Pemilihan Presiden: Mencoba Melihat Sisi Lain

7 12 2007

KETIKA terjebak dalam antrian panjang mobil di perempatan jalan Jakarta suatu sore, pikiran penulis terusik oleh pemandangan “umum” sekelompok anak kecil dan remaja yang menadahkan tangan dari mobil ke mobil. Mereka menyanyikan untaian bait sebuah lagu pop dengan nada sumbang diiringi ecek-ecek-nya, dan seorang anak cacat sengaja “dipajang” di atas trotoar pembatas di antara pilar-pilar beton penyangga jalan tol.

Yang menarik dan ironis, pilar-pilar beton di sepanjang jalan itu dipenuhi poster-poster sejumlah figur yang saat ini sedang berlomba-lomba menjadi “Indonesian Idol” di mata dan hati rakyat. Menarik, karena selain menampilkan wajah simpatik para kontestan, poster-poster itu juga disertai pernyataan-pernyataan lucu, agak bombastik, kendati lebih banyak tidak realistik.

Ironis, karena poster-poster itu menghadirkan sang tokoh secara simbolik di tengah suatu konteks mikro secara paradoksal. Penulis yakin, para sahabat yang setiap hari mempertaruhkan hidupnya bermandi debu dan asap kendaraan di jalanan pasti sempat menikmati pameran poster-poster itu, meski hanya sekilas.

Mungkin tidak banyak mereka yang tahu bahwa sebenarnya “nasib” para tokoh itu sedikit banyak ditentukan oleh partisipasi politik mereka sebagai warga negara. Mungkin juga banyak dari mereka yang tahu bahwa sosok dalam poster itu sebenanya tidak mereka kenal, karena orang-orang itu tidak hadir dalam realitas sosial hidup mereka sebagai rakyat miskin-jelata secara konkrit. Dan kini, menjelang pemilihan presiden, orang-orang itu seperti turun dari “sorga dunia” untuk menjenguk mereka yang terperangkap dalam “neraka dunia”.

Pemandangan kemiskinan kota adalah sebuah fragmen kecil dari mosaik realitas sosial masyarakat Jakarta. Masih banyak fragmen-fragmen hidup rakyat lainnya yang membentuk jati diri Jakarta sebagai tipe masyarakat kosmo-urban Dunia Ketiga. Realitas kemiskinan kota adalah sebentuk wajah kekerasan struktural yang sebenarnya telah menciptakan suatu pola mata-rantai kriminalitas dari level kelas teri (petty crime) hingga ke level mafia profesional yang, sudah jadi rahasia umum, turut melibatkan komponen-komponen kunci negara.

Tetapi tampaknya fragmen kemiskinan kasat-mata itu sama sekali tidak menggelitik kepekaan calon-calon pemimpin yang saat ini sedang bertarung menuju kursi presiden. Secara pragmatis isu kemiskinan diperlakukan hanya sebagai aset yang siap dijual untuk sebuah target politik. Pertanyaan sederhana yang menyeruak: benarkah calon-calon pemimpin bangsa ini memang memiliki kepekaan nurani atas nasib rakyatnya? Jawabannya tentu sangat bergantung pada bobot subjektivitas personal.

Yang pasti, kepekaan seorang pemimpin terhadap geliat perjuangan hidup dan penderitaan rakyatnya adalah modal sosial yang sangat penting. Seorang (calon) pemimpin bisa saja berkoar-koar dengan sederetan panjang elaborasi teoretik mengenai rencana dan program-program kerja yang akan dilakukannya, tetapi tanpa kepekaan, bisa jadi seluruh uraian programnya hanya mengawang, tidak menggawang.

Spiritualitas Politik

Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang cerdas. Itu pasti. Namun kecerdasan tidaklah cuma terukur pada kemampuan membaca teks-teks teori sehingga menampilkannya bak ensiklopedi berjalan, atau pada gelar akademik yang disandang. Lebih jauh, dia juga semestinya mampu membaca konteks secara cermat dengan kepekaan nurani yang tajam. Kepekaan nurani tidak lahir dalam ruang-ruang kelas kuliah di kampus-kampus atau di ruang-ruang seminar.

Kepekaan nurani lahir dari pergolakan batin yang menatap kenistaan dan penderitaan manusia sebagai sebuah penghinaan bagi kemuliaan Tuhan, Sang Pencipta. Artinya, kesadaran itu hanya terbentuk dalam realitas “jalanan”, di mana seluruh jejaring kompleks aktivitas riil manusia berlangsung secara telanjang. Dalam lingkup pemahaman sedemikian, eksplorasi keberagamaan menjadi salah satu kunci utama dalam prospek kepemimpinan di republik ini.

Jika dibahasakan secara lain, seorang pemimpin semestinya memiliki visi teologis yang membentuk seluruh konstruk kesadaran dan moralitasnya, sebagai pertanggungjawaban amanah kepemimpinannya kepada rakyat dan Tuhannya. Visi teologis seorang negarawan menjadi penting, karena melaluinya seorang pemimpin bangsa menyadari batas-batas kekuasaannya sebagai manusia. Ini merupakan refleksi dari kemahatakterbatasan Sang Tuhan, sehingga ia tidak mencoba-coba menuhankan dirinya melalui eksperimentasi kekuasaan-tanpa-batas.

Konstatasi itu tidak hendak menempatkan “agama” sekadar sebagai sekumpulan simbol-simbol khusus atau ritual-ritual tertentu, melainkan menaruhnya dalam bingkai sistem nilai dan rujukan moralitas yang membatasi keliaran kehendak bebas manusia. Dengan demikian, agama menjadi sebuah spiritualitas yang melampaui dan mengatasi absurditas kekuasaan manusia. Sebagai spiritualitas, agama terbebas dari kungkungan simbolisme yang sering justru mendorong kekuasaan manusia menjadi absurd.

Realitas keberagamaan di Indonesia merupakan kenyataan yang tak tersangkal. Agama-agama mampu menjadi kekuatan perekat sosial bagi keutuhan bangsa ini sejauh para pelaku mengagama memberi ruang interpretatif yang leluasa bagi terbangunnya proses dialog kemanusiaan.

Sayangnya, sejarah hidup agama-agama di dunia, kental diwarnai oleh konflik dan kekerasan, justru karena terlalu banyak memberi ruang bagi kehebatan “tuhannya” masing-masing di bumi yang satu. Kala “si tuhan” kelompoknya menjadi jagoan, maka para penyembahnya pun harus jadi jagoan. Orang lain atau kelompok (agama) lain hanyalah bandit-bandit yang harus ditumpas pada waktunya.

Padahal, menurut John Hick, “tuhan” yang dikenal dalam agama-agama dunia sebenarnya hanyalah cultural name, sebuah artikulasi kultural mengenai eksistensi dari dimensi kekuasaan yang tak terselami oleh sel-sel kelabu otak manusia. Karena itu, manusia mengenal berbagai sebutan “tuhan”. Sebab, manusia terperangkap dalam pembahasaan eksistensi “Sang Maha” itu.

Bahasa sangat terkungkung dalam suatu konteks kultural yang menjadi sandaran nilai-nilai dan ide-ide manusia. Apakah aku harus menyebut “si tuhan” dengan sebutan “anu” atau “una”, tentu tidak diartikulasikan dalam bahasa “sorgawi”, karena aku pasti tidak memahaminya. Jadi aku harus memahami “si tuhan” ini dalam kerangka budayaku sebagai manusia, demikian Hick dalam bukunya God Has Many Name.

Karena itu, tidak mengherankan jika secara ideologis maupun praksis, agama-agama menciptakan ambiguitas (ketaksaan) kekuasaan, yang berayun antara kekuasaan manusia (yang terbatas) dan kekuasaan ilahi (yang tak terbatas). Hampiran teologis agama-agama (berdasarkan interpretasi kitab suci) lebih kerap mengaburkan hakikat penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah masyarakat atau negara.

Di Indonesia, ketegangan ideologis pernah menjadi sebuah pengalaman sejarah yang penting dalam menentukan arah dan dasar negara ini. Bung Karno mencoba untuk mensintesakan kutub-kutub ideologi itu ke dalam konsep “Pancasila”. Dan Soeharto, presiden Indonesia berikutnya, memasyarakatkan Pancasila dan mem-Pancasila-kan masyarakat hingga ke sumsum kehidupan rakyat Indonesia.

Kalau Bung Karno menempatkan Pancasila sebagai landasan hidup bernegara bersama yang melampaui batas-batas ikatan primordial (etnik, agama, ideologi), Soeharto mereformulasikan konsep Pancasila berdasarkan paham primordialnya sebagai seorang Jawa. Tentu pemikiran dan praksis kedua tokoh itu patut ditempatkan dalam bingkai konteks historisnya masing-masing.

Di samping mereka berdua, di kalangan lapisan masyarakat (dari berbagai agama) tertentu juga berlangsung diskursus sengit mengenai Pancasila dalam kaitan tanggung jawab sebagai warga negara. Diskursus-diskursus itu berlangsung sebagai manifestasi keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini bersama-sama.

Namun rasanya “Pancasila” tidak lagi dianggap sakti. Bagaimana mungkin kita bisa melupakan kebesaran gagasan itu, yang pada suatu masa dianggap sebagai konsep bernegara setara dengan Declaration of Independence-nya Amerika Serikat dan Manifesto Communist-nya Uni Soviet? Apalagi, sebagai bangsa yang sedang didera oleh berbagai masalah dan konflik bertubi-tubi, kita membutuhkan sebuah gagasan filosofis mendalam sebagai sebuah kesepakatan politik bersama warga bangsa.

Gagasan itu mengikat seluruh warga bangsa dengan komitmen hidup bersama dalam kesetaraan politik dan pluralitas sosial. Juga mencegah terjadinya pembelahan sosial yang tak terkendali dan membawa kita keluar dari kesuraman situasi, menuju pada pencerahan rasional-prospektif.

Dengan menempatkan kembali gagasan Pancasila dalam perspektif baru yang lebih populis, kita sedang mencoba keluar dari kegamangan ideologis. Kita memperkokoh ketahanan masyarakat dari kemungkinan dihanyut-larutkan oleh berbagai propaganda politik para aktor politik dan menjadikannya perekat sosial. Momentum menjelang pilpres ini dapat kita pakai sebagai kasus-uji bagi kepekaan para calon pemimpin untuk bereksperimen dalam arena demokrasi.

Seluruh perhatian dan energi kita tidak boleh tersita habis hanya untuk sebuah proyek politik, dan mengabaikan sejumlah persoalan yang terjadi di luar “lingkaran” Jakarta. Indonesia bukan hanya Jawa dan Jakarta. Dan seluruh wilayah “periferi” bukanlah cuma objek penderita pelengkap dalam pertarungan politik. Seorang strong leader bukan tongkat ajaib yang menjamin berlangsungnya perubahan signifikan ke arah demokrasi.

Dengan demikian, “kesatuan” dan “persatuan” lebih dipahami sebagai sebuah proses, bukan loncatan otomatis yang bisa didesak dengan kekerasan. Dengan cara itu, kita tidak terpenjara dalam berbagai pleidoi dan aksi-aksi yang tidak cerdas. Agama lantas direduksi dalam kedangkalan teologis hanya untuk sekadar mengeruk keuntungan dari proyek politik tertentu, dengan mengumbar kredo-kredo tak andal (unreliability).

Mungkin dalam keruwetan semacam itu, kita perlu tenang dan besar hati “membaca” kembali Pancasila untuk menguak gagasan-gagasan besar yang terkandung di dalamnya. Membaca Pancasila dalam arti baru, tidak perlu dibaca keras-keras dalam setiap upacara, namun dengan hermeneutika politik yang kontekstual di mana setiap warga negara merasa hidup di dalamnya dan menghidupi Pancasila itu sendiri.

Pancasila memang bukan “agama” dalam arti tradisional. Tetapi Pancasila tentu sah-sah saja jika diperlakukan sebagai sebuah kredo politik sejauh urgensinya diletakkan secara proporsional. Artinya, konteks kemajemukan Indonesia tentu tidak bisa hanya direduksi pada rujukan sistem nilai primordial budaya atau agama tertentu saja.

