tersebut ialah upaya membangun sebuah diskursus politik dan praktik kebijakan internasional yang lebih manusiawi. Kekalahan Partai Republik dalam perebutan kursi Kongres Amerika Serikat (DPR dan Senat AS) membuktikan bahwa pemerintahan yang “keras” dan “militan” seperti yang dilakonkan oleh Bush, tidak lagi populer dan diminati oleh rakyat AS. Rakyat sudah capek dengan isu-isu kekerasan yang tak kunjung reda mendera publik AS.

Di pihak Indonesia, pemerintahan SBY-JK pun menghadapi sederetan masalah rumit yang saling bertemali. Begitu rumitnya hingga Presiden SBY merasa perlu membentuk unit kerjanya sendiri. Sayang, bukan makin mengurai kekusutan masalah, kehadiran unit kerja presiden ini justru “dianggap” memperumit masalah. Belum lagi persoalan-persoalan seperti teror di Poso, lahirnya generasi baru yang tak gentar bereksperimen dengan bom bunuh diri, kabut asap, bertambahnya orang yang terinfeksi HIV/AIDS secara signifikan setiap tahun, flu burung, sampah, tenggelamnya sebagian Sidoarjo oleh pancaran lumpur panas, dan masih banyak lagi.

Indonesia dan AS mempunyai masalah dalam negerinya masing-masing. Namun tidak dapat disangkali bahwa dalam konteks mondial saat ini setiap negara tidak bisa lagi melihat dan memperlakukan suatu masalah sebagai masalahnya sendiri. Apa yang kita hadapi sekarang ini lebih merupakan jejaring masalah berkelindan. Tetapi sepanjang sejarah hubungan Indonesia-AS, kita nampaknya selalu menjadi pihak yang terpinggirkan. Secara fisik kita diakui ada tapi visi kita acap diabaikan. Pola relasional semacam itu merupakan refleksi relasi penjajah-terjajah dalam kemasan yang lebih cantik atau “neo”. Ironisnya, kerangka pikir kita pun terbentuk secara hegemonik untuk mengidentifikasi diri dalam perspektif yang ditentukan oleh “sang penjajah” [lihat bentukan gaya hidup melalui media dan kurikulum pendidikan].

Kritik agar Indonesia tidak berlaku sebagai negara jajahan yang tidak punya harga diri patut diperhatikan secara serius. Namun indikatornya tidak bisa hanya pada sebuah peristiwa kunjungan Bush ke Indonesia dengan penyambutan yang [terkesan] berlebihan. Bush [saat ini] tidak bisa dilihat terlepas dari kekuasaannya sebagai Presiden AS. Oleh karena itu, perspektif kritis baiknya ditujukan kepada manajemen kekuasaan politik-ekonomi-pendidikan pemerintah AS yang tidak manusiawi dan punya andil besar menghancurkan masa depan bumi dan umat manusia.

Masalah-masalah pelik kita di dalam negeri saat ini tak lepas dari invisible hands AS atau sebagai dampak politik luarnegeri AS. Jika kita mendaku bahwa kita bukan bangsa terjajah, mestinya seluruh perspektif dan gaya politik nasional kita berorientasi pada kemandirian strategi politik yang kontekstual. Sebab tak terpungkiri bahwa kita sekarang memang sedang tertindas di bawah hegemoni politik-ekonomi-pendidikan AS dan negara-negara Barat lainnya, yang menjadi patron modernisasi dan demokrasi. Masalah-masalah itu tidak bisa dihadapi hanya dengan demonstrasi dan aksi bakar bendera AS saja, tetapi harus lebih substansial menusuk ke jantung persoalan kita di Indonesia: KEMISKINAN. Harga diri kita jatuh bukan karena rusaknya [sebagian] Kebun Raya Bogor untuk membuat helipad. Harga diri kita mestinya lebih terusik dengan seabreg masalah yang melilit kita dalam benang kusut kemiskinan dan kekerasan yang terus menerus menimbulkan korban jiwa dari antara anak bangsa ini.

Jika ada seorang anggota DPR yang dengan keras menolak kunjungan Presiden AS karena alasan “Orang ini penjahat perang yang tangannya berlumuran darah”, maka itu seharusnya menjadi kritik-diri kepada kita semua: apakah tangan-tangan kita bersih dari lumuran darah? Ataukah kita sebenarnya setuju dengan Bush-way tapi memolesnya dalam topeng hipokrisi agar kita kelihatan lebih “bermartabat”? Kalau memang kita menolak Bush karena kekuasaannya sebagai presiden telah menimbulkan pertumpahan darah di mana-mana, itu berarti gaya politik kita seharusnya tidak boleh menimbulkan pertumpahan darah; atau minimal berkeinginan membangun kehidupan bersama yang pluralistik dan demokratis tanpa harus selalu pamer kekuatan untuk memaksakan keinginan, seperti yang dilakukan oleh Bush, bukan? Bush adalah gambaran pemimpin yang sebenarnya tidak berkarakter pluralistik dan demokratis. Mungkin karena faktor itu pula popularitasnya hancur di dalam dan luar negeri AS. Tetapi AS tentu tidak identik dengan Bush. Nah, dengan demikian yang jadi soal lagi-lagi harus kita pilih: sebenarnya kita menolak Bush atau Amerika Serikat? Kita tunggu saja sejauh mana nyali keindonesiaan kita teruji berhadapan dengan “Mr. President”.





Pemilihan Presiden: Mencoba Melihat Sisi Lain

7 12 2007

KETIKA terjebak dalam antrian panjang mobil di perempatan jalan Jakarta suatu sore, pikiran penulis terusik oleh pemandangan “umum” sekelompok anak kecil dan remaja yang menadahkan tangan dari mobil ke mobil. Mereka menyanyikan untaian bait sebuah lagu pop dengan nada sumbang diiringi ecek-ecek-nya, dan seorang anak cacat sengaja “dipajang” di atas trotoar pembatas di antara pilar-pilar beton penyangga jalan tol.

Yang menarik dan ironis, pilar-pilar beton di sepanjang jalan itu dipenuhi poster-poster sejumlah figur yang saat ini sedang berlomba-lomba menjadi “Indonesian Idol” di mata dan hati rakyat. Menarik, karena selain menampilkan wajah simpatik para kontestan, poster-poster itu juga disertai pernyataan-pernyataan lucu, agak bombastik, kendati lebih banyak tidak realistik.

Ironis, karena poster-poster itu menghadirkan sang tokoh secara simbolik di tengah suatu konteks mikro secara paradoksal. Penulis yakin, para sahabat yang setiap hari mempertaruhkan hidupnya bermandi debu dan asap kendaraan di jalanan pasti sempat menikmati pameran poster-poster itu, meski hanya sekilas.

Mungkin tidak banyak mereka yang tahu bahwa sebenarnya “nasib” para tokoh itu sedikit banyak ditentukan oleh partisipasi politik mereka sebagai warga negara. Mungkin juga banyak dari mereka yang tahu bahwa sosok dalam poster itu sebenanya tidak mereka kenal, karena orang-orang itu tidak hadir dalam realitas sosial hidup mereka sebagai rakyat miskin-jelata secara konkrit. Dan kini, menjelang pemilihan presiden, orang-orang itu seperti turun dari “sorga dunia” untuk menjenguk mereka yang terperangkap dalam “neraka dunia”.

Pemandangan kemiskinan kota adalah sebuah fragmen kecil dari mosaik realitas sosial masyarakat Jakarta. Masih banyak fragmen-fragmen hidup rakyat lainnya yang membentuk jati diri Jakarta sebagai tipe masyarakat kosmo-urban Dunia Ketiga. Realitas kemiskinan kota adalah sebentuk wajah kekerasan struktural yang sebenarnya telah menciptakan suatu pola mata-rantai kriminalitas dari level kelas teri (petty crime) hingga ke level mafia profesional yang, sudah jadi rahasia umum, turut melibatkan komponen-komponen kunci negara.

Tetapi tampaknya fragmen kemiskinan kasat-mata itu sama sekali tidak menggelitik kepekaan calon-calon pemimpin yang saat ini sedang bertarung menuju kursi presiden. Secara pragmatis isu kemiskinan diperlakukan hanya sebagai aset yang siap dijual untuk sebuah target politik. Pertanyaan sederhana yang menyeruak: benarkah calon-calon pemimpin bangsa ini memang memiliki kepekaan nurani atas nasib rakyatnya? Jawabannya tentu sangat bergantung pada bobot subjektivitas personal.

Yang pasti, kepekaan seorang pemimpin terhadap geliat perjuangan hidup dan penderitaan rakyatnya adalah modal sosial yang sangat penting. Seorang (calon) pemimpin bisa saja berkoar-koar dengan sederetan panjang elaborasi teoretik mengenai rencana dan program-program kerja yang akan dilakukannya, tetapi tanpa kepekaan, bisa jadi seluruh uraian programnya hanya mengawang, tidak menggawang.

Spiritualitas Politik

Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang cerdas. Itu pasti. Namun kecerdasan tidaklah cuma terukur pada kemampuan membaca teks-teks teori sehingga menampilkannya bak ensiklopedi berjalan, atau pada gelar akademik yang disandang. Lebih jauh, dia juga semestinya mampu membaca konteks secara cermat dengan kepekaan nurani yang tajam. Kepekaan nurani tidak lahir dalam ruang-ruang kelas kuliah di kampus-kampus atau di ruang-ruang seminar.

Kepekaan nurani lahir dari pergolakan batin yang menatap kenistaan dan penderitaan manusia sebagai sebuah penghinaan bagi kemuliaan Tuhan, Sang Pencipta. Artinya, kesadaran itu hanya terbentuk dalam realitas “jalanan”, di mana seluruh jejaring kompleks aktivitas riil manusia berlangsung secara telanjang. Dalam lingkup pemahaman sedemikian, eksplorasi keberagamaan menjadi salah satu kunci utama dalam prospek kepemimpinan di republik ini.