Indonesia dihidupi oleh kemajemukannya dan itu berarti dibutuhkan sebuah kesepakatan nilai-nilai berbangsa yang memberi ruang bagi setiap orang tanpa tersekat dalam ikatan primordialnya, untuk berekspresi secara santun dan cerdas. Setiap orang berhak memberi makna dalam gerak “menjadi Indonesia”. Dengan demikian, Indonesia sebenarnya selalu dalam proses menjadi, dan belum usai.





Ambon Pecah Lagi

7 12 2007

KONFLIK terbuka dan aksi kekerasan massa kembali terjadi di Ambon dan meminta korban jiwa. Pantauan terhadap runutan peristiwa pada tanggal 25 April 2004 dan hari-hari sesudahnya memberikan indikasi yang kuat bahwa konflik ini bukanlah konflik spontan antarwarga masyarakat Ambon. Peristiwa ini dipicu oleh berbagai rumor yang beredar bahwa pada tanggal 25 April 2004 akan terjadi pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) oleh kelompok tertentu yang menamakan diri Front Kedaulatan Maluku (FKM).

Tulisan ini tidak berpretensi mengajukan uraian analitis terhadap bergolaknya Ambon setelah mulai sejuk selama beberapa waktu. Apa yang tertuang di sini hanyalah suatu kegelisahan ontologis terhadap fenomena konflik dan kekerasan yang tampaknya semakin mengakar dalam struktur kesadaran kolektif masyarakat Ambon. Benarkah struktur kesadaran kolektif masyarakat telah terbentuk dalam pola-pola impulsif yang selalu merespons setiap riak sosial dengan reaksi kekerasan secara spontan?

Atau telah berlangsung penciptaan konteks sosial yang sedemikian kuatnya mempengaruhi berbagai relasi sosial masyarakat Ambon sehingga mereka tidak mampu melakukan resistensi atau distansi kritis terhadap setiap garapan isu-isu yang mengarah pada tindakan destruktif?

Rasanya terlalu dini untuk berasumsi bahwa ada semacam grand-narrative tertentu yang sedang disiapkan pasca-Malino II dan kemungkinan memainkan kondisi keamanan yang masih labil di Ambon untuk kepentingan politik tertentu selama pengondisian psikologis masyarakat menjelang pemilu presiden. Kendati kemungkinan tetap tidak terhindarkan mengingat daya eksplosif konflik yang begitu massif hanya dalam hitungan jam.

Selain itu, kita tidak dapat menafikan kenyataan bahwa kondisi psikologis sosial masyarakat Ambon yang belum pulih dari trauma konflik selama kurang lebih tiga tahun turut memainkan peran vital. Paling tidak, kondisi psikologis inilah yang terus dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk tetap menjaga agar intensitas konflik tetap tinggi. Euforia “Ambon Aman” tentu bukanlah slogan yang menyenangkan bagi mereka yang masih ingin terus bermain api dan mengeruk keuntungan dari situasi rusuh di Ambon.

Lagi-lagi RMS

Tanggal 25 April memang merupakan momentum yang paling kritis, khususnya sejak konflik Ambon pecah tahun 1999. Selama konflik Ambon, tanggal 25 April ini selalu menjadi momok di kalangan masyarakat sipil di Ambon dan Maluku. Alasannya sederhana, pengibaran bendera RMS (entah oleh siapa) di beberapa wilayah permukiman penduduk menjadi legitimasi politis bahwa memang sebagian masyarakat sipil (yang disegmentasi sebagai warga Kristen) secara nyata telah diidentifikasi sebagai kelompok separatis dalam format Negara RI. Tentu stigmatisasi “RMS” versus “kelompok pro-NKRI” (hanya dengan indikator simbolik berupa bendera) yang didiseminasi oleh beberapa media massa yang meliput konflik Ambon masih merupakan simpulan yang tergesa-gesa dan harus ditelisik secara bijak dan kritis. Dan lagi, hipotesis ini perlu diuji berdasarkan kelengkapan analisis sosial politik yang andal, bukan hanya sekadar terjebak dalam perangkap-perangkap simbolik. Dalam konteks Ambon kontemporer, “wacana RMS” menjadi peluru tajam yang siap ditembakkan dalam kondisi sosial-politik-budaya masyarakat Ambon yang masih gamang.

Benarkah “RMS”, dalam bingkai gerakan pemberontakan separatis memang ada di Ambon? Pertanyaan ini memang sangat terbuka untuk diinterpretasi dari berbagai segi. Namun setidaknya fenomena munculnya isu dan simbol-simbol RMS yang diusung oleh FKM harus disikapi sebagai sebuah “wacana”, bukan sebagai sebuah entitas politik riil. Sebagai “wacana”, dia dapat dimunculkan oleh siapa saja dan untuk kepentingan apa saja selagi tersedia konteks sosial yang memadai sebagai lahan subur berkembangnya wacana tersebut.

Ini berbeda dengan penyikapan terhadap “entitas politik”. Entitas politik memang bisa memainkan wacana tertentu, tetapi dalam format kerangka ideologi, struktur organisasi yang jelas terumuskan dalam platform organisasi, dan sistematisasi program untuk mencapai sebuah tujuan dengan dukungan perangkat human resources yang kapabel. Dalam hal ini, tentu terbuka ruang luas bagi suatu entitas politik untuk turut memainkan sebuah wacana yang dianggap strategis dan menguntungkan bagi tercapainya tujuan.

Kalau begitu, apakah FKM bisa disebut sebagai suatu entitas politik? Untuk menjawabnya dibutuhkan sebuah pencermatan sejarah yang konsisten dan mendalam, tidak bisa hanya melalui perampatan (generalisasi) yang dangkal. Artinya, kita sebaiknya menempatkan konsep “RMS” secara substantif pada dinamika historis dan konteks sosial yang relevan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman (misunderstanding) atasnya.

Prof. Richard Chauvel menyebutkan dalam bukunya Nationalist, Soldiers and Separatists: The Ambonese Islands From Colonialism to Revolt 1880-1950, bahwa lahirnya konsep RMS harus dilihat dalam bingkai dinamika politik lokal saat itu. Dorongan untuk memisahkan diri dari Republik (Indonesia) sebenarnya lebih didasarkan pada perasaan ketergantungan pada Kerajaan Belanda ketimbang keinginan untuk merdeka atau otonom.

Para pemimpin dan pendukung GSS (Gaboengan Sembilan Serangkai) yang terdiri dari para raja (pemimpin negeri), tentara dan pejabat, merupakan kelompok yang menikmati keuntungan dalam sistem kolonial di Ambon. Mereka khawatir bahwa di bawah pemerintahan Indonesia yang didominasi oleh orang Jawa, mereka akan kehilangan posisi dan status di dalam masyarakat lokal, sebagaimana terjadi di beberapa wilayah kepulauan ini (hlm 233). Keinginan tersebut justru tidak mendapat sambutan positif oleh W Hoven, komisaris pemerintah untuk Borneo dan Indonesia Timur. Hoven menilai tindakan itu terlalu prematur dan tidak akan didukung oleh pemerintah (Belanda), yang malah menilai keberadaan Ambon dalam Negara Indonesia Timur (NIT) adalah dalam rangka terciptanya keseimbangan politik (hlm 234).

FKM Beda dengan RMS

Apa yang bisa ditarik dari uraian ringkas Chauvel tersebut? Menurut saya, ada beberapa hal. Pertama, pergulatan dan dinamika politik lokal sangat ditentukan oleh faktor kepemimpinan elite lokal dan unsur-unsur pendukungnya. Dalam konteks itu, vested interest para pemimpin lokal mengalami transformasi sebagai keinginan masyarakat. Ini wajar karena struktur sosial masyarakat Ambon sebenarnya telah bergeser dari konsep tradisional ke konsep “modern” seperti yang diintroduksi oleh pemerintah kolonial Belanda. Pergeseran tersebut berimplikasi pada terbangunnnya struktur kesadaran dan pola-pola kultural masyarakat Ambon yang lebih hirarkis. Dalam struktur sosial sedemikian, rakyat sama sekali tidak berperan apa-apa.

Kedua, persoalan mendasar yang tidak terselesaikan dalam konstruk ideologi dan tatanan masyarakat bernama Indonesia sebagai sebuah realitas baru, ialah tidak digarapnya wacana pluralitas etnik yang menjadi cornerstone bagi bangunan keindonesiaan per 17 Agustus 1945. Sentimen primordial etnik ini selama masa kolonial telah menggumpal menjadi bongkah-bongkah identitas yang tidak gampang untuk ditransformasi dalam konsep Indonesia. Namun di sebelah lain, dalam konteks pluralitas sosial itu tidak terhindarkan pula dominasi kultural oleh kelompok mayoritas secara etnis.

Oleh karena itu, sebenarnya “Indonesia” harus dilihat sebagai sesuatu yang belum usai, atau masih terus dalam proses menjadi. Sebagai yang demikian, konsep “kesatuan” mesti dipahami dalam dinamika realitas berbangsa dan bernegara yang cair karena kemajemukannya, tidak bisa dipaksakan secara kaku dan tidak kontekstual.

Dari sudut pandang historis, FKM memiliki latar belakang dan maksud yang berbeda sama sekali dari konsep RMS 1950. Oleh karena itu, dia harus disikapi sebagai “wacana”. Kalaupun mau dilihat sebagai suatu entitas politik, dia masih sangat prematur. FKM muncul dalam situasi konflik yang dirasakan membawa implikasi bagi terjadinya ketidakadilan oleh negara (Indonesia) dalam masyarakat (Ambon). Sebagai suatu embrio yang prematur, FKM harus disikapi dengan tindakan tegas dan sistematik oleh perangkat-perangkat negara yang berkompeten agar tidak membesar dan malah memperkeruh konflik.

Itu seharusnya dilakukan jika memang negara bermaksud “baik” untuk menghentikan konflik Ambon. Yang terjadi malah sebuah paradoks. Pada satu sisi, negara mengklaim bahwa FKM adalah sebuah tindakan makar karena mengusung dan merekonstruksi kembali simbol-simbol politik yang pernah digunakan oleh gerakan RMS tahun 1950, namun di sisi lain, negara “membiarkan” FKM makin membesar.

Sebagai Bentuk Protes

Apakah memang FKM telah bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan pemberontakan seperti yang terjadi tahun 1950? Tentu tidak, karena dia hanya menjadi besar berdasarkan wacana yang digarapnya dalam suatu ranah kontekstual negara RI. Jadi yang diperlukan di sini adalah sebuah dekonstruksi wacana (RMS). Jika hal ini tidak dilakukan, pada titik inilah konflik Ambon tidak akan pernah mencapai titik pemulihan yang maksimal secara komprehensif, karena pewacanaan RMS ini tidak ditangani serius oleh negara (sebagai indikator empirik, kenapa Alex Manuputty bisa lolos sampai ke Amerika Serikat?).

FKM adalah embrio gerakan protes sosial yang berpotensi menjadi entitas politik. Namun dia masih sangat prematur sehingga negara sebenarnya sangat mampu membendung gerakannya. Kenyataannya itu tidak terjadi. Jadi, pertanyaan hipotetik yang terbersit ialah apakah memang negara tidak merasakan eksistensi FKM sebagai sebuah ancaman terhadap bangunan sosial politik RI (bandingkan dengan GAM di mana TNI/Polri all out)?

Padahal kesepakatan Malino II telah secara jelas memposisikan pemerintah atau negara sebagai pihak yang turut bertanggung jawab bagi proses penyelesaian konflik, ekses-ekses yang ditimbulkannya dan rancang-bangun perdamaian tiga pihak (Muslim-Kristen-Pemerintah). Itu berarti pewacanaan isu-isu yang dianggap dapat kembali mengobarkan konflik kekerasan (yang bermuara pada jatuhnya korban sipil) harus diisolasi secara ketat dengan tindakan konkrit sebagai implementasi kesepakatan tersebut.

Dengan demikian, dalam perspektif tertentu, yang menjadi kunci persoalan pecahnya konflik 25 April 2004 adalah tetap mengambangnya wacana RMS dalam konstruk politik nasional Indonesia. Dan sekali lagi, sebagai wacana, dia dapat dimanfaatkan oleh siapa saja dan untuk kepentingan apa saja selagi wacana itu dirasakan strategis untuk mengkondisikan tercapainya tujuan-tujuan (politik) tertentu.

Dalam sebuah negara yang berdaulat seperti Indonesia, siapakah atau lembaga apakah yang lebih berkompeten untuk mengeliminasi kemungkinan terbentuknya wacana seperti ini, selain lembaga-lembaga negara atau negara itu sendiri?

Oleh karena itu, sangat naif bila seluruh kesalahan hanya ditimpakan kepada “massa” pendukung A atau B. Masyarakat sipil tentu bukanlah orang bodoh yang dapat dijadikan pion terus-menerus jika ternyata mereka hanya menjadi korban dari pertikaian yang mereka sendiri tidak pahami.

Tetapi jika kekuatan massa yang tergumpal mengarah pada berbagai aksi destruktif, tentu harus dipahami dalam konteks yang lebih besar bahwa ada kekuatan determinan yang tak mampu dilawan. Kalau begitu, sebenarnya siapakah yang berkepentingan untuk menjaga agar wacana ini tetap terjaga sebagai “bom” yang siap diledakkan pada saat yang tepat dan dengan efek yang menghancurkan?





Lembaga Pelayanan Kristen dalam Sorotan Profetik Yeremia

7 12 2007
Pengantar*

Ada dua kesulitan dalam menyajikan refleksi teologi mengenai perjalanan Lembaga Pelayanan Kristen (LPK) dan kemungkinan membangun jejaring dalam konteks Jabodetabek:

(1) Kompleksitas Konteks Jabodetabek: Sebagai kota metropolitan Jakarta merangkai dalam dirinya keruwetan antarhubungan sosial yang berkelindan membentuk simpul-simpul masyarakat urban yang antagonistik.[1] Butuh kecermatan dalam mencerap dinamika konteks dan kefasihan menelisik makna-maknanya secara utuh. Kemampuan itu terbentuk dari keterlibatan dan pengalaman-pengalaman riel (individu atau kolektif). “Pengalaman” yang dimaksud tak hanya dalam arti “praktis”, tetapi juga “teoretis”, sebagai bentukan proses abstraksi pengalaman praktis dalam ranah kognisi yang membantu penyusunan skenario prospektif di lingkup kerja masing-masing. Asumsi bahwa yang “praktis” lebih penting dari yang “teoretis”, tidak tepat. Itu akan menggiring pada keluncaspahaman (misunderstanding) mengenai visi dasar yang disepakati dan kedangkalan tindak pelayanan. Tidak menukik ke kedalaman esensi seluruh sistematisasi tindak pelayanan. Di sisi lain, pengandalan analisis teoretis tanpa [mampu] menerjemahkan konsep ke dalam program empiris, hanyalah masturbasi intelektual yang mengawang tetapi tidak menggawang ke tujuan objektif pelayanan. Keduanya sama penting. Aksentuasi berlebihan pada salah satunya malah menciptakan penyekatan antara “intelektualis/akademis” dan “praktisi” yang terkurung di tempurungnya sendiri.

(2) Sebuah refleksi teologi sebagai pendasaran gagasan ideal dan tindakan praktis, serta pertautan keduanya yang mengacu pada implementasi nilai-nilai kehidupan yang berterima dalam kerangka jejaring itu: Seluruh tindak pelayanan kita membutuhkan sandaran ideal yang sahih agar tidak terjebak pada kesempitan matra “kerja” saja, namun menyata sebagai “tindak komunikasi”. Perspektif ideal sedemikian tidak dibangun dalam kehampaan. Sebagai orang Kristen, perspektif itu bisa dibangun – pertama-tama – melalui penguatan konstruksi refleksi teologi sebagai basis matra transendental. Transendental bukan berarti terhempas keluar dari realitas keduniaan, melainkan justru proses abstraksi keduniaan ke dalam spektrum iman kepada Sang Tuhan. Proses sedemikian [harus] berlangsung dalam kejujuran dan keterbukaan terhadap teks Alkitab.

Pembacaan Teks Alkitab dan Rekonstruksi Teologi

Pembacaan teks Alkitab sebaiknya diikuti oleh kesadaran kontekstual bahwa ia adalah bentukan semiotik realitas historis, kultural dan sosiologis yang mengandung ideologi tertentu. karenanya pembacaan teks alkitab tidak bisa secara kasat mata. Diperlukan perspektif sosiohistoris dan analisis wacana yang mendekonstruksi teks/wacana itu, sekaligus telusuran pandangan-dunia (worldview) yang melatarinya. Penghadapan “teks” dan “dunia kini” menuntut kepekaan hermeneutis sehingga produk interpretasi teks mendorong pada terbukanya horison nalar dan iman yang melahirkan karakter kekristenan yang berterima, daripada mendesak teks mentah ke dalam konteks yang tak padan.

Jadi, teks tak sekadar ditranslasi, namun – lebih dalam – tertransformasi secara kreatif.[2] Tanpa jalan (methodos) spiritualitas demikian, kekristenan akan terperangkap pada kedangkalan pemaknaan tekstual yang tak bertaut dengan konteks faktual. Ini hanya melahirkan calo-calo ayat-ayat alkitab yang menjajakan ekstasi sorgawi dan keselamatan jiwa, tanpa berakar dalam pergulatan historis dan kontekstual untuk memahami transendensi tekstual yang terdekonstruksi tadi.[3]

Lantas, “teologi” itu apa? Teologi sudah ada dalam pergaulan manusia sebagai suatu fenomena. Fenomena merupakan suatu kenyataan di dalam pergaulan manusiawi. Di sana kita harus mencari apa yang tetap, umum dan esensial dalam fenomena itu. Tetapi, karena kenyataan itu suatu kenyataan manusiawi maka perlu juga kita dapat “ikut-melaksanakannya” (keterlibatan kritis). Kita membaca gejala itu sebagai data, tetapi selalu dengan latar belakang ikut-melaksanakan. Di sana kita mencoba merealisasikan diri, mengekspresikan diri, ke arah fenomena itu.[4]

Sesungguhnya, kita berteologi sejak kita mulai berpikir tentang iman, meskipun dalam bentuk spontan, kebetulan, tidak secara sistematis dan ilmiah. Teologi ialah percobaan supaya kita – sebagai manusia yang berpikir – mengintegrasikan iman ke dalam kehidupan kita sebagai subjek yang berkepribadian, yang berpikir dan bebas. Dalam iman dan teologi selalu ada dua matra yang konstitutif: (a) matra eksistensial peristiwa yang menjelma dalam fakta-fakta sejarah; (b) matra pemahaman arti, menurut aspek esensi dan struktur-struktur.

Dengan demikian, apa yang disebut sebagai refleksi teologi selalu berada dalam dialektika antara teks (alkitab) – sebagai yang secara imaniah dipercaya menjadi media sosiokultural untuk menyingkapkan serba-sedikit misteri ilahi dalam sejarah kemanusiaan – dan konteks sosiologis faktual yang menjadi ranah pergulatan manusia memaknai kehidupannya di sini dan kini. Refleksi teologi selalu kontekstual, berubah mengikuti jejak gumul zaman, tidak pernah tunggal atau baku.

Merambah Spirit Profetis Yeremia

1. Siapakah nabi itu?

Max Weber mendefinisikan “nabi” sebagai individu dengan suatu kharisma yang melalui kebajikan misinya memproklamasikan ajaran suatu agama atau perintah ilahi.[5] Nabi berbeda dengan fungsionari-fungsionaris institusi keagamaan. Kenabian Israel adalah kenabian etis. Para nabi etis Israel tidak pernah menawarkan jalan keselamatan, tetapi lebih mengarahkan pendengarnya semata-mata kepada perintah ilahi. Para nabi ini tampil ke permukaan sosial ketika terjadi konflik mengenai apa makna dunia sebagaimana dinyatakan dalam agama Israel dan ancaman empiris terhadap eksistensinya (Asyur dan Babil). Tanpa konflik ini para nabi tidak pernah akan muncul.

2. Pergumulan Profetis Yeremia

Nabi ini berkarya dalam kerangka konteks kebuntuan gerakan Reformasi Deuteronomi Yosia dan pergeseran kekuasaan di Timur Dekat kuno dari Asyur ke Babil.[6] Upaya Yosia untuk mereformasi kultus religius dan kebobrokan sosiopolitik di Yehuda, serta penegakan kekuasaan Neo-Daud untuk mengisi kevakuman kekuasaan yang ditinggalkan Asyur, terdegradasi sehingga menihilkan mimpi-mimpi (penguasa) Yehuda.

Inti pesan Yeremia: tatanan sosiopolitik internal Yehuda yang sudah sangat korup akan segera dimusnahkan oleh Babil. Kecuali jika para pemimpinnya bertobat dan memberlakukan keadilan sosial yang telah sekian lama diabaikan. Dalam pandangannya, tradisi perjanjian dan kultus Yerusalem tidak (bisa) lagi memberikan dasar bagi berlangsungnya keamanan dalam ketiadaan keadilan sosial.[7] Upaya menggantungkan nasib pada kekuatan Mesir untuk menyelamatkan diri dari ancaman Babil hanyalah sebentuk eskapisme utopis.

Yeremia menyerukan agar Yehuda merekonstruksi bangunan religiositas dan ideologi politiknya secara fundamental, dengan bersandar pada hukum perjanjian yang didasarkan atas perubahan hakiki nilai-nilai dan kesetiaan. Di tengah kebuntuan spirit reformasi, dia menyatakan komitmennya dengan menyerukan implementasi agresif reformasi sosial pemerintahan Yehuda di bawah Yosia. Namun, reformasi tersebut hanya terjadi dalam bingkai penerimaan formal terhadap realitas kekuasaan Babil.

Ketika pemberontakan Yoyakim dan Zedekia dipatahkan oleh Babil – seperti pada pemberontakan I – Yeremia melihat tidak ada lagi “ruang bernafas” bagi reformasi internal. Dia mendesak Zedekia agar menyerahkan diri. Sebab, tanpa raja atau kultus kuil suci, kehidupan rakyat Yehuda akan tetap berlanjut. Akseptabilitas Yeremia kepada Babil ditunjukkan dengan keputusannya untuk tetap tinggal di Yehuda dan berpartisipasi dalam rekonstruksi rezim Babil yang dipasak di Mizpah melalui Gedalia, gubernur boneka yang ditunjuk oleh penguasa (tetapi mendukung gerakan politik sang nabi, 40:1-6).