Jika dibahasakan secara lain, seorang pemimpin semestinya memiliki visi teologis yang membentuk seluruh konstruk kesadaran dan moralitasnya, sebagai pertanggungjawaban amanah kepemimpinannya kepada rakyat dan Tuhannya. Visi teologis seorang negarawan menjadi penting, karena melaluinya seorang pemimpin bangsa menyadari batas-batas kekuasaannya sebagai manusia. Ini merupakan refleksi dari kemahatakterbatasan Sang Tuhan, sehingga ia tidak mencoba-coba menuhankan dirinya melalui eksperimentasi kekuasaan-tanpa-batas.

Konstatasi itu tidak hendak menempatkan “agama” sekadar sebagai sekumpulan simbol-simbol khusus atau ritual-ritual tertentu, melainkan menaruhnya dalam bingkai sistem nilai dan rujukan moralitas yang membatasi keliaran kehendak bebas manusia. Dengan demikian, agama menjadi sebuah spiritualitas yang melampaui dan mengatasi absurditas kekuasaan manusia. Sebagai spiritualitas, agama terbebas dari kungkungan simbolisme yang sering justru mendorong kekuasaan manusia menjadi absurd.

Realitas keberagamaan di Indonesia merupakan kenyataan yang tak tersangkal. Agama-agama mampu menjadi kekuatan perekat sosial bagi keutuhan bangsa ini sejauh para pelaku mengagama memberi ruang interpretatif yang leluasa bagi terbangunnya proses dialog kemanusiaan.

Sayangnya, sejarah hidup agama-agama di dunia, kental diwarnai oleh konflik dan kekerasan, justru karena terlalu banyak memberi ruang bagi kehebatan “tuhannya” masing-masing di bumi yang satu. Kala “si tuhan” kelompoknya menjadi jagoan, maka para penyembahnya pun harus jadi jagoan. Orang lain atau kelompok (agama) lain hanyalah bandit-bandit yang harus ditumpas pada waktunya.

Padahal, menurut John Hick, “tuhan” yang dikenal dalam agama-agama dunia sebenarnya hanyalah cultural name, sebuah artikulasi kultural mengenai eksistensi dari dimensi kekuasaan yang tak terselami oleh sel-sel kelabu otak manusia. Karena itu, manusia mengenal berbagai sebutan “tuhan”. Sebab, manusia terperangkap dalam pembahasaan eksistensi “Sang Maha” itu.

Bahasa sangat terkungkung dalam suatu konteks kultural yang menjadi sandaran nilai-nilai dan ide-ide manusia. Apakah aku harus menyebut “si tuhan” dengan sebutan “anu” atau “una”, tentu tidak diartikulasikan dalam bahasa “sorgawi”, karena aku pasti tidak memahaminya. Jadi aku harus memahami “si tuhan” ini dalam kerangka budayaku sebagai manusia, demikian Hick dalam bukunya God Has Many Name.

Karena itu, tidak mengherankan jika secara ideologis maupun praksis, agama-agama menciptakan ambiguitas (ketaksaan) kekuasaan, yang berayun antara kekuasaan manusia (yang terbatas) dan kekuasaan ilahi (yang tak terbatas). Hampiran teologis agama-agama (berdasarkan interpretasi kitab suci) lebih kerap mengaburkan hakikat penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah masyarakat atau negara.

Di Indonesia, ketegangan ideologis pernah menjadi sebuah pengalaman sejarah yang penting dalam menentukan arah dan dasar negara ini. Bung Karno mencoba untuk mensintesakan kutub-kutub ideologi itu ke dalam konsep “Pancasila”. Dan Soeharto, presiden Indonesia berikutnya, memasyarakatkan Pancasila dan mem-Pancasila-kan masyarakat hingga ke sumsum kehidupan rakyat Indonesia.

Kalau Bung Karno menempatkan Pancasila sebagai landasan hidup bernegara bersama yang melampaui batas-batas ikatan primordial (etnik, agama, ideologi), Soeharto mereformulasikan konsep Pancasila berdasarkan paham primordialnya sebagai seorang Jawa. Tentu pemikiran dan praksis kedua tokoh itu patut ditempatkan dalam bingkai konteks historisnya masing-masing.

Di samping mereka berdua, di kalangan lapisan masyarakat (dari berbagai agama) tertentu juga berlangsung diskursus sengit mengenai Pancasila dalam kaitan tanggung jawab sebagai warga negara. Diskursus-diskursus itu berlangsung sebagai manifestasi keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini bersama-sama.

Namun rasanya “Pancasila” tidak lagi dianggap sakti. Bagaimana mungkin kita bisa melupakan kebesaran gagasan itu, yang pada suatu masa dianggap sebagai konsep bernegara setara dengan Declaration of Independence-nya Amerika Serikat dan Manifesto Communist-nya Uni Soviet? Apalagi, sebagai bangsa yang sedang didera oleh berbagai masalah dan konflik bertubi-tubi, kita membutuhkan sebuah gagasan filosofis mendalam sebagai sebuah kesepakatan politik bersama warga bangsa.

Gagasan itu mengikat seluruh warga bangsa dengan komitmen hidup bersama dalam kesetaraan politik dan pluralitas sosial. Juga mencegah terjadinya pembelahan sosial yang tak terkendali dan membawa kita keluar dari kesuraman situasi, menuju pada pencerahan rasional-prospektif.

Dengan menempatkan kembali gagasan Pancasila dalam perspektif baru yang lebih populis, kita sedang mencoba keluar dari kegamangan ideologis. Kita memperkokoh ketahanan masyarakat dari kemungkinan dihanyut-larutkan oleh berbagai propaganda politik para aktor politik dan menjadikannya perekat sosial. Momentum menjelang pilpres ini dapat kita pakai sebagai kasus-uji bagi kepekaan para calon pemimpin untuk bereksperimen dalam arena demokrasi.

Seluruh perhatian dan energi kita tidak boleh tersita habis hanya untuk sebuah proyek politik, dan mengabaikan sejumlah persoalan yang terjadi di luar “lingkaran” Jakarta. Indonesia bukan hanya Jawa dan Jakarta. Dan seluruh wilayah “periferi” bukanlah cuma objek penderita pelengkap dalam pertarungan politik. Seorang strong leader bukan tongkat ajaib yang menjamin berlangsungnya perubahan signifikan ke arah demokrasi.

Dengan demikian, “kesatuan” dan “persatuan” lebih dipahami sebagai sebuah proses, bukan loncatan otomatis yang bisa didesak dengan kekerasan. Dengan cara itu, kita tidak terpenjara dalam berbagai pleidoi dan aksi-aksi yang tidak cerdas. Agama lantas direduksi dalam kedangkalan teologis hanya untuk sekadar mengeruk keuntungan dari proyek politik tertentu, dengan mengumbar kredo-kredo tak andal (unreliability).

Mungkin dalam keruwetan semacam itu, kita perlu tenang dan besar hati “membaca” kembali Pancasila untuk menguak gagasan-gagasan besar yang terkandung di dalamnya. Membaca Pancasila dalam arti baru, tidak perlu dibaca keras-keras dalam setiap upacara, namun dengan hermeneutika politik yang kontekstual di mana setiap warga negara merasa hidup di dalamnya dan menghidupi Pancasila itu sendiri.

Pancasila memang bukan “agama” dalam arti tradisional. Tetapi Pancasila tentu sah-sah saja jika diperlakukan sebagai sebuah kredo politik sejauh urgensinya diletakkan secara proporsional. Artinya, konteks kemajemukan Indonesia tentu tidak bisa hanya direduksi pada rujukan sistem nilai primordial budaya atau agama tertentu saja.

Indonesia dihidupi oleh kemajemukannya dan itu berarti dibutuhkan sebuah kesepakatan nilai-nilai berbangsa yang memberi ruang bagi setiap orang tanpa tersekat dalam ikatan primordialnya, untuk berekspresi secara santun dan cerdas. Setiap orang berhak memberi makna dalam gerak “menjadi Indonesia”. Dengan demikian, Indonesia sebenarnya selalu dalam proses menjadi, dan belum usai.





Ambon Pecah Lagi

7 12 2007

KONFLIK terbuka dan aksi kekerasan massa kembali terjadi di Ambon dan meminta korban jiwa. Pantauan terhadap runutan peristiwa pada tanggal 25 April 2004 dan hari-hari sesudahnya memberikan indikasi yang kuat bahwa konflik ini bukanlah konflik spontan antarwarga masyarakat Ambon. Peristiwa ini dipicu oleh berbagai rumor yang beredar bahwa pada tanggal 25 April 2004 akan terjadi pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) oleh kelompok tertentu yang menamakan diri Front Kedaulatan Maluku (FKM).

Tulisan ini tidak berpretensi mengajukan uraian analitis terhadap bergolaknya Ambon setelah mulai sejuk selama beberapa waktu. Apa yang tertuang di sini hanyalah suatu kegelisahan ontologis terhadap fenomena konflik dan kekerasan yang tampaknya semakin mengakar dalam struktur kesadaran kolektif masyarakat Ambon. Benarkah struktur kesadaran kolektif masyarakat telah terbentuk dalam pola-pola impulsif yang selalu merespons setiap riak sosial dengan reaksi kekerasan secara spontan?

Atau telah berlangsung penciptaan konteks sosial yang sedemikian kuatnya mempengaruhi berbagai relasi sosial masyarakat Ambon sehingga mereka tidak mampu melakukan resistensi atau distansi kritis terhadap setiap garapan isu-isu yang mengarah pada tindakan destruktif?

Rasanya terlalu dini untuk berasumsi bahwa ada semacam grand-narrative tertentu yang sedang disiapkan pasca-Malino II dan kemungkinan memainkan kondisi keamanan yang masih labil di Ambon untuk kepentingan politik tertentu selama pengondisian psikologis masyarakat menjelang pemilu presiden. Kendati kemungkinan tetap tidak terhindarkan mengingat daya eksplosif konflik yang begitu massif hanya dalam hitungan jam.