Dalam suratnya kepada mereka di pembuangan (597 sM), Yeremia menasihati untuk tinggal dan menjalani kehidupan secara normal di Babil sebagai antisipasi masa pembuangan yang masih lama (29:1-14). Malah dia berbicara tentang 70 tahun penguasaan Babil atas bangsanya sebelum para kaum terbuang itu dapat berharap untuk bebas.[8]

Persoalan di antara elite politik dan agama pun tak kalah pelik. Kalangan elite politik dan elite agama terbelah menjadi dua kubu yang beroposisi. Pertentangan internal mengerucut sekitar program politik yang antagonistik pada periode 609-586. Satu pihak, para raja dan mayoritas birokrat, imam-imam dan nabi-nabi membentuk partai berideologi otonom. Mereka melihat bahwa pembebasan dari cengkeraman Babil dapat terwujud dengan dukungan (militer) Mesir. Nabi Hananya, yang tak sepaham dengan Yeremia tentang lamanya masa pembuangan (pasal 28) adalah contoh salah satu eksponennya.[9]

Di lain pihak, kelompok lebih kecil yang terdiri dari pegawai istana (termasuk keluarga Shaphan yang aktif dalam Reformasi Deuteronomi), Yeremia (kemungkinan juga nabi-nabi lain seperti Uria dari Kiriath-jearim [26:20-23], Habakuk [?]), serta beberapa imam, membentuk partai koeksistensi. Mereka lebih setuju menerima infiltrasi Babil daripada mendukung gerakan revolusi antiBabil. Karena, sekali revolusi pecah dan gagal, terbentuk stigma “pemberontak” vis a vis kekuatan Babil. Ini bukan langkah yang strategis dan taktis.[10] Ada perbedaan penilaian dan kebijakan dari kedua partai itu sebagai berikut:

Partai Berhaluan Otonomi dan AntiBabil:

  1. “daya-tahan nasional” (national survival) akan terwujud dengan kemerdekaan penuh Yehuda di bawah kepemimpinan yang sekarang.
  2. melihat kelas penguasa sebagai perwakilan resmi yang mewakili kepentingan rakyat. Menjatuhkan mereka berarti menghancurkan rakyat.
  3. melihat benturan utama atau kontradiksi dalam situasi tersebut sebagai konflik antarnegara Yehuda dan Babil.
  4. kehendak Yahweh yang terungkap melalui nabinya (Hananya dll) adalah mempertahankan Yehuda di bawah rezim yang sekarang dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya.

Partai Berhaluan Koeksistensi dan Pro-Babil:

  1. “daya-tahan nasional” terwujud hanya dengan pemulihan kondisi sosio-ekonomik dan religio-kultural rakyat Yehuda.
  2. sebaliknya, melihat kebijakan internal di bidang sosio-ekonomi yang diterapkan kelas penguasa sebagai sumber malapetaka bagi kepentingan rakyat.
  3. melihat setiap upaya penguatan kelas penguasa melawan Babil sebagai promosi ketidakadilan sosial yang tak perlu dipertahankan karena akan membahayakan rakyat. Kerja sama dengan Babil akan membuka peluang bagi pembaruan reformasi yang terwarisi dari Yosia.
  4. benturan utama atau kontradiksi sebagai konflik antarkelas kepentingan oposisional antara kelas penguasa dan mayoritas rakyat Yehuda.
  5. kehendak Yahweh yang terungkap melalui nabinya (Yeremia dll) adalah mempertahankan hidup rakyat Yehuda dengan merombak pola dan struktur kepemimpinan (dan kebijakannya) yang sekarang melalui tindak politik dan pembersihan oleh militer Babil.

Memaknai Pergumulan LPK dalam Sorotan Yeremia

1. Partisipasi dan penguatan civil society

Reformasi Deuteronomi Yosia diinspirasi oleh teks-teks keagamaan yang direvisi dan direinterpretasi para penulis kerajaan (scribes class) sesuai dengan tujuan reformasi. Teks-teks ini pula yang menginspirasi kritik profetik Yeremia. Malah, dengan perspektif baru, bahwa reformasi total dapat terjadi dengan intervensi Babil. Oleh para penentangnya, sikap Yeremia ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kedaulatan Yehuda alias tidak nasionalis. Toh, bagi Yeremia, apa arti konseptualisasi nasionalisme ketika – dalam praktik – penindasan terbesar terhadap rakyat Yehuda justru dilakukan oleh para pemimpinnya sendiri. Di sini terjadi transposisi secara interpretatif dari teks ke tindakan konkret.

Kritik profetis Yeremia didasarkan pada keterlibatan bersama rakyat. Ini ditunjukkan dengan keputusan untuk tetap tinggal di Yehuda bersama rakyat dan mendampingi mereka agar memahami peristiwa ambruknya Yehuda sebagai suatu proses reformasi total. Dalam menjalankan misi kenabiannya, Yeremia tidak bekerja sendiri. Dia melakukan sosialisasi secara intens untuk menjaring banyak kawan (dengan visi yang sama) ke dalam lingkaran kelompoknya. Kritik dan sikap oposisinya bergaung lebih keras dan efektif justru karena ia berada dalam jejaring kelompoknya.

2. Kritik Ideologi Kekuasaan (Politik dan Agama)

Yeremia menggiring kesadaran para pemimpin (politik dan agama) bahwa seharusnya yang menjadi tolok-ukur implementasi kekuasaan adalah “kemanusiaan”. Jika prasyarat ini tidak dipenuhi sehingga rakyat harus menjadi tumbal kekuasaan, maka Tuhan akan tampil sebagai pembela rakyat. Tuhan bekerja dengan cara-Nya, bukan cara manusia. Cara Tuhan penuh dengan ketakterdugaan karena Ia tidak bisa dipasung oleh klaim-klaim teologis atau doktrin yang dikredokan institusi agama (Israel). Apalagi jika kredo keagamaan ternyata digunakan sebagai legitimasi kekerasan dan pleidoi teologis atasnya. Tuhan bebas bergerak dalam matra universalitasnya menerobos ke dalam setiap sumsum kehidupan manusia dan kesemestaan alam. Tugas manusia adalah mencermati setiap fenomena kenyataan manusiawi dan menemukan makna tindakan Tuhan tersebut dengan perspektif kemanusiaannya (sosial, budaya, politik, ekonomi, dll). Capaian langkah tersebut ialah makin berkualitasnya nilai dan hidup manusia. Ketika hal ini tidak terpenuhi maka refleksi teologi [mesti] menjadi kritik ideologi terhadap tendensi kekuasaan yang menggilas esensi kemanusiaan.

Pada momentum ini “refleksi [ber]teologi” sebagai aktivitas iman setiap orang makin kaya dengan makna apabila aktivitas tersebut saling ditautkan dalam jaring-jaring relasi dan pengalaman bersama. Sehingga berteologi tidak lagi menjadi tindakan individu tetapi kolektif (dengan bobot kualitas yang beragam). Kalau demikian, teologi yang kita wacanakan adalah teologi sosial.[11] Pemahaman berteologi sebagai aktivitas iman bersama (teologi sosial) menjadi signifikan saat berhadapan dengan kompleksitas situasi problematik pelayanan di Jabodetabek.

3. Pluralitas sosial sebagai arena pelayanan progresif

Kalau begitu, dalam gerak transposisi dari teks ke tindakan, bagaimana memahami anjuran “usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang”? Menurut saya, anjuran ini bukan eksplisitasi sikap fatalistis karena ketidakberdayaan atau hipokrisi. Tetapi merupakan teguran keras kepada para elite politik dan elite agama Yehuda yang dibuang agar bersikap realistis terhadap kenyataan hidup di pengasingan dan tidak terbuai mimpi-mimpi tentang pembebasan dalam waktu dekat atau harapan semu untuk berkuasa lagi.[12] Dengan bersikap realistis dan mau mengenal konteks hidup yang baru bersama dengan kelompok masyarakat lain, mereka dapat mengatasi perasaan teralienasi itu. Daripada bermimpi, situasi tersebut lebih baik dipahami sebagai waktu (kairos) dan ranah (oikos) untuk menemukan makna kehendak Tuhan dalam carut-marut kenyataan sosiopolitik dan sejarah nasional mereka. Untuk menuju ke arah sana, bukan usaha spontan, tetapi membutuhkan tindakan strategis dan kepaduan relasi berjaringan. Dalam perspektif itu, ancaman bisa dikelola menjadi peluang membangun diri dan masyarakat yang berkarakter majemuk. Kita tidak bisa menafikan pluralitas sosial (dalam konteks perkotaan). Konteks pluralitas sosial ini harus mendeterminasi gagasan dasar dan pola pelayanan kita, serta menjadi arena berlangsungnya implementasi pelayanan yang lebi progresif. Itu bisa terlaksana jika kinerja kita berada dalam gerak bersama, tidak sendiri-sendiri.

Kita memang tidak berada di “pembuangan” (exile), tetapi locus Jakarta merupakan melting pot yang kaya dengan perbedaan dan kesenjangan sosial. Tanpa pemahaman konteks yang utuh, bisa-bisa kita teralienasi secara sosial dari pergulatan kerakyatan lokal. Apalagi berhadapan – langsung maupun tak langsung – dengan kekuasaan yang menghimpit ruang gerak kita untuk berproses bersama dalam tindakan pembebasan rakyat dari berbagai proses dehumanisasi (situasional maupun sistematis). Ketika rakyat dibenamkan dalam kebudayaan bisu dan kepatuhan semu. Dalam keadaan itu – bisa jadi – tanpa strategi dan ekstensifikasi lingkup jejaring, kita pun tak berdaya atau dilumpuhkan, lalu akhirnya lebih memilih asyik-masyuk dengan kesibukan diri sendiri. Agar terhindar dari perangkap itu, kita butuh banyak kawan dalam satu jaringan komitmen (lintas-agama) dan visi kristiani yang sepadan (antar-LPK), yang paham dengan realitas konteks kota besar.[13] Tanpa itu, horison spektrum masalah yang kita tangani hanya terpahami secara parsial. Pemahaman yang fragmentaristik dan tak utuh akan menggiring kita pada pola tindakan praktis yang distorsif (tidak tepat sasaran atau tidak sesuai yang dibutuhkan).

Akhirulkalam

Dinamika reformasi sosial Indonesia hingga kini ternyata tidak beranjak dari kubangan lama. Malah menampakkan versi lain kekuasaan kuasi-despotik, yang tak kalah bahayanya dengan karakter kekuasaan sebelumnya. Kita perlu menyiapkan masyarakat dampingan menjadi corpus christianum, bukan dalam spirit kristenisasi, tetapi penebaran benih-benih Injil dalam bentuk yang manusiawi (non-violence), yang mengarah pada penguatan civil society tanpa terkooptasi kekuasaan dalam bentuk apapun (termasuk agama). Orientasi utamanya ialah terjadinya pencerahan yang mendorong proses pembebasan: dari kemiskinan, dari pembodohan, dari kekerasan, dari ancaman penyakit, dari penipuan, dll. Bagi saya, tidak ada yang lebih injili daripada upaya pencerahan dan pembebasan manusia dari tindak dehumanisasi multirupa. Ini berimplikasi pada penemuan kembali harkat-martabat kemanusiaan yang telah tergusur ke wilayah periferi wacana publik. Saya tidak tahu apakah anda [masih] percaya pada hakikat manusia sebagai citra kemuliaan Allah (imago Dei). Tetapi premis teologis tersebut perlu pembuktian empirik dalam karya kemanusiaan kita melalui jejaring LPK. Begitulah!



* Disampaikan dalam Forum Konsultasi Jaringan Kerja Regional Lembaga Pelayanan Kristen (LPK) Wilayah Jabotabek tanggal 25-27 Maret 2003 di Ciawi Bogor, Jawa Barat.

[1] Lih. J.E. Goldthorpe, Sosiologi Dunia Ketiga: Kesenjangan dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 238-257. Juga James Goldsmith, Perangkap (Jakarta: Yayasan Obor, 1995), hlm. 4. Menurutnya, salah satu kekeliruan budaya modern adalah bahwa kita diajari untuk percaya setiap problem dapat diukur dalam istilah perekonomian.

[2] Aminudin, “Pendekatan Linguistik Kritis: Roger Fowler” dalam Kris Budiman (peny.), Analisis Wacana: Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi (Yogyakarta: PSK UGM & Kanal, 2002), hlm. 37. teks merujuk pada wujud konkret penggunaan bahasa berupa untaian kalimat yang mengemban proposisi-proposisi tertentu sebagai suatu keutuhan. Wacana merujuk pada kompleksitas aspek yang terbentuk oleh interaksi antara aspek kebahasaan, sebagaimana terwujud dalam teks, dengan aspek luar bahasa. Interaksi tersebut berfungsi menentukan karakteristik bentuk komunikasi ataupun penggunaan bahasanya, dan menentukan makna suatu teks. Unsur luar bahasa antara lain merujuk pada pemeran/partisipan, tujuan dan konteks.

[3] Dekonstruksi bukan berarti pembongkaran/perusakan, tapi hanya membuka jalan dalam aktivitas berpikir dan penandaan dalam proses penjejakan jaringan makna guna membentuk pemahaman. Lih. Aminudin, “Pendekatan Pasca-struktural: Jacques Derrida” dalam Kris Budiman, ibid., hlm. 170. Juga Gayatri C. Spivak, Membaca Pemikiran Jacques Derrida: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003).

[4] S. Hardiyanto, Pengantar Ke Teologi Lambaran: Objek ~ Persoalan Dasar ~ Metode (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 1998), hlm. 10.

[5] A.D.H. Mayes, The Old Testament in Sociological Perspective (London: Marshal Pickering, 1989), hlm. 44-45.

[6] Disebut Reformasi Deuteronomi karena dalam upaya Yosia dan para skribanya (penulis) merevisi dan mengedit kembali naskah-naskah keagamaan tradisional, mereka banyak terinspirasi oleh gagasan-gagasan dan gaya kitab Deuteronomi (Ulangan). Lih. Robert Coote & Marry Coote, Power, Politics and The Making of Bible: An Introduction (Augsburg: Fortress Press, 1990), hlm. 59-66.

[7] Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction (Augsburg: Fortress Press, 1985), hlm. 396.

[8] Gottwald, ibid., hlm. 400.

[9] Mengacu pada penghancuran kerajaan Yehuda, Yeremia mengindikasikan bahwa nabi-nabi yang ikut dalam gelombang pertama pembuangan telah mengagitasi sebagian orang untuk cepat kembali ke Yehuda. Yeremia mengingatkan dua di antara mereka bahwa mereka berada dalam bahaya eksekusi oleh Babil atas aktivitas subversif yang dilakukan (Yer. 29:20-23). Lih. Norman K. Gottwald, The Politics of Ancient Israel (Louisville: Westminster John Knox Press, 2001), hlm. 99.

[10] Seorang pemimpin yang ikut dalam pembuangan, Semaya ben Nehelam (imam atau nabi [?]), menulis kepada imam Yerusalem dan menginstruksikan dia untuk mengekang aktivitas pro-Babil Yeremia, yang menganggap Nebukadnezar sebagai “hamba Yahweh”, yang secara ilahi ditunjuk untuk menghukum Yehuda atas kesalahan kultis dan sosial (Yer. 29:24-32; bnd. 27:1-7). Lih. Gottwald, ibid.

[11] Teologi sosial dimaksud mencakup arti sebagai teologi kontekstual. Seluruh teologi dijalankan dan dikembangkan dalam cakrawala kontekstual-kemasyarakatan. Juga dalam arti sebagai teologi khusus tentang keterlibatan umat dalam masalah-masalah masyarakat (mis. Kemiskinan dan ketidakadilan). Lih. J.B. Banawiratma, SJ & J. Muller, SJ, Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Kanisius 1993), hlm. 25-26.

[12] Asyur: semua penduduk dan pemimpin Israel Utara dibuang ke wilayah-wilayah sekitar. Akibatnya, penduduk Utara tidak lagi “asli” karena sudah kawin campur dengan bangsa-bangsa di mana mereka dibuang; Babil: hanya para pemimpin yang diasingkan, rakyat sipil tetap di tanahnya. Mereka mempertahankan tradisi endogami (kawin-dalam) untuk menjaga kemurnian etnis. Ini yang menyebabkan orang Selatan (Yehuda) menganggap orang Utara (Samaria) bukan lagi sebagai bangsa pilihan karena sudah tercemar (bnd. Perumpamaan orang Samaria yang baik hati).

[13] Di sini kita sedang “berpolitik” dalam arti tindakan kerja sama dengan orang lain untuk tujuan bersama. Menurut Thompson, untuk itu kita perlu etika politik. Etika ini bisa memberitahu pemimpin politik, missal, untuk tidak merugikan pihak tak bersalah, tetapi etika bisa juga menuntut mereka untuk mengorbankan kehidupan orang tak bersalah demi kebaikan bangsa. Lih. Dennis F. Thompson, Etika Politik Pejabat Negara (Jakarta: Yayasan Obor, 2000), hlm. xix.





Agama-agama dan HIV/AIDS

7 12 2007

Penyebaran virus HIV dan jatuhnya korban akibat AIDS selama kurun waktu lima tahun terakhir ini makin memprihatinkan. Pemerintah dan berbagai organisasi non-pemerintah (ornop) yang bergerak dalam advokasi HIV/AIDS telah melakukan berbagai upaya untuk melakukan sosialiasi, diseminasi pengetahuan dasar, konseling, kampanye-kampanye pencegahan AIDS maupun mengantisipasi penularan virus HIV. Jika dicermati secara jeli, memang terasa sebagian hasilnya. Namun ketika hasil-hasil itu dikalkulasi dalam bentuk prosentase total populasi Indonesia dan akselerasi penyebarannya setiap tahun, maka – hampir-hampir – membuat kita [yang prihatin] merasa frustasi. Seluruh upaya tersebut dapat diibaratkan membangun istana pasir yang dapat dihancurkan oleh hempasan ombak dalam sekejap.

Globalisasi Penyakit

Persoalan HIV/AIDS bukanlah masalah internal kita di Indonesia, tetapi masalah global. Penyebarannya sangat halus dan tak terasa, namun berdaya destruktif yang mengerikan, luas dan jangka panjang. HIV/AIDS saat ini bisa dilihat sebagai fenomena tsunami sosial yang menerjang generasi manusia tanpa pandang bulu. Penjelajahan virus HIV tidak bisa lagi dibendung hanya pada lingkup klasifikasi sosial terbatas, namun sudah merambah ke seluruh strata sosial. Bahkan HIV/AIDS tidak lagi dilihat sebatas masalah medis belaka, melainkan sudah menjadi masalah sosial-politik-budaya mondial.

Terma “desa dunia” (global village) yang dipopulerkan Marshal McLuhan tahun 1960-an, awalnya hendak merefleksikan betapa perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi makin menyatukan umat manusia. Seluruh matra lokalitas terseret ke dalam arus globalisasi sehingga seolah-olah tak nampak lagi batas-batas perbedaan ras, etnis, budaya, ekonomi dan agama.

Sisi positifnya, pencitraan ini memandang dunia sebagai ranah tanpa batas dimana manusia melihat kepelbagaian mereka sebagai sebuah anugerah dan “orang lain” sebagai saudara/saudari, tanpa terkungkung dalam identifikasi artifisial nasionalitas, etnisitas dan religiositas. Sisi negatifnya, sekarang tampak jelas bahwa kekuatan-kekuatan globalisasi ternyata hanyalah transposisi “kolonialisme” dimana yang kuat dan kaya tetap menguasai seluruh ranah ekonomi dan politik. Keuntungan dari pasar bebas ternyata digunakan sebagai piranti eksploitasi kaum miskin dan gelombang westernisasi terbukti sama sekali tidak menghargai keanekaragaman tradisi dan sejarah lokal.

Sebagaimana kini kita hidup dalam “desa dunia”, kita pun melihat bahwa virus-virus penyakit tidak mampu lagi dikarantina hanya pada suatu lokalitas. HIV/AIDS adalah satu bukti bahwa umat manusia kini juga mengalami globalisasi penyakit. Pandemik ini telah menggerayangi seluruh permukaan bumi sehingga kita sekarang sedang mengalami krisis kesehatan terburuk dalam 700 tahun. Pertumbuhan ekonomi yang timpang makin mempertajam ketimpangan antara orang kaya dan orang miskin. Dan karena jumlah orang miskin di dunia lebih banyak daripada orang kaya, maka penyebaran virus ini pun tak terbendung.

Menantang Peran Agama-agama

Dalam Breaking The Conspiracy of Silence (2004), Donald E. Messer mengatakan bahwa kita bisa mencatat dalam angka statistik global: di seluruh dunia 46 juta orang sudah terinfeksi; 7.000 orang meninggal dunia setiap hari; 16.000 orang terinfeksi setiap hari; lebih dari 20 juta orang sudah meninggal dunia; 65 juta orang diperkirakan akan meninggal dunia hingga tahun 2020 (hlm.xii). Daftar ini masih bisa diperpanjang per wilayah negara dan region. Namun, lanjut Messer, masalah HIV/AIDS bukanlah masalah statistik per se. Kita bisa tahu statistik, tetapi itu bukan realitasnya karena tingkat akselerasi penyebaran virus yang pesat dan sulit terdeteksi. Itu semua hanyalah upaya menggambarkan betapa HIV/AIDS sebenarnya – disadari atau tidak – telah menjadi ancaman bagi hidup keseharian kita. Setiap kita berpotensi terinfeksi virus HIV.

Namun, tidak setiap orang siap untuk menghadapi tsunami sosial ini. Salah satunya ialah karena kita masih terbelenggu dalam pola pikir bahwa HIV/AIDS hanyalah “penyakit” yang menyerang kelompok sosial tertentu dengan perilaku seksual beresiko tinggi. Oleh karena itu, isu HIV/AIDS adalah isu “najis” yang tidak boleh dibicarakan oleh masyarakat bermoral atau beragama. Salah persepsi itu mengafirmasi “kebisuan” agama-agama dalam menghadapi HIV/AIDS. Pada titik itulah Messer mencoba melakukan dekonstruksi terhadap paradigma berteologi [Protestan] yang selama ini dianggapnya telah membungkam suara profetis Gereja terhadap masalah HIV/AIDS.

Teologi AIDS, theologia religionum

HIV/AIDS tentu bukan masalah satu agama saja, tetapi masalah kemanusiaan universal. Sebagai yang demikian, agama-agama tidak bisa tinggal diam. Ada beberapa alasan mengapa agama-agama sangat berperan penting dalam memerangi HIV/AIDS: (1) agama-agama memiliki mandat spiritual; (2) agama-agama berjangkauan luas lintas kategorisasi sosial; (3) agama-agama memiliki tradisi keterlibatan komunitas; (4) agama-agama memiliki daya tahan yang lama. Mandat spiritual merupakan alasan pertama dan utama karena menyangkut teologi suatu agama. Kontribusi signifikan agama-agama dalam konteks HIV/AIDS hanya dapat terjadi ketika teologinya mampu membuka perspektif religiositas sebagai bagian dari pergumulan sosial. Oleh karena itu, memang dibutuhkan suatu reinterpretasi teologis secara kontekstual dalam menyikapi realitas penderitaan kemanusiaan yang disebabkan karena HIV/AIDS.

Tidaklah berlebihan jika dalam konteks HIV/AIDS agama-agama perlu merumuskan ulang secara bersama-sama Teologi AIDS sebagai bagian dari matra teologi agama-agama (theologia religionum). Artinya, setiap komunitas beragama terbuka untuk menggali kembali nilai-nilai teologis dan moralitas dalam perspektif yang bersifat relasional, bukan lagi doktrinal. Dari sanalah maka pertautan relasi agama-agama tidak lagi terperangkap dalam perdebatan “siapa yang paling benar”, tetapi bersama-sama menemukan kebenaran transendental yang saling menghidupkan. Tidak lagi terjerat pada argumentasi “keselamatan sorgawi”, tetapi bersama-sama membuka diri dalam sebuah gerak menyelamatkan “sejarah” masa depan kemanusiaan.

Jadi, berdasar keempat alasan esensial tersebut, agama-agama diharapkan mampu membangun sebuah kesadaran dan sikap kritis yang lahir dari pendasaran teologis yang kokoh. Dimulai dari proses penyadaran komunitasnya sendiri dalam menyikapi HIV/AIDS, dan kemudian memahaminya sebagai persoalan kemanusiaan yang kompleks dan karena itu mesti ditangani dalam semangat jejaring kemanusiaan universal. Tugas teologis utama agama-agama dalam konteks ini ialah menyingkapkan kebenaran dari suatu realitas dan merefleksikannya sebagai bagian dari panggilan manusia beriman untuk bertanggungjawab. Dengan lain perkataan, ada tuntutan untuk merumuskan kembali etika beragama kita di masa depan. Menurut Hans Jonas (1903-1993), etika tradisional (asal kehendaknya baik, dapat diandaikan akibatnya juga baik) tidak lagi memadai dalam tantangan masa kini. Situasi zaman sekarang membutuhkan pengembangan etika tanggung jawab. Selain sikap positif, etika tanggung jawab tidak terikat pada prinsip-prinsip tertentu. Hal ini misalnya tampak dalam tanggung jawab terhadap anak. Kita tidak berhutang budi apa pun terhadap anak. Kita tidak terikat oleh sebuah “kewajiban” terhadapnya, tetapi adanya anak yang membutuhkan bantuan membuat kita merasa bertanggungjawab.