Selain itu, kita tidak dapat menafikan kenyataan bahwa kondisi psikologis sosial masyarakat Ambon yang belum pulih dari trauma konflik selama kurang lebih tiga tahun turut memainkan peran vital. Paling tidak, kondisi psikologis inilah yang terus dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk tetap menjaga agar intensitas konflik tetap tinggi. Euforia “Ambon Aman” tentu bukanlah slogan yang menyenangkan bagi mereka yang masih ingin terus bermain api dan mengeruk keuntungan dari situasi rusuh di Ambon.

Lagi-lagi RMS

Tanggal 25 April memang merupakan momentum yang paling kritis, khususnya sejak konflik Ambon pecah tahun 1999. Selama konflik Ambon, tanggal 25 April ini selalu menjadi momok di kalangan masyarakat sipil di Ambon dan Maluku. Alasannya sederhana, pengibaran bendera RMS (entah oleh siapa) di beberapa wilayah permukiman penduduk menjadi legitimasi politis bahwa memang sebagian masyarakat sipil (yang disegmentasi sebagai warga Kristen) secara nyata telah diidentifikasi sebagai kelompok separatis dalam format Negara RI. Tentu stigmatisasi “RMS” versus “kelompok pro-NKRI” (hanya dengan indikator simbolik berupa bendera) yang didiseminasi oleh beberapa media massa yang meliput konflik Ambon masih merupakan simpulan yang tergesa-gesa dan harus ditelisik secara bijak dan kritis. Dan lagi, hipotesis ini perlu diuji berdasarkan kelengkapan analisis sosial politik yang andal, bukan hanya sekadar terjebak dalam perangkap-perangkap simbolik. Dalam konteks Ambon kontemporer, “wacana RMS” menjadi peluru tajam yang siap ditembakkan dalam kondisi sosial-politik-budaya masyarakat Ambon yang masih gamang.

Benarkah “RMS”, dalam bingkai gerakan pemberontakan separatis memang ada di Ambon? Pertanyaan ini memang sangat terbuka untuk diinterpretasi dari berbagai segi. Namun setidaknya fenomena munculnya isu dan simbol-simbol RMS yang diusung oleh FKM harus disikapi sebagai sebuah “wacana”, bukan sebagai sebuah entitas politik riil. Sebagai “wacana”, dia dapat dimunculkan oleh siapa saja dan untuk kepentingan apa saja selagi tersedia konteks sosial yang memadai sebagai lahan subur berkembangnya wacana tersebut.

Ini berbeda dengan penyikapan terhadap “entitas politik”. Entitas politik memang bisa memainkan wacana tertentu, tetapi dalam format kerangka ideologi, struktur organisasi yang jelas terumuskan dalam platform organisasi, dan sistematisasi program untuk mencapai sebuah tujuan dengan dukungan perangkat human resources yang kapabel. Dalam hal ini, tentu terbuka ruang luas bagi suatu entitas politik untuk turut memainkan sebuah wacana yang dianggap strategis dan menguntungkan bagi tercapainya tujuan.

Kalau begitu, apakah FKM bisa disebut sebagai suatu entitas politik? Untuk menjawabnya dibutuhkan sebuah pencermatan sejarah yang konsisten dan mendalam, tidak bisa hanya melalui perampatan (generalisasi) yang dangkal. Artinya, kita sebaiknya menempatkan konsep “RMS” secara substantif pada dinamika historis dan konteks sosial yang relevan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman (misunderstanding) atasnya.

Prof. Richard Chauvel menyebutkan dalam bukunya Nationalist, Soldiers and Separatists: The Ambonese Islands From Colonialism to Revolt 1880-1950, bahwa lahirnya konsep RMS harus dilihat dalam bingkai dinamika politik lokal saat itu. Dorongan untuk memisahkan diri dari Republik (Indonesia) sebenarnya lebih didasarkan pada perasaan ketergantungan pada Kerajaan Belanda ketimbang keinginan untuk merdeka atau otonom.

Para pemimpin dan pendukung GSS (Gaboengan Sembilan Serangkai) yang terdiri dari para raja (pemimpin negeri), tentara dan pejabat, merupakan kelompok yang menikmati keuntungan dalam sistem kolonial di Ambon. Mereka khawatir bahwa di bawah pemerintahan Indonesia yang didominasi oleh orang Jawa, mereka akan kehilangan posisi dan status di dalam masyarakat lokal, sebagaimana terjadi di beberapa wilayah kepulauan ini (hlm 233). Keinginan tersebut justru tidak mendapat sambutan positif oleh W Hoven, komisaris pemerintah untuk Borneo dan Indonesia Timur. Hoven menilai tindakan itu terlalu prematur dan tidak akan didukung oleh pemerintah (Belanda), yang malah menilai keberadaan Ambon dalam Negara Indonesia Timur (NIT) adalah dalam rangka terciptanya keseimbangan politik (hlm 234).

FKM Beda dengan RMS

Apa yang bisa ditarik dari uraian ringkas Chauvel tersebut? Menurut saya, ada beberapa hal. Pertama, pergulatan dan dinamika politik lokal sangat ditentukan oleh faktor kepemimpinan elite lokal dan unsur-unsur pendukungnya. Dalam konteks itu, vested interest para pemimpin lokal mengalami transformasi sebagai keinginan masyarakat. Ini wajar karena struktur sosial masyarakat Ambon sebenarnya telah bergeser dari konsep tradisional ke konsep “modern” seperti yang diintroduksi oleh pemerintah kolonial Belanda. Pergeseran tersebut berimplikasi pada terbangunnnya struktur kesadaran dan pola-pola kultural masyarakat Ambon yang lebih hirarkis. Dalam struktur sosial sedemikian, rakyat sama sekali tidak berperan apa-apa.

Kedua, persoalan mendasar yang tidak terselesaikan dalam konstruk ideologi dan tatanan masyarakat bernama Indonesia sebagai sebuah realitas baru, ialah tidak digarapnya wacana pluralitas etnik yang menjadi cornerstone bagi bangunan keindonesiaan per 17 Agustus 1945. Sentimen primordial etnik ini selama masa kolonial telah menggumpal menjadi bongkah-bongkah identitas yang tidak gampang untuk ditransformasi dalam konsep Indonesia. Namun di sebelah lain, dalam konteks pluralitas sosial itu tidak terhindarkan pula dominasi kultural oleh kelompok mayoritas secara etnis.

Oleh karena itu, sebenarnya “Indonesia” harus dilihat sebagai sesuatu yang belum usai, atau masih terus dalam proses menjadi. Sebagai yang demikian, konsep “kesatuan” mesti dipahami dalam dinamika realitas berbangsa dan bernegara yang cair karena kemajemukannya, tidak bisa dipaksakan secara kaku dan tidak kontekstual.

Dari sudut pandang historis, FKM memiliki latar belakang dan maksud yang berbeda sama sekali dari konsep RMS 1950. Oleh karena itu, dia harus disikapi sebagai “wacana”. Kalaupun mau dilihat sebagai suatu entitas politik, dia masih sangat prematur. FKM muncul dalam situasi konflik yang dirasakan membawa implikasi bagi terjadinya ketidakadilan oleh negara (Indonesia) dalam masyarakat (Ambon). Sebagai suatu embrio yang prematur, FKM harus disikapi dengan tindakan tegas dan sistematik oleh perangkat-perangkat negara yang berkompeten agar tidak membesar dan malah memperkeruh konflik.

Itu seharusnya dilakukan jika memang negara bermaksud “baik” untuk menghentikan konflik Ambon. Yang terjadi malah sebuah paradoks. Pada satu sisi, negara mengklaim bahwa FKM adalah sebuah tindakan makar karena mengusung dan merekonstruksi kembali simbol-simbol politik yang pernah digunakan oleh gerakan RMS tahun 1950, namun di sisi lain, negara “membiarkan” FKM makin membesar.

Sebagai Bentuk Protes

Apakah memang FKM telah bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan pemberontakan seperti yang terjadi tahun 1950? Tentu tidak, karena dia hanya menjadi besar berdasarkan wacana yang digarapnya dalam suatu ranah kontekstual negara RI. Jadi yang diperlukan di sini adalah sebuah dekonstruksi wacana (RMS). Jika hal ini tidak dilakukan, pada titik inilah konflik Ambon tidak akan pernah mencapai titik pemulihan yang maksimal secara komprehensif, karena pewacanaan RMS ini tidak ditangani serius oleh negara (sebagai indikator empirik, kenapa Alex Manuputty bisa lolos sampai ke Amerika Serikat?).

FKM adalah embrio gerakan protes sosial yang berpotensi menjadi entitas politik. Namun dia masih sangat prematur sehingga negara sebenarnya sangat mampu membendung gerakannya. Kenyataannya itu tidak terjadi. Jadi, pertanyaan hipotetik yang terbersit ialah apakah memang negara tidak merasakan eksistensi FKM sebagai sebuah ancaman terhadap bangunan sosial politik RI (bandingkan dengan GAM di mana TNI/Polri all out)?

Padahal kesepakatan Malino II telah secara jelas memposisikan pemerintah atau negara sebagai pihak yang turut bertanggung jawab bagi proses penyelesaian konflik, ekses-ekses yang ditimbulkannya dan rancang-bangun perdamaian tiga pihak (Muslim-Kristen-Pemerintah). Itu berarti pewacanaan isu-isu yang dianggap dapat kembali mengobarkan konflik kekerasan (yang bermuara pada jatuhnya korban sipil) harus diisolasi secara ketat dengan tindakan konkrit sebagai implementasi kesepakatan tersebut.

Dengan demikian, dalam perspektif tertentu, yang menjadi kunci persoalan pecahnya konflik 25 April 2004 adalah tetap mengambangnya wacana RMS dalam konstruk politik nasional Indonesia. Dan sekali lagi, sebagai wacana, dia dapat dimanfaatkan oleh siapa saja dan untuk kepentingan apa saja selagi wacana itu dirasakan strategis untuk mengkondisikan tercapainya tujuan-tujuan (politik) tertentu.

Dalam sebuah negara yang berdaulat seperti Indonesia, siapakah atau lembaga apakah yang lebih berkompeten untuk mengeliminasi kemungkinan terbentuknya wacana seperti ini, selain lembaga-lembaga negara atau negara itu sendiri?

Oleh karena itu, sangat naif bila seluruh kesalahan hanya ditimpakan kepada “massa” pendukung A atau B. Masyarakat sipil tentu bukanlah orang bodoh yang dapat dijadikan pion terus-menerus jika ternyata mereka hanya menjadi korban dari pertikaian yang mereka sendiri tidak pahami.

Tetapi jika kekuatan massa yang tergumpal mengarah pada berbagai aksi destruktif, tentu harus dipahami dalam konteks yang lebih besar bahwa ada kekuatan determinan yang tak mampu dilawan. Kalau begitu, sebenarnya siapakah yang berkepentingan untuk menjaga agar wacana ini tetap terjaga sebagai “bom” yang siap diledakkan pada saat yang tepat dan dengan efek yang menghancurkan?





Lembaga Pelayanan Kristen dalam Sorotan Profetik Yeremia

7 12 2007
Pengantar*

Ada dua kesulitan dalam menyajikan refleksi teologi mengenai perjalanan Lembaga Pelayanan Kristen (LPK) dan kemungkinan membangun jejaring dalam konteks Jabodetabek:

(1) Kompleksitas Konteks Jabodetabek: Sebagai kota metropolitan Jakarta merangkai dalam dirinya keruwetan antarhubungan sosial yang berkelindan membentuk simpul-simpul masyarakat urban yang antagonistik.[1] Butuh kecermatan dalam mencerap dinamika konteks dan kefasihan menelisik makna-maknanya secara utuh. Kemampuan itu terbentuk dari keterlibatan dan pengalaman-pengalaman riel (individu atau kolektif). “Pengalaman” yang dimaksud tak hanya dalam arti “praktis”, tetapi juga “teoretis”, sebagai bentukan proses abstraksi pengalaman praktis dalam ranah kognisi yang membantu penyusunan skenario prospektif di lingkup kerja masing-masing. Asumsi bahwa yang “praktis” lebih penting dari yang “teoretis”, tidak tepat. Itu akan menggiring pada keluncaspahaman (misunderstanding) mengenai visi dasar yang disepakati dan kedangkalan tindak pelayanan. Tidak menukik ke kedalaman esensi seluruh sistematisasi tindak pelayanan. Di sisi lain, pengandalan analisis teoretis tanpa [mampu] menerjemahkan konsep ke dalam program empiris, hanyalah masturbasi intelektual yang mengawang tetapi tidak menggawang ke tujuan objektif pelayanan. Keduanya sama penting. Aksentuasi berlebihan pada salah satunya malah menciptakan penyekatan antara “intelektualis/akademis” dan “praktisi” yang terkurung di tempurungnya sendiri.

(2) Sebuah refleksi teologi sebagai pendasaran gagasan ideal dan tindakan praktis, serta pertautan keduanya yang mengacu pada implementasi nilai-nilai kehidupan yang berterima dalam kerangka jejaring itu: Seluruh tindak pelayanan kita membutuhkan sandaran ideal yang sahih agar tidak terjebak pada kesempitan matra “kerja” saja, namun menyata sebagai “tindak komunikasi”. Perspektif ideal sedemikian tidak dibangun dalam kehampaan. Sebagai orang Kristen, perspektif itu bisa dibangun – pertama-tama – melalui penguatan konstruksi refleksi teologi sebagai basis matra transendental. Transendental bukan berarti terhempas keluar dari realitas keduniaan, melainkan justru proses abstraksi keduniaan ke dalam spektrum iman kepada Sang Tuhan. Proses sedemikian [harus] berlangsung dalam kejujuran dan keterbukaan terhadap teks Alkitab.

Pembacaan Teks Alkitab dan Rekonstruksi Teologi

Pembacaan teks Alkitab sebaiknya diikuti oleh kesadaran kontekstual bahwa ia adalah bentukan semiotik realitas historis, kultural dan sosiologis yang mengandung ideologi tertentu. karenanya pembacaan teks alkitab tidak bisa secara kasat mata. Diperlukan perspektif sosiohistoris dan analisis wacana yang mendekonstruksi teks/wacana itu, sekaligus telusuran pandangan-dunia (worldview) yang melatarinya. Penghadapan “teks” dan “dunia kini” menuntut kepekaan hermeneutis sehingga produk interpretasi teks mendorong pada terbukanya horison nalar dan iman yang melahirkan karakter kekristenan yang berterima, daripada mendesak teks mentah ke dalam konteks yang tak padan.

Jadi, teks tak sekadar ditranslasi, namun – lebih dalam – tertransformasi secara kreatif.[2] Tanpa jalan (methodos) spiritualitas demikian, kekristenan akan terperangkap pada kedangkalan pemaknaan tekstual yang tak bertaut dengan konteks faktual. Ini hanya melahirkan calo-calo ayat-ayat alkitab yang menjajakan ekstasi sorgawi dan keselamatan jiwa, tanpa berakar dalam pergulatan historis dan kontekstual untuk memahami transendensi tekstual yang terdekonstruksi tadi.[3]

Lantas, “teologi” itu apa? Teologi sudah ada dalam pergaulan manusia sebagai suatu fenomena. Fenomena merupakan suatu kenyataan di dalam pergaulan manusiawi. Di sana kita harus mencari apa yang tetap, umum dan esensial dalam fenomena itu. Tetapi, karena kenyataan itu suatu kenyataan manusiawi maka perlu juga kita dapat “ikut-melaksanakannya” (keterlibatan kritis). Kita membaca gejala itu sebagai data, tetapi selalu dengan latar belakang ikut-melaksanakan. Di sana kita mencoba merealisasikan diri, mengekspresikan diri, ke arah fenomena itu.[4]

Sesungguhnya, kita berteologi sejak kita mulai berpikir tentang iman, meskipun dalam bentuk spontan, kebetulan, tidak secara sistematis dan ilmiah. Teologi ialah percobaan supaya kita – sebagai manusia yang berpikir – mengintegrasikan iman ke dalam kehidupan kita sebagai subjek yang berkepribadian, yang berpikir dan bebas. Dalam iman dan teologi selalu ada dua matra yang konstitutif: (a) matra eksistensial peristiwa yang menjelma dalam fakta-fakta sejarah; (b) matra pemahaman arti, menurut aspek esensi dan struktur-struktur.

Dengan demikian, apa yang disebut sebagai refleksi teologi selalu berada dalam dialektika antara teks (alkitab) – sebagai yang secara imaniah dipercaya menjadi media sosiokultural untuk menyingkapkan serba-sedikit misteri ilahi dalam sejarah kemanusiaan – dan konteks sosiologis faktual yang menjadi ranah pergulatan manusia memaknai kehidupannya di sini dan kini. Refleksi teologi selalu kontekstual, berubah mengikuti jejak gumul zaman, tidak pernah tunggal atau baku.

Merambah Spirit Profetis Yeremia

1. Siapakah nabi itu?

Max Weber mendefinisikan “nabi” sebagai individu dengan suatu kharisma yang melalui kebajikan misinya memproklamasikan ajaran suatu agama atau perintah ilahi.[5] Nabi berbeda dengan fungsionari-fungsionaris institusi keagamaan. Kenabian Israel adalah kenabian etis. Para nabi etis Israel tidak pernah menawarkan jalan keselamatan, tetapi lebih mengarahkan pendengarnya semata-mata kepada perintah ilahi. Para nabi ini tampil ke permukaan sosial ketika terjadi konflik mengenai apa makna dunia sebagaimana dinyatakan dalam agama Israel dan ancaman empiris terhadap eksistensinya (Asyur dan Babil). Tanpa konflik ini para nabi tidak pernah akan muncul.

2. Pergumulan Profetis Yeremia

Nabi ini berkarya dalam kerangka konteks kebuntuan gerakan Reformasi Deuteronomi Yosia dan pergeseran kekuasaan di Timur Dekat kuno dari Asyur ke Babil.[6] Upaya Yosia untuk mereformasi kultus religius dan kebobrokan sosiopolitik di Yehuda, serta penegakan kekuasaan Neo-Daud untuk mengisi kevakuman kekuasaan yang ditinggalkan Asyur, terdegradasi sehingga menihilkan mimpi-mimpi (penguasa) Yehuda.

Inti pesan Yeremia: tatanan sosiopolitik internal Yehuda yang sudah sangat korup akan segera dimusnahkan oleh Babil. Kecuali jika para pemimpinnya bertobat dan memberlakukan keadilan sosial yang telah sekian lama diabaikan. Dalam pandangannya, tradisi perjanjian dan kultus Yerusalem tidak (bisa) lagi memberikan dasar bagi berlangsungnya keamanan dalam ketiadaan keadilan sosial.[7] Upaya menggantungkan nasib pada kekuatan Mesir untuk menyelamatkan diri dari ancaman Babil hanyalah sebentuk eskapisme utopis.

Yeremia menyerukan agar Yehuda merekonstruksi bangunan religiositas dan ideologi politiknya secara fundamental, dengan bersandar pada hukum perjanjian yang didasarkan atas perubahan hakiki nilai-nilai dan kesetiaan. Di tengah kebuntuan spirit reformasi, dia menyatakan komitmennya dengan menyerukan implementasi agresif reformasi sosial pemerintahan Yehuda di bawah Yosia. Namun, reformasi tersebut hanya terjadi dalam bingkai penerimaan formal terhadap realitas kekuasaan Babil.

Ketika pemberontakan Yoyakim dan Zedekia dipatahkan oleh Babil – seperti pada pemberontakan I – Yeremia melihat tidak ada lagi “ruang bernafas” bagi reformasi internal. Dia mendesak Zedekia agar menyerahkan diri. Sebab, tanpa raja atau kultus kuil suci, kehidupan rakyat Yehuda akan tetap berlanjut. Akseptabilitas Yeremia kepada Babil ditunjukkan dengan keputusannya untuk tetap tinggal di Yehuda dan berpartisipasi dalam rekonstruksi rezim Babil yang dipasak di Mizpah melalui Gedalia, gubernur boneka yang ditunjuk oleh penguasa (tetapi mendukung gerakan politik sang nabi, 40:1-6).