Oleh karena itu, agenda misi keagamaan utama dalam perang melawan “terorisme global” ini ialah memecahkan kebisuan teologis dan sosiologis yang selama ini menghantui isu HIV/AIDS. Lantas, membangun sebuah komunitas beriman yang terbuka menerima kehadiran kaum marjinal korban HIV/AIDS dan memberdayakan mereka sebagai bagian dari panggilan iman setiap agama. Bukankah spirit profetik agama-agama adalah memanusiakan manusia sebagai citra Sang Khalik?





Mencari Arah Menggereja: Catatan Jelang Sidang Sinode GPM 2005

7 12 2007

Sidang Sinode GPM tahun 2005 merupakan momentum penting dalam sejarah kekristenan abad ke-21 di Maluku. Momentum itu dianggap penting karena jemaat-jemaat GPM baru saja me­lewati masa krisis panjang dalam bentuk konflik massal antara kelompok penganut “agama Kristen” dan “agama Islam”. Kon­flik yang meledak pada tanggal 19 Januari 1999 dan berlanjut dalam skala massif selama kurang-lebih empat tahun masih me­ninggalkan bekas-bekas luka psikologis yang mendalam. Ken­dati kondisi sosial-politik-ekonomi-budaya masyarakat makin me­nunjukkan progres dalam pemulihan sosial, namun tak da­pat dipungkiri bahwa konflik sosial masih berpotensi terjadi dengan memanfaatkan kerentanan masyarakat akibat konflik pan­jang itu. Dalam kenyataan sejarah itulah GPM mencoba un­tuk tetap survive. Tentu seluruh dinamika sejarah getir tersebut harus dilihat sebagai catatan penting dalam membangun seluruh refleksi teologis dan tindakan pelayanan yang makin relevan dengan realitas sosial masyarakat Maluku, yang di dalamnya jemaat-jemaat hidup dan berproses. Catatan kecil ini adalah percik pemikiran sederhana yang lahir dari kegelisahan dan kecintaan terhadap gereja dan jemaat. Apa yang terkandung di dalamnya merupakan buah-buah refleksi yang digumuli dan diwacanakan bersama-sama dalam masa-masa pra-sidang si­node GPM tahun 2005. Catatan ini juga lahir sebagai sebentuk refleksi karena keprihatinan kepada gereja dan jemaat yang sudah begitu lama ini menjadi “kambing hitam” dan “korban” dari seluruh tindakan kekerasan struktural yang dilakukan oleh negara.

1. Restrukturisasi Organisasi Gereja

Sebagai sebuah organisasi keagamaan, GPM membutuhkan perangkat organisasi yang efektif dan kontekstual dalam rangka menjalankan seluruh program pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan jemaat-jemaat. Organisasi gereja ini mesti dilihat sebagai sebuah instrumen yang memperlengkapi dan memberdayakan jemaat-jemaat agar mampu hidup dalam dinamika perubahan sosial yang terjadi begitu cepat. Sebagai yang demikian, gereja itu sendiri mesti terbuka terhadap ber­bagai kemungkinan untuk melakukan perubahan pada dirinya. Agar hal itu dimungkinkan, maka gereja perlu membentuk satu unit kerja dalam strukturnya yang berfungsi sebagai instrumen analisis seluruh kebijakan gereja (internal) dan juga dampak kebijakan negara terhadap masyarakat (eksternal). Unit kerja yang dimaksud adalah lembaga penelitian dan pengembangan GPM (Litbang). Litbang bertugas untuk mengamati dan mem­pelajari seluruh proses sosial-politik-budaya-ekonomi yang ber­langsung dan dialami oleh jemaat-jemaat di Maluku. Dengan kom­petensi maksimal di bidang penelitian dan kajian ilmu-ilmu sosial dan humaniora, litbang berupaya merumuskan persoalan-persoalan sosial yang konkrit, menganalisis dan menyusun berbagai kemungkinan jawaban alternatif yang dapat dilakukan oleh gereja sebagai gereja, bukan sebagai organisasi atau partai politik. Kebutuhan akan adanya litbang ini adalah kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar karena:

  • wilayah pelayanan GPM sebagai gereja kepulauan yang sangat luas mempersulit pemetaan persoalan kewilayahan (tata ruang) secara cepat.
  • Sebagai salah satu provinsi yang kaya dengan sum­ber daya alam laut dan hutan, Maluku sudah lama menjadi target utama para investor asing. Mereka memperoleh konsesi dan proteksi yang besar dari pemerintah Indonesia untuk mengeruk habis-habisan kekayaan alam Maluku. Dalam kenyataannya, prak­tik-praktik perusahaan nasional atau transnasional tersebut kerap mengabaikan hak-hak ulayat masya­rakat lokal, bahkan memarjinalisasikan kehidupan ma­­syarakat lokal.
  • Perubahan sosial dan perilaku masyarakat dalam menyikapi perkembangan teknologi di bidang informasi dan komunkasi khususnya di kota Ambon, tidak dapat dilihat sebagai fenomena biasa. Ia harus disikapi dengan sikap kritis agar tidak terperangkap dalam sikap ekstrem (menerima atau menolak tanpa rasionalisasi proses tersebut).
  • Konflik Ambon masih berpotensi meledak jika proses hidup bersama dalam konteks pluralitas sosial tidak dikelola secara kritis dan rasional, bukan emosional buta. Karena itu kajian-kajian budaya perlu menjadi agenda utama dari proses berteologi gereja di Maluku.
  • Pemekaran sejumlah kabupaten di Maluku perlu dilihat sebagai proses membangun kehidupan ber­demokrasi yang sehat dan rasional. Namun dalam ke­nyataannya, pemekaran kabupaten telah dilihat sebagai ladang politik yang memicu berbagai friksi dalam masyarakat lokal. Di sinilah gereja perlu terlibat aktif dalam proses pembelajaran demokrasi populis.

Fungsi litbang sebenarnya sudah dijalankan oleh Pusat Pe­nanggulangan Krisis GPM selama masa-masa konflik. Berbagai kegiatan pengumpulan data dan dokumentasi peristiwa, analisis konflik dan hipotesis-hipotesis yang dirumuskan dalam rangka memberi masukan bagi gereja untuk menentukan langkah-langkah strategis mengatasi dampak konflik, telah menjadi instrumen organisasi yang efektif. Oleh karena itu, suatu unit dengan fungsi sedemikian mestinya dimasukkan dalam struktur BPH Sinode.

2. Pendidikan

Kondisi pendidikan mengalami penurunan kualitas secara drastis, khususnya pada masa pasca konflik. Namun hal ini juga turut diperparah oleh berbagai kebijakan pemerintah pusat di bidang pendidikan yang dirasakan sangat diskriminatif bagi kelompok masyarakat tertentu. Banyak peluang untuk me­lan­jut­kan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, tidak dapat dinikmati oleh orang-orang Ambon (Islam atau Kristen) karena lebih banyak dimuati oleh kepentingan-kepentingan primordial yang sempit para penentu kebijakan. Sampai sejauh mana gereja mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi atau menyiasati kondisi ini tentu sangat ditentukan pada konsern gereja untuk menjadikan bidang pendidikan umum dan teologi sebagai ba­gian integral dari proses berteologi secara kontekstual. Kese­riusan itu hanya akan tampak jika paradigma berteologi gereja dapat dialihkan secara signifikan dari perhatian pada hal-hal bersifat struktural gerejawi kepada hal-hal praksis pendidikan. Dalam konteks itu, seluruh energi pelayanan tidak lagi terfokus semata-mata pada program-program pembangunan fisik (misal­nya, membangun gedung gereja yang megah), tetapi lebih jauh pada program-program pengembangan mutu pendidikan (misal­nya, rekonstruksi kurikulum pendidikan umum sekolah-sekolah yang dikelola oleh yayasan milik gereja). Untuk itu, re­strukturi­sasi yayasan pendidikan harus dilakukan secara re­formatif dengan didasarkan pada:

  • rekruitmen kader-kader yang berkompeten dan berpengalaman di bidang pendidikan (untuk menge­lola yayasan pendidikan dan tenaga guru)
  • rekonstruksi pola-pola pembelajaran umum yang berbasis pada pendekatan sistem belajar mengajar secara professional
  • penyediaan beasiswa yang menopang kegiatan dan kebutuhan belajar siswa sehingga dapat mencapai prestasi yang memadai untuk melanjutkan pendi­dikan ke jenjang yang lebih tinggi
  • penyediaan buku-buku pelajaran yang disusun oleh pendidik-pendidik lokal sehingga lebih memberi porsi yang besar bagi muatan lokal

3. Sosial Budaya

Konflik sosial yang terjadi telah meninggalkan beban sosial yang cukup berat bagi masyarakat Maluku. Kegelisahan men­cuat di seputar masalah: apakah kebudayaan Maluku sudah kehilangan daya perekat sosialnya di kalangan komunitas orang Maluku ketika berhadapan dengan fragmentarisasi akibat perubahan sosial yang dahsyat? Kecenderungan untuk meninjau kembali elemen-elemen budaya yang selama ini telah menjadi simbol pemersatu komunitas orang Maluku ternyata makin tereduksi menjadi dekorasi-dekorasi kebudayaan yang dangkal. Pemilahan identitas sosial berdasarkan garis agama makin mempertajam benturan ideologis-teologis. Catatan sejarah pan­jang mengenai benturan kekristenan dan kebudayaan lokal; atau asimilasi kebudayaan lokal dengan kekristenan, memang sebuah agenda yang tak pernah selesai dalam sejarah gereja Maluku. Proses itu telah melahirkan sebentuk kekristenan lokal dengan karakteristik yang khas. Berteologi kontekstual sudah ber­lang­sung seumur kekristenan itu sendiri. Dalam konteks Maluku dimana kekristenan diintroduksi melalui kolonialisasi dan mono­poli tata niaga cengkih telah menempatkan ke­kristenan dan kebudayaan lokal dalam pola relasi tak seimbang.

4. Politik

Dalam sejarahnya, gereja tidak pernah lepas dari konteks politiknya, apakah itu dalam bentuk praktisnya maupun ideo­logi­nya. Gereja itu sendiri dapat disebut sebagai sebuah entitas politik yang berusaha mendapatkan pengaruhnya dari sebanyak mungkin orang (pengikut) dengan dilandasi “ideologinya” sen­diri. Dalam hal tertentu ideologi yang digunakan oleh gereja (apakah bisa disebut “teologi”?) dapat lebih berbahaya daripada ideologi-ideologi sekuler karena dilegitimasi oleh kekuasaan ilahi. Itulah sebabnya isu agama menjadi isu yang sangat sen­sitif dalam konteks kehidupan politik Indonesia yang multi­agama. Konflik Ambon yang kental diwarnai spirit sektarianis­tik, aksi-aksi penutupan gereja-gereja di Jabodetabek, fatwa MUI terhadap aliran Ahmadiyah, sampai yang terakhir (30 September 2005) peledakan bom di beberapa kawasan wisata di Bali, mengindikasikan secara gamblang bahwa persoalan agama adalah sebuah persoalan politik yang serius. Penyelesaian ma­salah-masalah politisasi agama itu tentunya tidak bisa di­respon secara simplistik hanya dengan memberlakukan ritual-ritual keagamaan semata. Persoalan-persoalan politisasi agama dan agamanisasi politik harus diselesaikan dengan sebuah kerangka berpikir politis yang jernih dan juga sikap politis yang jelas. Da­lam konteks Indonesia, gereja-gereja (termasuk GPM) tidak bisa dan tidak boleh mendiamkan realitas benturan ideologisasi agama antarkelompok beragama. Pemetaan yang jelas terhadap medan gumul politik gereja akan membuat gereja dewasa dalam menyikapi seluruh persoalan ketatanegaraan dan kebijakan publik yang diimplementasikan oleh negara. Tujuan dari pe­metaan itu semata-mata agar gereja memiliki daya tawar yang kuat terhadap dominasi negara yang pada gilirannya memarjina­li­sasi rakyat.