Dalam suratnya kepada mereka di pembuangan (597 sM), Yeremia menasihati untuk tinggal dan menjalani kehidupan secara normal di Babil sebagai antisipasi masa pembuangan yang masih lama (29:1-14). Malah dia berbicara tentang 70 tahun penguasaan Babil atas bangsanya sebelum para kaum terbuang itu dapat berharap untuk bebas.[8]

Persoalan di antara elite politik dan agama pun tak kalah pelik. Kalangan elite politik dan elite agama terbelah menjadi dua kubu yang beroposisi. Pertentangan internal mengerucut sekitar program politik yang antagonistik pada periode 609-586. Satu pihak, para raja dan mayoritas birokrat, imam-imam dan nabi-nabi membentuk partai berideologi otonom. Mereka melihat bahwa pembebasan dari cengkeraman Babil dapat terwujud dengan dukungan (militer) Mesir. Nabi Hananya, yang tak sepaham dengan Yeremia tentang lamanya masa pembuangan (pasal 28) adalah contoh salah satu eksponennya.[9]

Di lain pihak, kelompok lebih kecil yang terdiri dari pegawai istana (termasuk keluarga Shaphan yang aktif dalam Reformasi Deuteronomi), Yeremia (kemungkinan juga nabi-nabi lain seperti Uria dari Kiriath-jearim [26:20-23], Habakuk [?]), serta beberapa imam, membentuk partai koeksistensi. Mereka lebih setuju menerima infiltrasi Babil daripada mendukung gerakan revolusi antiBabil. Karena, sekali revolusi pecah dan gagal, terbentuk stigma “pemberontak” vis a vis kekuatan Babil. Ini bukan langkah yang strategis dan taktis.[10] Ada perbedaan penilaian dan kebijakan dari kedua partai itu sebagai berikut:

Partai Berhaluan Otonomi dan AntiBabil:

  1. “daya-tahan nasional” (national survival) akan terwujud dengan kemerdekaan penuh Yehuda di bawah kepemimpinan yang sekarang.
  2. melihat kelas penguasa sebagai perwakilan resmi yang mewakili kepentingan rakyat. Menjatuhkan mereka berarti menghancurkan rakyat.
  3. melihat benturan utama atau kontradiksi dalam situasi tersebut sebagai konflik antarnegara Yehuda dan Babil.
  4. kehendak Yahweh yang terungkap melalui nabinya (Hananya dll) adalah mempertahankan Yehuda di bawah rezim yang sekarang dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya.

Partai Berhaluan Koeksistensi dan Pro-Babil:

  1. “daya-tahan nasional” terwujud hanya dengan pemulihan kondisi sosio-ekonomik dan religio-kultural rakyat Yehuda.
  2. sebaliknya, melihat kebijakan internal di bidang sosio-ekonomi yang diterapkan kelas penguasa sebagai sumber malapetaka bagi kepentingan rakyat.
  3. melihat setiap upaya penguatan kelas penguasa melawan Babil sebagai promosi ketidakadilan sosial yang tak perlu dipertahankan karena akan membahayakan rakyat. Kerja sama dengan Babil akan membuka peluang bagi pembaruan reformasi yang terwarisi dari Yosia.
  4. benturan utama atau kontradiksi sebagai konflik antarkelas kepentingan oposisional antara kelas penguasa dan mayoritas rakyat Yehuda.
  5. kehendak Yahweh yang terungkap melalui nabinya (Yeremia dll) adalah mempertahankan hidup rakyat Yehuda dengan merombak pola dan struktur kepemimpinan (dan kebijakannya) yang sekarang melalui tindak politik dan pembersihan oleh militer Babil.

Memaknai Pergumulan LPK dalam Sorotan Yeremia

1. Partisipasi dan penguatan civil society

Reformasi Deuteronomi Yosia diinspirasi oleh teks-teks keagamaan yang direvisi dan direinterpretasi para penulis kerajaan (scribes class) sesuai dengan tujuan reformasi. Teks-teks ini pula yang menginspirasi kritik profetik Yeremia. Malah, dengan perspektif baru, bahwa reformasi total dapat terjadi dengan intervensi Babil. Oleh para penentangnya, sikap Yeremia ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kedaulatan Yehuda alias tidak nasionalis. Toh, bagi Yeremia, apa arti konseptualisasi nasionalisme ketika – dalam praktik – penindasan terbesar terhadap rakyat Yehuda justru dilakukan oleh para pemimpinnya sendiri. Di sini terjadi transposisi secara interpretatif dari teks ke tindakan konkret.

Kritik profetis Yeremia didasarkan pada keterlibatan bersama rakyat. Ini ditunjukkan dengan keputusan untuk tetap tinggal di Yehuda bersama rakyat dan mendampingi mereka agar memahami peristiwa ambruknya Yehuda sebagai suatu proses reformasi total. Dalam menjalankan misi kenabiannya, Yeremia tidak bekerja sendiri. Dia melakukan sosialisasi secara intens untuk menjaring banyak kawan (dengan visi yang sama) ke dalam lingkaran kelompoknya. Kritik dan sikap oposisinya bergaung lebih keras dan efektif justru karena ia berada dalam jejaring kelompoknya.

2. Kritik Ideologi Kekuasaan (Politik dan Agama)

Yeremia menggiring kesadaran para pemimpin (politik dan agama) bahwa seharusnya yang menjadi tolok-ukur implementasi kekuasaan adalah “kemanusiaan”. Jika prasyarat ini tidak dipenuhi sehingga rakyat harus menjadi tumbal kekuasaan, maka Tuhan akan tampil sebagai pembela rakyat. Tuhan bekerja dengan cara-Nya, bukan cara manusia. Cara Tuhan penuh dengan ketakterdugaan karena Ia tidak bisa dipasung oleh klaim-klaim teologis atau doktrin yang dikredokan institusi agama (Israel). Apalagi jika kredo keagamaan ternyata digunakan sebagai legitimasi kekerasan dan pleidoi teologis atasnya. Tuhan bebas bergerak dalam matra universalitasnya menerobos ke dalam setiap sumsum kehidupan manusia dan kesemestaan alam. Tugas manusia adalah mencermati setiap fenomena kenyataan manusiawi dan menemukan makna tindakan Tuhan tersebut dengan perspektif kemanusiaannya (sosial, budaya, politik, ekonomi, dll). Capaian langkah tersebut ialah makin berkualitasnya nilai dan hidup manusia. Ketika hal ini tidak terpenuhi maka refleksi teologi [mesti] menjadi kritik ideologi terhadap tendensi kekuasaan yang menggilas esensi kemanusiaan.

Pada momentum ini “refleksi [ber]teologi” sebagai aktivitas iman setiap orang makin kaya dengan makna apabila aktivitas tersebut saling ditautkan dalam jaring-jaring relasi dan pengalaman bersama. Sehingga berteologi tidak lagi menjadi tindakan individu tetapi kolektif (dengan bobot kualitas yang beragam). Kalau demikian, teologi yang kita wacanakan adalah teologi sosial.[11] Pemahaman berteologi sebagai aktivitas iman bersama (teologi sosial) menjadi signifikan saat berhadapan dengan kompleksitas situasi problematik pelayanan di Jabodetabek.

3. Pluralitas sosial sebagai arena pelayanan progresif

Kalau begitu, dalam gerak transposisi dari teks ke tindakan, bagaimana memahami anjuran “usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang”? Menurut saya, anjuran ini bukan eksplisitasi sikap fatalistis karena ketidakberdayaan atau hipokrisi. Tetapi merupakan teguran keras kepada para elite politik dan elite agama Yehuda yang dibuang agar bersikap realistis terhadap kenyataan hidup di pengasingan dan tidak terbuai mimpi-mimpi tentang pembebasan dalam waktu dekat atau harapan semu untuk berkuasa lagi.[12] Dengan bersikap realistis dan mau mengenal konteks hidup yang baru bersama dengan kelompok masyarakat lain, mereka dapat mengatasi perasaan teralienasi itu. Daripada bermimpi, situasi tersebut lebih baik dipahami sebagai waktu (kairos) dan ranah (oikos) untuk menemukan makna kehendak Tuhan dalam carut-marut kenyataan sosiopolitik dan sejarah nasional mereka. Untuk menuju ke arah sana, bukan usaha spontan, tetapi membutuhkan tindakan strategis dan kepaduan relasi berjaringan. Dalam perspektif itu, ancaman bisa dikelola menjadi peluang membangun diri dan masyarakat yang berkarakter majemuk. Kita tidak bisa menafikan pluralitas sosial (dalam konteks perkotaan). Konteks pluralitas sosial ini harus mendeterminasi gagasan dasar dan pola pelayanan kita, serta menjadi arena berlangsungnya implementasi pelayanan yang lebi progresif. Itu bisa terlaksana jika kinerja kita berada dalam gerak bersama, tidak sendiri-sendiri.

Kita memang tidak berada di “pembuangan” (exile), tetapi locus Jakarta merupakan melting pot yang kaya dengan perbedaan dan kesenjangan sosial. Tanpa pemahaman konteks yang utuh, bisa-bisa kita teralienasi secara sosial dari pergulatan kerakyatan lokal. Apalagi berhadapan – langsung maupun tak langsung – dengan kekuasaan yang menghimpit ruang gerak kita untuk berproses bersama dalam tindakan pembebasan rakyat dari berbagai proses dehumanisasi (situasional maupun sistematis). Ketika rakyat dibenamkan dalam kebudayaan bisu dan kepatuhan semu. Dalam keadaan itu – bisa jadi – tanpa strategi dan ekstensifikasi lingkup jejaring, kita pun tak berdaya atau dilumpuhkan, lalu akhirnya lebih memilih asyik-masyuk dengan kesibukan diri sendiri. Agar terhindar dari perangkap itu, kita butuh banyak kawan dalam satu jaringan komitmen (lintas-agama) dan visi kristiani yang sepadan (antar-LPK), yang paham dengan realitas konteks kota besar.[13] Tanpa itu, horison spektrum masalah yang kita tangani hanya terpahami secara parsial. Pemahaman yang fragmentaristik dan tak utuh akan menggiring kita pada pola tindakan praktis yang distorsif (tidak tepat sasaran atau tidak sesuai yang dibutuhkan).