Tugas gereja dalam bidang politik juga adalah melakukan pem­belajaran politik kepada seluruh rakyat/jemaat. Hubungan gereja/jemaat dengan negara atau partai politik bukanlah hubungan patron-klien, melainkan kemitraan yang bersifat mu­tual simbiosis. Artinya, eksistensi gereja bukanlah subordinat dari negara/parpol tetapi mitra setara yang saling memberi kritik dan input dalam rangka membangun kehidupan masyarakat yang sejahtera. Eksistensi negara atau parpol bukanlah sekadar “sumber dana” untuk kegiatan-kegiatan gereja, melainkan mitra dialog dari gereja dalam memahami situasi politik dan berbagai prediksi antisipatif agar tidak terjadi penyimpangan kebijakan oleh negara/parpol.

“Politik praktis” dalam gereja tidak bisa dihindari karena gereja diatur oleh manusia-manusia yang saling berinteraksi secara kreatif. Yang mesti dikritisi terus-menerus ialah upaya untuk melakukan praktik-praktik politik dengan mentalitas “bonek” (modal nekat). Artinya, proses politis bergereja tidak dilandasi dengan sikap dewasa dan terbuka terhadap pemikiran-pemikiran baru yang kontekstual. Orang-orang dengan mentalitas “bonek” hanya mengandalkan otoritas semu yang kekanak-kanakan. Kepemimpinan gereja hanya dilihat dalam sebuah skopa sempit bernama “kekuasaan” yang – menurut mereka – bisa diperebutkan seperti anak-anak kecil berebut permen. Yang penting, punya modal (uang atau nekat). Kepemimpinan tidak dilihat sebagai strategi mengelola sumber-sumber kekuasaan dalam organisasi gereja, tetapi semata-mata hanya soal siapa yang jadi “ketua”. Sementara itu, struktur kepemimpinan dan program-program pelayanan tidak mendapat porsi yang semestinya.

Demikianlah catatan kecil ini dibuat untuk menjadi bahan refleksi mengenai orientasi berteologi dan bergereja kita dalam konteks Maluku.





Gereja Puing-puing

7 12 2007
Pengantar

Sudah separuh jalan di tahun 2000 telah kita telusuri dengan serangkaian persoalan bahkan konflik yang kian rumit dan masih menyisakan setumpuk pekerjaan rumah yang belum rampung. Tidak dapat dipungkiri bahwa seluruh bangunan kebangsaan dan identitas kedirian sebagai suatu realitas politik yang bernama Indonesia telah luluh-lantak. De jure, kita masih berada di bawah bendera Indonesia, tetapi apakah kita masih dalam spiritualitas bersama sebagai “manusia Indonesia”, itu makin menjadi pertanyaan.

Kemanusiaan dalam Arus Pembangunan

Terlalu dini untuk menarik kesimpulan bahwa bangsa kita yang tengah dilanda prahara kekerasan berada di ambang disintegrasi. Tetapi juga terlalu naif bila kita sama sekali tidak peka terhadap fenomena yang berkembang, yang menampilkan wajah suram dan berkabut negeri ini dengan maraknya berbagai tuntutan rakyat yang kecewa karena perasaan sakit hati yang terpendam selama puluhan tahun dalam represi hegemoni negara di balik kedok “kepentingan nasional” dengan tendensi vulgar security approach.

Munculnya pergolakan di berbagai wilayah menjadi indikator empirik bahwa esensi kebangsaan yang seharusnya tumbuh dari kesadaran dan komitmen bersama untuk membangun kehidupan sebagai sesama manusia tanpa atribut apapun, ternyata rapuh dan ringkih. Kesadaran akan dimensi kemanusiaan dalam seluruh denyut nadi bangsa selama ini telah dieliminasi dan digantikan dengan semangat membangun gedung, jalan tol dan real estate, yang hanya mendongkrak tampilan fisik semata. Kemanusiaan hanya menjadi entitas yang bermakna verbalistis. Ia tidak lagi menjadi core dalam struktur penalaran keindonesiaan yang manusiawi.

Oleh karena itu, gejolak-gejolak tersebut mesti dipahami sebagai teriakan untuk menuntut kembali harga kemanusiaan yang selama ini diremehkan; dan suatu gerakan merebut kembali kemerdekaan asasi yang selama ini dirampas. Suatu reaksi keras untuk menampilkan eksistensi kerakyatan sebagai manusia di antara manusia yang lain. Itu di aras grass-roots. Sementara di kalangan elite reaksi tersebut ditanggapi dengan ketaksaan (ambiguitas). Satu pihak menanggapi seadanya sambil menarik simpulan tergesa-gesa yang melihat setiap masalah hanya dari angle integrasi-disintegrasi. Karena itu segala bentuk pernyataan dan tuntutan “kemerdekaan” atau “pemisahan diri dari negara Indonesia” yang dikumandangkan oleh rakyat hanya dilihat sebagai euforia yang pada saatnya nanti akan mereda dengan sendirinya.

Pihak yang lain, yang lebih bertendensi sektarian dan partisan, melihat berbagai gejolak yang terjadi sebagai parameter untuk menilai bahwa ada kelompok (antagonistik agama/ideologi) separatis yang ingin memisahkan diri dari negara Republik Indonesia. Stigma separatis ini makin parah ketika setumpuk atribut agama mendompleng padanya. Jadilah apa yang kita lihat di Aceh, Ambon, Poso dan Papua.

Perspektif ini memosisikan manusia tak lebih seperti mur dan baut dari mesin induk bernama “negara”. Rakyat adalah pelengkap kekuasaan negara, bukan penentu. Ketika rakyat bersuara, elite politik berdalih “rakyat itu siapa, kan sudah ada perwakilan rakyat di DPR?”

Kata orang, itulah demokrasi yang menjadi kata kunci berlangsungnya dinamika kebangsaan menuju fase pematangan kesadaran sosio-politik dalam konteks Indonesia. Asumsi itu tidak salah. Namun, ketimpangan yang terjadi ialah bahwa selama ini konsep demokrasi yang sarat dengan dimensi kemanusiaan populis sebagai basic value yang tidak bisa ditawar-tawar, ternyata mengalami pergeseran paradigma menjadi wacana politik yang semu. Sehingga, lagi-lagi pokok persoalannya bukan pada aspek formalitas di mana kita masih berada di bawah bendera Indonesia, tetapi lebih pada aspek eksistensial: apakah kita masih merasa sebagai manusia Indonesia?

Salah satu persoalan besar yang belum terselesaikan sampai saat ini ialah masalah ketimpangan dalam proses pembangunan yang telah berlangsung selama ini. Ketimpangan ini mewujud dalam bentuk pemiskinan dan penindasan rakyat yang justru hidup di dalam suatu wilayah dengan sumber daya alam yang subur dan potensial. Rakyat, atau dalam hal ini masyarakat adat, mengalami penggusuran secara sistematis melalui implementasi produk undang-undang yang berlaku di mana mereka tidak diperhitungkan sebagai manusia dengan segenap eksistensi yang melekat padanya. Eksistensi masyarakat adat bahkan cenderung dianggap sebagai “orang-orang liar” yang menghambat pembangunan.

Di sisi lain, pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan bahkan percepatan ekonomi menuntut tersedianya tanah yang luas untuk lahan industri besar. Pulau Jawa yang selama ini berperan sebagai sentra industri tidak mampu lagi memenuhi tuntutan tersebut. Oleh sebab itu dibuat strategi pembangunan yang mengarahkan anak panahnya ke wilayah timur sebagai wilayah yang dianggap masih “kosong”. Dimulailah suatu babakan baru yang sarat dengan fenomena penghancuran pranata kehidupan masyarakat lokal. Derasnya arus pembangunan membuat perubahan dalam struktur sosial dan kultural masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang sah-sah saja, tetapi ketika perubahan sosial sama sekali jauh dari keramahan untuk memahami karakteristik manusia sebagai subjeknya, maka perubahan itu hanya akan menjadi bumerang bagi manusia.

Gereja-gereja di timur Indonesia

Perubahan sosial adalah realitas kemanusiaan yang tak terelakkan. Setiap masyarakat, cepat atau lambat, sedang dan terus berubah. Akselerasi dan intensitas dampak perubahan sosial antarwilayah berbeda-beda, tergantung pada akseptabilitas masyarakat lokal. Fenomena perubahan sosial atau pembangunan lalu menjadi persoalan kompleks ketika paradigma pembangunan yang berkembang di suatu wilayah diterapkan secara paksa di wilayah lain yang karakteristik masyarakatnya sangat berbeda. Karakteristik masyarakat meliputi struktur penalaran tradisional menyangkut dirinya sebagai manusia dan hubungan antarsesama manusia, relasi kosmik dengan lingkungan, hutan, tanah dan laut, dimensi intensionalitas dengan “yang ilahi” (Supreme Being).

Semuanya itu membentuk pola-pola jaringan makna kebudayaan yang memengaruhi persepsi dan perilaku sosial masyarakat. Terputusnya salah satu mata rantai yang menghubungkan pola-pola kultural tersebut sudah pasti menimbulkan gejolak sosial-psikologis yang pada gilirannya memuncak menjadi aksi perlawanan massif.

Apa yang terjadi di Aceh, Kalimantan, Makassar, Kupang, Ambon dan Papua merupakan kristalisasi sikap masyarakat yang merasa dilecehkan hak-hak budaya mereka, dan menjadi masyarakat marjinal yang mengemis di tanah sendiri. Mengemis minta kemerdekaan, pembagian hasil pembangunan, otonomi seluas-luasnya, meminta agar ada anak daerah yang duduk di kabinet, dan seterusnya. Reformasi dikumandangkan agar rakyat tidak lagi menjadi pengemis di tanah mereka sendiri, melainkan agar mereka berhak menjadi tuan atas tanahnya. Itu berarti ketergantungan struktural pada “Jakarta” sebagai sentra administrasi pemerintahan harus direduksi menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang kreatif dan fleksibel namun tetap dalam perspektif kritis.

Dalam perspektif kritis itulah gereja-gereja di timur memegang peranan sangat penting sebagai lembaga yang menjalankan fungsi kontrol sosial. Gereja-gereja di timur [sebenarnya] mempunyai kekuatan dan peluang untuk mendorong masyarakat atau rakyat agar berani memutuskan ikatan ketergantungan penuh pada pemerintah. Pertimbangan fundamentalnya yakni bahwa manusia pada hakikatnya adalah citra Allah yang merdeka, yang menjadi tuan atas dirinya sendiri sekaligus hamba bagi Tuhannya.

Aspek kemerdekaan dan pelayanan adalah dialektika yang seharusnya berkembang dalam seluruh dimensi kehidupan menggereja secara baru. Aspek kemerdekaan membuat gereja gelisah akan segala bentuk penindasan dan marginalisasi populis. Sementara aspek pelayanan mendesak gereja untuk selalu shock dalam solidaritas kemanusiaan universal.

Gereja di Maluku: Catatan Pengalaman Lokal

Gejolak pertikaian yang terjadi khususnya di Maluku harus dipahami dalam bingkai visi di atas. Persoalan Maluku sudah menjadi persoalan yang rumit dan menggurita. Masalah pengungsi, relokasi alami maupun artifisial, rehabilitasi sosial dan psikologis, pembenahan struktur kewenangan aparat pemerintahan dan militer di daerah yang terkesan “kurang darah”, pengerahan pasukan militer fantastis untuk sebuah wilayah seperti kota Ambon yang bergerak seolah-olah tanpa komando yang jelas, dan terakhir pro-kontra laskar jihad, dan sebagainya, makin berbelit seperti benang kusut yang susah dicari pangkal atau ujungnya.