Akhirulkalam

Dinamika reformasi sosial Indonesia hingga kini ternyata tidak beranjak dari kubangan lama. Malah menampakkan versi lain kekuasaan kuasi-despotik, yang tak kalah bahayanya dengan karakter kekuasaan sebelumnya. Kita perlu menyiapkan masyarakat dampingan menjadi corpus christianum, bukan dalam spirit kristenisasi, tetapi penebaran benih-benih Injil dalam bentuk yang manusiawi (non-violence), yang mengarah pada penguatan civil society tanpa terkooptasi kekuasaan dalam bentuk apapun (termasuk agama). Orientasi utamanya ialah terjadinya pencerahan yang mendorong proses pembebasan: dari kemiskinan, dari pembodohan, dari kekerasan, dari ancaman penyakit, dari penipuan, dll. Bagi saya, tidak ada yang lebih injili daripada upaya pencerahan dan pembebasan manusia dari tindak dehumanisasi multirupa. Ini berimplikasi pada penemuan kembali harkat-martabat kemanusiaan yang telah tergusur ke wilayah periferi wacana publik. Saya tidak tahu apakah anda [masih] percaya pada hakikat manusia sebagai citra kemuliaan Allah (imago Dei). Tetapi premis teologis tersebut perlu pembuktian empirik dalam karya kemanusiaan kita melalui jejaring LPK. Begitulah!



* Disampaikan dalam Forum Konsultasi Jaringan Kerja Regional Lembaga Pelayanan Kristen (LPK) Wilayah Jabotabek tanggal 25-27 Maret 2003 di Ciawi Bogor, Jawa Barat.

[1] Lih. J.E. Goldthorpe, Sosiologi Dunia Ketiga: Kesenjangan dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 238-257. Juga James Goldsmith, Perangkap (Jakarta: Yayasan Obor, 1995), hlm. 4. Menurutnya, salah satu kekeliruan budaya modern adalah bahwa kita diajari untuk percaya setiap problem dapat diukur dalam istilah perekonomian.

[2] Aminudin, “Pendekatan Linguistik Kritis: Roger Fowler” dalam Kris Budiman (peny.), Analisis Wacana: Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi (Yogyakarta: PSK UGM & Kanal, 2002), hlm. 37. teks merujuk pada wujud konkret penggunaan bahasa berupa untaian kalimat yang mengemban proposisi-proposisi tertentu sebagai suatu keutuhan. Wacana merujuk pada kompleksitas aspek yang terbentuk oleh interaksi antara aspek kebahasaan, sebagaimana terwujud dalam teks, dengan aspek luar bahasa. Interaksi tersebut berfungsi menentukan karakteristik bentuk komunikasi ataupun penggunaan bahasanya, dan menentukan makna suatu teks. Unsur luar bahasa antara lain merujuk pada pemeran/partisipan, tujuan dan konteks.

[3] Dekonstruksi bukan berarti pembongkaran/perusakan, tapi hanya membuka jalan dalam aktivitas berpikir dan penandaan dalam proses penjejakan jaringan makna guna membentuk pemahaman. Lih. Aminudin, “Pendekatan Pasca-struktural: Jacques Derrida” dalam Kris Budiman, ibid., hlm. 170. Juga Gayatri C. Spivak, Membaca Pemikiran Jacques Derrida: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003).

[4] S. Hardiyanto, Pengantar Ke Teologi Lambaran: Objek ~ Persoalan Dasar ~ Metode (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 1998), hlm. 10.

[5] A.D.H. Mayes, The Old Testament in Sociological Perspective (London: Marshal Pickering, 1989), hlm. 44-45.

[6] Disebut Reformasi Deuteronomi karena dalam upaya Yosia dan para skribanya (penulis) merevisi dan mengedit kembali naskah-naskah keagamaan tradisional, mereka banyak terinspirasi oleh gagasan-gagasan dan gaya kitab Deuteronomi (Ulangan). Lih. Robert Coote & Marry Coote, Power, Politics and The Making of Bible: An Introduction (Augsburg: Fortress Press, 1990), hlm. 59-66.

[7] Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction (Augsburg: Fortress Press, 1985), hlm. 396.

[8] Gottwald, ibid., hlm. 400.

[9] Mengacu pada penghancuran kerajaan Yehuda, Yeremia mengindikasikan bahwa nabi-nabi yang ikut dalam gelombang pertama pembuangan telah mengagitasi sebagian orang untuk cepat kembali ke Yehuda. Yeremia mengingatkan dua di antara mereka bahwa mereka berada dalam bahaya eksekusi oleh Babil atas aktivitas subversif yang dilakukan (Yer. 29:20-23). Lih. Norman K. Gottwald, The Politics of Ancient Israel (Louisville: Westminster John Knox Press, 2001), hlm. 99.

[10] Seorang pemimpin yang ikut dalam pembuangan, Semaya ben Nehelam (imam atau nabi [?]), menulis kepada imam Yerusalem dan menginstruksikan dia untuk mengekang aktivitas pro-Babil Yeremia, yang menganggap Nebukadnezar sebagai “hamba Yahweh”, yang secara ilahi ditunjuk untuk menghukum Yehuda atas kesalahan kultis dan sosial (Yer. 29:24-32; bnd. 27:1-7). Lih. Gottwald, ibid.

[11] Teologi sosial dimaksud mencakup arti sebagai teologi kontekstual. Seluruh teologi dijalankan dan dikembangkan dalam cakrawala kontekstual-kemasyarakatan. Juga dalam arti sebagai teologi khusus tentang keterlibatan umat dalam masalah-masalah masyarakat (mis. Kemiskinan dan ketidakadilan). Lih. J.B. Banawiratma, SJ & J. Muller, SJ, Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Kanisius 1993), hlm. 25-26.

[12] Asyur: semua penduduk dan pemimpin Israel Utara dibuang ke wilayah-wilayah sekitar. Akibatnya, penduduk Utara tidak lagi “asli” karena sudah kawin campur dengan bangsa-bangsa di mana mereka dibuang; Babil: hanya para pemimpin yang diasingkan, rakyat sipil tetap di tanahnya. Mereka mempertahankan tradisi endogami (kawin-dalam) untuk menjaga kemurnian etnis. Ini yang menyebabkan orang Selatan (Yehuda) menganggap orang Utara (Samaria) bukan lagi sebagai bangsa pilihan karena sudah tercemar (bnd. Perumpamaan orang Samaria yang baik hati).

[13] Di sini kita sedang “berpolitik” dalam arti tindakan kerja sama dengan orang lain untuk tujuan bersama. Menurut Thompson, untuk itu kita perlu etika politik. Etika ini bisa memberitahu pemimpin politik, missal, untuk tidak merugikan pihak tak bersalah, tetapi etika bisa juga menuntut mereka untuk mengorbankan kehidupan orang tak bersalah demi kebaikan bangsa. Lih. Dennis F. Thompson, Etika Politik Pejabat Negara (Jakarta: Yayasan Obor, 2000), hlm. xix.





Agama-agama dan HIV/AIDS

7 12 2007

Penyebaran virus HIV dan jatuhnya korban akibat AIDS selama kurun waktu lima tahun terakhir ini makin memprihatinkan. Pemerintah dan berbagai organisasi non-pemerintah (ornop) yang bergerak dalam advokasi HIV/AIDS telah melakukan berbagai upaya untuk melakukan sosialiasi, diseminasi pengetahuan dasar, konseling, kampanye-kampanye pencegahan AIDS maupun mengantisipasi penularan virus HIV. Jika dicermati secara jeli, memang terasa sebagian hasilnya. Namun ketika hasil-hasil itu dikalkulasi dalam bentuk prosentase total populasi Indonesia dan akselerasi penyebarannya setiap tahun, maka – hampir-hampir – membuat kita [yang prihatin] merasa frustasi. Seluruh upaya tersebut dapat diibaratkan membangun istana pasir yang dapat dihancurkan oleh hempasan ombak dalam sekejap.

Globalisasi Penyakit

Persoalan HIV/AIDS bukanlah masalah internal kita di Indonesia, tetapi masalah global. Penyebarannya sangat halus dan tak terasa, namun berdaya destruktif yang mengerikan, luas dan jangka panjang. HIV/AIDS saat ini bisa dilihat sebagai fenomena tsunami sosial yang menerjang generasi manusia tanpa pandang bulu. Penjelajahan virus HIV tidak bisa lagi dibendung hanya pada lingkup klasifikasi sosial terbatas, namun sudah merambah ke seluruh strata sosial. Bahkan HIV/AIDS tidak lagi dilihat sebatas masalah medis belaka, melainkan sudah menjadi masalah sosial-politik-budaya mondial.

Terma “desa dunia” (global village) yang dipopulerkan Marshal McLuhan tahun 1960-an, awalnya hendak merefleksikan betapa perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi makin menyatukan umat manusia. Seluruh matra lokalitas terseret ke dalam arus globalisasi sehingga seolah-olah tak nampak lagi batas-batas perbedaan ras, etnis, budaya, ekonomi dan agama.

Sisi positifnya, pencitraan ini memandang dunia sebagai ranah tanpa batas dimana manusia melihat kepelbagaian mereka sebagai sebuah anugerah dan “orang lain” sebagai saudara/saudari, tanpa terkungkung dalam identifikasi artifisial nasionalitas, etnisitas dan religiositas. Sisi negatifnya, sekarang tampak jelas bahwa kekuatan-kekuatan globalisasi ternyata hanyalah transposisi “kolonialisme” dimana yang kuat dan kaya tetap menguasai seluruh ranah ekonomi dan politik. Keuntungan dari pasar bebas ternyata digunakan sebagai piranti eksploitasi kaum miskin dan gelombang westernisasi terbukti sama sekali tidak menghargai keanekaragaman tradisi dan sejarah lokal.

Sebagaimana kini kita hidup dalam “desa dunia”, kita pun melihat bahwa virus-virus penyakit tidak mampu lagi dikarantina hanya pada suatu lokalitas. HIV/AIDS adalah satu bukti bahwa umat manusia kini juga mengalami globalisasi penyakit. Pandemik ini telah menggerayangi seluruh permukaan bumi sehingga kita sekarang sedang mengalami krisis kesehatan terburuk dalam 700 tahun. Pertumbuhan ekonomi yang timpang makin mempertajam ketimpangan antara orang kaya dan orang miskin. Dan karena jumlah orang miskin di dunia lebih banyak daripada orang kaya, maka penyebaran virus ini pun tak terbendung.

Menantang Peran Agama-agama

Dalam Breaking The Conspiracy of Silence (2004), Donald E. Messer mengatakan bahwa kita bisa mencatat dalam angka statistik global: di seluruh dunia 46 juta orang sudah terinfeksi; 7.000 orang meninggal dunia setiap hari; 16.000 orang terinfeksi setiap hari; lebih dari 20 juta orang sudah meninggal dunia; 65 juta orang diperkirakan akan meninggal dunia hingga tahun 2020 (hlm.xii). Daftar ini masih bisa diperpanjang per wilayah negara dan region. Namun, lanjut Messer, masalah HIV/AIDS bukanlah masalah statistik per se. Kita bisa tahu statistik, tetapi itu bukan realitasnya karena tingkat akselerasi penyebaran virus yang pesat dan sulit terdeteksi. Itu semua hanyalah upaya menggambarkan betapa HIV/AIDS sebenarnya – disadari atau tidak – telah menjadi ancaman bagi hidup keseharian kita. Setiap kita berpotensi terinfeksi virus HIV.

Namun, tidak setiap orang siap untuk menghadapi tsunami sosial ini. Salah satunya ialah karena kita masih terbelenggu dalam pola pikir bahwa HIV/AIDS hanyalah “penyakit” yang menyerang kelompok sosial tertentu dengan perilaku seksual beresiko tinggi. Oleh karena itu, isu HIV/AIDS adalah isu “najis” yang tidak boleh dibicarakan oleh masyarakat bermoral atau beragama. Salah persepsi itu mengafirmasi “kebisuan” agama-agama dalam menghadapi HIV/AIDS. Pada titik itulah Messer mencoba melakukan dekonstruksi terhadap paradigma berteologi [Protestan] yang selama ini dianggapnya telah membungkam suara profetis Gereja terhadap masalah HIV/AIDS.

Teologi AIDS, theologia religionum

HIV/AIDS tentu bukan masalah satu agama saja, tetapi masalah kemanusiaan universal. Sebagai yang demikian, agama-agama tidak bisa tinggal diam. Ada beberapa alasan mengapa agama-agama sangat berperan penting dalam memerangi HIV/AIDS: (1) agama-agama memiliki mandat spiritual; (2) agama-agama berjangkauan luas lintas kategorisasi sosial; (3) agama-agama memiliki tradisi keterlibatan komunitas; (4) agama-agama memiliki daya tahan yang lama. Mandat spiritual merupakan alasan pertama dan utama karena menyangkut teologi suatu agama. Kontribusi signifikan agama-agama dalam konteks HIV/AIDS hanya dapat terjadi ketika teologinya mampu membuka perspektif religiositas sebagai bagian dari pergumulan sosial. Oleh karena itu, memang dibutuhkan suatu reinterpretasi teologis secara kontekstual dalam menyikapi realitas penderitaan kemanusiaan yang disebabkan karena HIV/AIDS.

Tidaklah berlebihan jika dalam konteks HIV/AIDS agama-agama perlu merumuskan ulang secara bersama-sama Teologi AIDS sebagai bagian dari matra teologi agama-agama (theologia religionum). Artinya, setiap komunitas beragama terbuka untuk menggali kembali nilai-nilai teologis dan moralitas dalam perspektif yang bersifat relasional, bukan lagi doktrinal. Dari sanalah maka pertautan relasi agama-agama tidak lagi terperangkap dalam perdebatan “siapa yang paling benar”, tetapi bersama-sama menemukan kebenaran transendental yang saling menghidupkan. Tidak lagi terjerat pada argumentasi “keselamatan sorgawi”, tetapi bersama-sama membuka diri dalam sebuah gerak menyelamatkan “sejarah” masa depan kemanusiaan.

Jadi, berdasar keempat alasan esensial tersebut, agama-agama diharapkan mampu membangun sebuah kesadaran dan sikap kritis yang lahir dari pendasaran teologis yang kokoh. Dimulai dari proses penyadaran komunitasnya sendiri dalam menyikapi HIV/AIDS, dan kemudian memahaminya sebagai persoalan kemanusiaan yang kompleks dan karena itu mesti ditangani dalam semangat jejaring kemanusiaan universal. Tugas teologis utama agama-agama dalam konteks ini ialah menyingkapkan kebenaran dari suatu realitas dan merefleksikannya sebagai bagian dari panggilan manusia beriman untuk bertanggungjawab. Dengan lain perkataan, ada tuntutan untuk merumuskan kembali etika beragama kita di masa depan. Menurut Hans Jonas (1903-1993), etika tradisional (asal kehendaknya baik, dapat diandaikan akibatnya juga baik) tidak lagi memadai dalam tantangan masa kini. Situasi zaman sekarang membutuhkan pengembangan etika tanggung jawab. Selain sikap positif, etika tanggung jawab tidak terikat pada prinsip-prinsip tertentu. Hal ini misalnya tampak dalam tanggung jawab terhadap anak. Kita tidak berhutang budi apa pun terhadap anak. Kita tidak terikat oleh sebuah “kewajiban” terhadapnya, tetapi adanya anak yang membutuhkan bantuan membuat kita merasa bertanggungjawab.

Oleh karena itu, agenda misi keagamaan utama dalam perang melawan “terorisme global” ini ialah memecahkan kebisuan teologis dan sosiologis yang selama ini menghantui isu HIV/AIDS. Lantas, membangun sebuah komunitas beriman yang terbuka menerima kehadiran kaum marjinal korban HIV/AIDS dan memberdayakan mereka sebagai bagian dari panggilan iman setiap agama. Bukankah spirit profetik agama-agama adalah memanusiakan manusia sebagai citra Sang Khalik?





Mencari Arah Menggereja: Catatan Jelang Sidang Sinode GPM 2005

7 12 2007

Sidang Sinode GPM tahun 2005 merupakan momentum penting dalam sejarah kekristenan abad ke-21 di Maluku. Momentum itu dianggap penting karena jemaat-jemaat GPM baru saja me­lewati masa krisis panjang dalam bentuk konflik massal antara kelompok penganut “agama Kristen” dan “agama Islam”. Kon­flik yang meledak pada tanggal 19 Januari 1999 dan berlanjut dalam skala massif selama kurang-lebih empat tahun masih me­ninggalkan bekas-bekas luka psikologis yang mendalam. Ken­dati kondisi sosial-politik-ekonomi-budaya masyarakat makin me­nunjukkan progres dalam pemulihan sosial, namun tak da­pat dipungkiri bahwa konflik sosial masih berpotensi terjadi dengan memanfaatkan kerentanan masyarakat akibat konflik pan­jang itu. Dalam kenyataan sejarah itulah GPM mencoba un­tuk tetap survive. Tentu seluruh dinamika sejarah getir tersebut harus dilihat sebagai catatan penting dalam membangun seluruh refleksi teologis dan tindakan pelayanan yang makin relevan dengan realitas sosial masyarakat Maluku, yang di dalamnya jemaat-jemaat hidup dan berproses. Catatan kecil ini adalah percik pemikiran sederhana yang lahir dari kegelisahan dan kecintaan terhadap gereja dan jemaat. Apa yang terkandung di dalamnya merupakan buah-buah refleksi yang digumuli dan diwacanakan bersama-sama dalam masa-masa pra-sidang si­node GPM tahun 2005. Catatan ini juga lahir sebagai sebentuk refleksi karena keprihatinan kepada gereja dan jemaat yang sudah begitu lama ini menjadi “kambing hitam” dan “korban” dari seluruh tindakan kekerasan struktural yang dilakukan oleh negara.

1. Restrukturisasi Organisasi Gereja

Sebagai sebuah organisasi keagamaan, GPM membutuhkan perangkat organisasi yang efektif dan kontekstual dalam rangka menjalankan seluruh program pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan jemaat-jemaat. Organisasi gereja ini mesti dilihat sebagai sebuah instrumen yang memperlengkapi dan memberdayakan jemaat-jemaat agar mampu hidup dalam dinamika perubahan sosial yang terjadi begitu cepat. Sebagai yang demikian, gereja itu sendiri mesti terbuka terhadap ber­bagai kemungkinan untuk melakukan perubahan pada dirinya. Agar hal itu dimungkinkan, maka gereja perlu membentuk satu unit kerja dalam strukturnya yang berfungsi sebagai instrumen analisis seluruh kebijakan gereja (internal) dan juga dampak kebijakan negara terhadap masyarakat (eksternal). Unit kerja yang dimaksud adalah lembaga penelitian dan pengembangan GPM (Litbang). Litbang bertugas untuk mengamati dan mem­pelajari seluruh proses sosial-politik-budaya-ekonomi yang ber­langsung dan dialami oleh jemaat-jemaat di Maluku. Dengan kom­petensi maksimal di bidang penelitian dan kajian ilmu-ilmu sosial dan humaniora, litbang berupaya merumuskan persoalan-persoalan sosial yang konkrit, menganalisis dan menyusun berbagai kemungkinan jawaban alternatif yang dapat dilakukan oleh gereja sebagai gereja, bukan sebagai organisasi atau partai politik. Kebutuhan akan adanya litbang ini adalah kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar karena:

  • wilayah pelayanan GPM sebagai gereja kepulauan yang sangat luas mempersulit pemetaan persoalan kewilayahan (tata ruang) secara cepat.
  • Sebagai salah satu provinsi yang kaya dengan sum­ber daya alam laut dan hutan, Maluku sudah lama menjadi target utama para investor asing. Mereka memperoleh konsesi dan proteksi yang besar dari pemerintah Indonesia untuk mengeruk habis-habisan kekayaan alam Maluku. Dalam kenyataannya, prak­tik-praktik perusahaan nasional atau transnasional tersebut kerap mengabaikan hak-hak ulayat masya­rakat lokal, bahkan memarjinalisasikan kehidupan ma­­syarakat lokal.
  • Perubahan sosial dan perilaku masyarakat dalam menyikapi perkembangan teknologi di bidang informasi dan komunkasi khususnya di kota Ambon, tidak dapat dilihat sebagai fenomena biasa. Ia harus disikapi dengan sikap kritis agar tidak terperangkap dalam sikap ekstrem (menerima atau menolak tanpa rasionalisasi proses tersebut).
  • Konflik Ambon masih berpotensi meledak jika proses hidup bersama dalam konteks pluralitas sosial tidak dikelola secara kritis dan rasional, bukan emosional buta. Karena itu kajian-kajian budaya perlu menjadi agenda utama dari proses berteologi gereja di Maluku.
  • Pemekaran sejumlah kabupaten di Maluku perlu dilihat sebagai proses membangun kehidupan ber­demokrasi yang sehat dan rasional. Namun dalam ke­nyataannya, pemekaran kabupaten telah dilihat sebagai ladang politik yang memicu berbagai friksi dalam masyarakat lokal. Di sinilah gereja perlu terlibat aktif dalam proses pembelajaran demokrasi populis.

Fungsi litbang sebenarnya sudah dijalankan oleh Pusat Pe­nanggulangan Krisis GPM selama masa-masa konflik. Berbagai kegiatan pengumpulan data dan dokumentasi peristiwa, analisis konflik dan hipotesis-hipotesis yang dirumuskan dalam rangka memberi masukan bagi gereja untuk menentukan langkah-langkah strategis mengatasi dampak konflik, telah menjadi instrumen organisasi yang efektif. Oleh karena itu, suatu unit dengan fungsi sedemikian mestinya dimasukkan dalam struktur BPH Sinode.

2. Pendidikan

Kondisi pendidikan mengalami penurunan kualitas secara drastis, khususnya pada masa pasca konflik. Namun hal ini juga turut diperparah oleh berbagai kebijakan pemerintah pusat di bidang pendidikan yang dirasakan sangat diskriminatif bagi kelompok masyarakat tertentu. Banyak peluang untuk me­lan­jut­kan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, tidak dapat dinikmati oleh orang-orang Ambon (Islam atau Kristen) karena lebih banyak dimuati oleh kepentingan-kepentingan primordial yang sempit para penentu kebijakan. Sampai sejauh mana gereja mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi atau menyiasati kondisi ini tentu sangat ditentukan pada konsern gereja untuk menjadikan bidang pendidikan umum dan teologi sebagai ba­gian integral dari proses berteologi secara kontekstual. Kese­riusan itu hanya akan tampak jika paradigma berteologi gereja dapat dialihkan secara signifikan dari perhatian pada hal-hal bersifat struktural gerejawi kepada hal-hal praksis pendidikan. Dalam konteks itu, seluruh energi pelayanan tidak lagi terfokus semata-mata pada program-program pembangunan fisik (misal­nya, membangun gedung gereja yang megah), tetapi lebih jauh pada program-program pengembangan mutu pendidikan (misal­nya, rekonstruksi kurikulum pendidikan umum sekolah-sekolah yang dikelola oleh yayasan milik gereja). Untuk itu, re­strukturi­sasi yayasan pendidikan harus dilakukan secara re­formatif dengan didasarkan pada:

  • rekruitmen kader-kader yang berkompeten dan berpengalaman di bidang pendidikan (untuk menge­lola yayasan pendidikan dan tenaga guru)
  • rekonstruksi pola-pola pembelajaran umum yang berbasis pada pendekatan sistem belajar mengajar secara professional
  • penyediaan beasiswa yang menopang kegiatan dan kebutuhan belajar siswa sehingga dapat mencapai prestasi yang memadai untuk melanjutkan pendi­dikan ke jenjang yang lebih tinggi
  • penyediaan buku-buku pelajaran yang disusun oleh pendidik-pendidik lokal sehingga lebih memberi porsi yang besar bagi muatan lokal

3. Sosial Budaya

Konflik sosial yang terjadi telah meninggalkan beban sosial yang cukup berat bagi masyarakat Maluku. Kegelisahan men­cuat di seputar masalah: apakah kebudayaan Maluku sudah kehilangan daya perekat sosialnya di kalangan komunitas orang Maluku ketika berhadapan dengan fragmentarisasi akibat perubahan sosial yang dahsyat? Kecenderungan untuk meninjau kembali elemen-elemen budaya yang selama ini telah menjadi simbol pemersatu komunitas orang Maluku ternyata makin tereduksi menjadi dekorasi-dekorasi kebudayaan yang dangkal. Pemilahan identitas sosial berdasarkan garis agama makin mempertajam benturan ideologis-teologis. Catatan sejarah pan­jang mengenai benturan kekristenan dan kebudayaan lokal; atau asimilasi kebudayaan lokal dengan kekristenan, memang sebuah agenda yang tak pernah selesai dalam sejarah gereja Maluku. Proses itu telah melahirkan sebentuk kekristenan lokal dengan karakteristik yang khas. Berteologi kontekstual sudah ber­lang­sung seumur kekristenan itu sendiri. Dalam konteks Maluku dimana kekristenan diintroduksi melalui kolonialisasi dan mono­poli tata niaga cengkih telah menempatkan ke­kristenan dan kebudayaan lokal dalam pola relasi tak seimbang.

4. Politik

Dalam sejarahnya, gereja tidak pernah lepas dari konteks politiknya, apakah itu dalam bentuk praktisnya maupun ideo­logi­nya. Gereja itu sendiri dapat disebut sebagai sebuah entitas politik yang berusaha mendapatkan pengaruhnya dari sebanyak mungkin orang (pengikut) dengan dilandasi “ideologinya” sen­diri. Dalam hal tertentu ideologi yang digunakan oleh gereja (apakah bisa disebut “teologi”?) dapat lebih berbahaya daripada ideologi-ideologi sekuler karena dilegitimasi oleh kekuasaan ilahi. Itulah sebabnya isu agama menjadi isu yang sangat sen­sitif dalam konteks kehidupan politik Indonesia yang multi­agama. Konflik Ambon yang kental diwarnai spirit sektarianis­tik, aksi-aksi penutupan gereja-gereja di Jabodetabek, fatwa MUI terhadap aliran Ahmadiyah, sampai yang terakhir (30 September 2005) peledakan bom di beberapa kawasan wisata di Bali, mengindikasikan secara gamblang bahwa persoalan agama adalah sebuah persoalan politik yang serius. Penyelesaian ma­salah-masalah politisasi agama itu tentunya tidak bisa di­respon secara simplistik hanya dengan memberlakukan ritual-ritual keagamaan semata. Persoalan-persoalan politisasi agama dan agamanisasi politik harus diselesaikan dengan sebuah kerangka berpikir politis yang jernih dan juga sikap politis yang jelas. Da­lam konteks Indonesia, gereja-gereja (termasuk GPM) tidak bisa dan tidak boleh mendiamkan realitas benturan ideologisasi agama antarkelompok beragama. Pemetaan yang jelas terhadap medan gumul politik gereja akan membuat gereja dewasa dalam menyikapi seluruh persoalan ketatanegaraan dan kebijakan publik yang diimplementasikan oleh negara. Tujuan dari pe­metaan itu semata-mata agar gereja memiliki daya tawar yang kuat terhadap dominasi negara yang pada gilirannya memarjina­li­sasi rakyat.

Tugas gereja dalam bidang politik juga adalah melakukan pem­belajaran politik kepada seluruh rakyat/jemaat. Hubungan gereja/jemaat dengan negara atau partai politik bukanlah hubungan patron-klien, melainkan kemitraan yang bersifat mu­tual simbiosis. Artinya, eksistensi gereja bukanlah subordinat dari negara/parpol tetapi mitra setara yang saling memberi kritik dan input dalam rangka membangun kehidupan masyarakat yang sejahtera. Eksistensi negara atau parpol bukanlah sekadar “sumber dana” untuk kegiatan-kegiatan gereja, melainkan mitra dialog dari gereja dalam memahami situasi politik dan berbagai prediksi antisipatif agar tidak terjadi penyimpangan kebijakan oleh negara/parpol.

“Politik praktis” dalam gereja tidak bisa dihindari karena gereja diatur oleh manusia-manusia yang saling berinteraksi secara kreatif. Yang mesti dikritisi terus-menerus ialah upaya untuk melakukan praktik-praktik politik dengan mentalitas “bonek” (modal nekat). Artinya, proses politis bergereja tidak dilandasi dengan sikap dewasa dan terbuka terhadap pemikiran-pemikiran baru yang kontekstual. Orang-orang dengan mentalitas “bonek” hanya mengandalkan otoritas semu yang kekanak-kanakan. Kepemimpinan gereja hanya dilihat dalam sebuah skopa sempit bernama “kekuasaan” yang – menurut mereka – bisa diperebutkan seperti anak-anak kecil berebut permen. Yang penting, punya modal (uang atau nekat). Kepemimpinan tidak dilihat sebagai strategi mengelola sumber-sumber kekuasaan dalam organisasi gereja, tetapi semata-mata hanya soal siapa yang jadi “ketua”. Sementara itu, struktur kepemimpinan dan program-program pelayanan tidak mendapat porsi yang semestinya.

Demikianlah catatan kecil ini dibuat untuk menjadi bahan refleksi mengenai orientasi berteologi dan bergereja kita dalam konteks Maluku.