Dalam konteks ini, gereja-gereja di Maluku mempunyai peranan vital yang sangat menentukan keberlanjutan hidup bersesama. Pertama, gereja harus lebih dulu membenahi visinya (visi teologis dan visi sosial-politik) terhadap hubungan antara gereja dan pemerintah, serta menentukan posisi yang lebih leluasa untuk bersikap kreatif-kritis terhadap segala kebijakan negara (atau pemerintah). Untuk itu gereja membutuhkan masukan lintas ilmu dan simpul jaringan analisis pada lembaga pendidikan tinggi sebagai think-tank.

Kedua, otoritas kepemimpinan gereja harus merupakan otoritas kolektif, bukan otoritas individu tertentu. Otoritas kolektif yang dimaksud bukan semata-mata hanya dari segi struktural, tetapi juga fungsional-kontekstual, yang memberikan ruang bagi role-sharing pada level kepemimpinan jemaat-jemaat lokal tanpa kehilangan visi bersama. Di sini diperlukan suatu dekonstruksi kesadaran teologis yang mengutamakan dinamika daripada retorika.

Ketiga, akumulasi kekecewaan masyarakat pada umumnya yang mencapai kulminasi dalam manifestasi kekerasan dan konflik yang terjadi tidak harus menjadi pengalaman pahit gereja dalam menginternalisasi setiap persoalan yang merebak dalam masyarakat luas maupun tubuh jemaat lokal.

Gereja tidak boleh bergaya Pilatus, melainkan harus bergaya Kristus yang tidak pernah menarik diri dan mencuci tangan dari setiap problem. Ini hanya terwujud bila gereja-gereja menjaga keterjarakan kritisnya dengan entitas negara. Itu berarti gereja-gereja (khususnya di timur Indonesia) harus berani menjadi gereja yang [tetap] tegak berdiri di atas “puing-puing” sosial yang, seperti kata Peter Berger, sudah menjadi piramida kurban manusia.

Gereja seperti ini menjadi simbol perjuangan dan spiritualitas kristiani yang menuntut pembebasan dari segala bentuk ketergantungan dan penindasan yang menghancurkan kehidupan rakyat (bukan saja “jemaat”). Dalam seluruh dinamikanya, ia tampil sebagai tangan Allah yang terulur untuk mengangkat sesama dari sumur kemiskinan, perangkap penindasan dan membangun kembali semangat cinta kasih di antara puing-puing harapan manusia yang hancur, tanpa harus takut pada kekuasaan manusia.

Gereja sejati bukan gereja yang megah, tetapi gereja puing-puing, yang temboknya berlubang agar bisa melihat keluar dirinya, yang atapnya terbakar agar anugerah Allah yang pedis seperti sengatan matahari dapat dirasakan, namun juga menyejukkan seperti curahan air hujan. Gereja bukan hegemoni, gereja adalah solidaritas. Gereja yang dibangun di atas solidaritas kemanusiaan adalah gereja yang menghancurkan hegemoni dirinya dan ada bersama dengan manusia yang mengalami kehancuran. Gereja hanya dapat hidup dengan solidaritas sejati atas kemanusiaan. Siapakah yang bisa menyangkal bahwa Yesus selama hidupnya selalu berada dalam kesadaran untuk menghancurkan hegemoni meskipun ia sendiri dihancurkan?

Gedung gereja bisa dibakar dan dihancurkan, tetapi solidaritas tidak. Oleh karena itu, Paulus menganalogikan gereja sebagai tubuh Kristus, Allah yang memanusia. Hanya dengan cara memanusia, Allah dapat merasakan kepedihan, penderitaan dan pengharapan manusia. We becomes a human being since God being a human. Dengan memanusia pula Allah membangun hubungan dengan manusia lain. Seperti satu tubuh, kata Paulus, kita menjadi manusia di antara manusia lain. Akta ilahi ini merupakan transfigurasi ruang dan waktu transendental kepada dimensi ruang-waktu kontemporer, kasat mata.

Kita (gereja-gereja di Indonesia) sudah saatnya [atau terlambat?] untuk memantapkan pijakan solidaritas pada realitas konkrit kehidupan menggereja di Indonesia. Gereja-gereja tidak sekadar hidup dalam ruang dan waktu, melainkan berproses di dalam ruang-waktu tersebut. Menarik untuk disimak kata Anthony Giddens dalam Central Problems of Social Theory (1979), yang mengamati bagaimana semakin suatu masyarakat itu maju, semakin interaksi sosial terentang dalam ruang dan waktu (hlm. 201-210). Kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi membebaskan manusia dari kekangan ruang dan waktu, yang seakan menguap, mengalami proses dissolusi.

Dalam konteks itulah kita sebenarnya menemukan pemaknaan esensial kehadiran Allah bersama-sama dengan manusia. Sebuah densitas (pemadatan) ruang dan waktu yang mempersempit jurang antarentitas. Menurut saya, kata kuncinya di sini adalah “solidaritas”. Tanpa solidaritas, relasi antarmanusia (yang dalamnya gereja juga ada) berada dalam rentang waktu dan keterjarakan ruang yang absurd. Tanpa solidaritas, gereja sedang teralienasi dari konteksnya dan tidak berproses secara konsisten.

Penutup

Gumulan ringkas yang terurai di atas sebenarnya hanya menuju pada satu kutub kesadaran kognitif bahwa hidup dalam solidaritas itu bukan gampangan, enak dan enteng. Tetapi butuh keberanian yang sadar (bukan asal-asalan atau nekat) untuk menceburkan diri dalam praksis. Praksis di sini tidak hanya dipahami sebagai “kerja” tapi juga sebagai komunikasi yang diterangi kesadaran rasional.

Fenomena pengerasan spirit sektarian dan puritan yang sementara berlangsung dalam bangsa kita saat ini adalah indikator empiris terjadinya pemampatan komunikasi antarentitas bangsa yang luar biasa parahnya. Suatu gerak dalam sindrom Fleeming dengan high-consequences risk (Giddens). Apakah kita harus tinggal diam? Wallahualam. Yang jelas bagi saya, semakin kita diam [pasif?], semakin kita kehilangan spirit Injil sebagai suatu berita pembebasan yang seharusnya bergelisah tiada henti dalam pergulatan kontekstual. Diam itu sikap, tapi diam bukan gerak. Pada saat-saat tertentu Yesus memang diam, tapi dia tidak berhenti bergerak atau melakukan gerakan.

Untuk konteks Indonesia, yang diperlukan oleh gereja-gereja bukanlah diam, melainkan suatu gerakan. Gerakan untuk mencairkan kebekuan komunikasi yang dipagari oleh semangat sektarianisme, gerakan melakukan penetrasi ke simpul-simpul politik dan lintas agama. Bagaimana caranya? Berbicaralah, bergeraklah, jangan tinggal diam!






Reformasi Misi Gereja: Apa Lagi?

7 12 2007

Tulisan sederhana ini didasarkan pada asumsi bahwa gereja-gereja di Indonesia merupakan “anak kandung” dari konteks gumulnya. Artinya, dinamika kontekstual keindonesiaan dipahami sebagai sebuah proses “bersalin” yang melaluinya gereja secara berkesinambung melahirkan bentuk-bentuk baru cara menggereja di Indonesia. Pergulatan panjang menafsir tradisi ajaran gereja yang diadopsi sejak periode pekabaran injil, keterlibatan emosional-politis dalam pergolakan politik lokal di beberapa daerah, partisipasi aktif dalam pergerakan nasional kemerdekaan Indonesia dan pembangunan nasional pascakemerdekaan, hingga keterperangkapan dalam konflik sosial di sejumlah daerah yang penuh darah dan penderitaan, menjadi rangkaian konteks sosio-historis yang – sadar atau tidak sadar – telah membentuk karakter eklesiologis gereja Indonesia.

Karakter eklesiologis itu juga dideterminasi oleh paradigma misiologi Kristen yang terus mengalami pembaruan dan reinterpretasi. Hakikat gereja adalah misi Kristus. Gereja bukanlah organisasi politik, meskipun ia hidup dan bertumbuh dalam suatu realitas politik dan kekuasaan manusia. Gereja juga bukan suatu “kumpulan orang-orang suci” atau “organisasi sorgawi”. Keterlibatan sosial-politisnya tidak terhindari karena memang itulah karakteristik gereja. Dalam arti luas, politik adalah dimensi vital dunia ini dimana Allah berkarya dan umat-Nya dipanggil untuk merespons. Seperti dikatakan Dieter Hessel dalam Reconciliation and Conflict: Church Controversy over Social Involvement (1980:15), “…the church cannot be politically indifferent… All spiritual-moral issues have political dimensions, and all political decisions have spiritual-moral implications. So we have to think both ways about religion and politics’.”

Gereja adalah institusi mandataris yang menjalankan suatu grand-narrative pembebasan manusia dari keterbelengguan diri akibat keterbatasannya dalam memahami hidup dan eksistensinya. “Institusi” di sini bukan hanya dalam arti kelembagaan, melainkan suatu entitas (keseluruhan pemaknaan diri secara total dalam ruang dan waktu). “Mandataris” berarti bahwa gereja bukan berada untuk dirinya sendiri tetapi untuk orang lain. Jadi, gereja selalu berada dalam gerak ke luar, bukan ke dalam; inklusif bukan eksklusif. Seluruh gerak dan visi gereja tidak muncul begitu saja, tetapi didasarkan pada cara dan proses memaknai penga­laman-pengalaman iman yang diinterpretasi dari Alkitab. Gereja mengemban mandat untuk memberitakan perjumpaan pengalaman imannya kini dengan pengalaman rohani dari Alkitab. Alkitab ditempatkan sebagai sebuah buku yang menarasikan bagaimana manusia mengekspresikan pengalaman-pengalaman iman dalam kenyataan hidup di dunia. Pemahaman Alkitab sebagai “firman Tuhan” tidak dipahami secara harfiah bahwa Tuhan berbicara langsung kepada manusia, melainkan Tuhan berfirman melalui pengalaman-pengalaman hidup manusia. Oleh karena itu, manusia harus belajar membaca dan menafsirkan pengalaman-pengalaman hidupnya sendiri untuk memahami kehendak Tuhan. Hanya dalam paradigma semacam itulah makna sola scriptura menjadi lebih terbuka, bukan eksklusif dan rigid.

Jika eksistensi dapat dipahami sebagai “cara mengada”, maka cakupan maknanya meluas ke seluruh bidang kehidupan yang digeluti manusia. Artinya, tidak ada satu pun ranah hidup manusia yang tidak bisa disentuh oleh gereja. Semua ranah hidup manusia adalah ranah menggereja dalam arti seperti di atas. Dengan demikian, dalam konsep menggereja sebenarnya tidak berlaku dikotomi profan-sekular. Dikotomi itu justru membatasi secara naïf hakikat misiologi gereja yang termanifestasi dalam petualangan teologis tanpa batas. Untuk apa? Untuk memahami siapa dan apa fungsinya dalam dunia riel tempat ia hidup dan bertumbuh.

Perjumpaan Agama-agama

Pertanyaan tentang untuk siapa dan apa fungsi [meng]gereja dalam dunia riel merefleksikan keterarahan gereja keluar dirinya. Jika bergerak keluar, berarti ia membuka dirinya untuk mengalami perjumpaan dengan “yang lain”. Suatu perjumpaan selalu mengandaikan terjadinya interaksi dan komunikasi. Terjadi dialog.

Secara sosiologis, gereja adalah lembaga religius yang berdiri di atas ideologinya sendiri. Artinya, gereja memiliki landasan ide yang dianggap mengandung kebenaran absolut. Di atas kebenaran absolut itu gereja hidup. Namun, di luar dirinya ada banyak lembaga-lembaga religius lain yang juga berdiri di atas ideologinya sendiri. Oleh karena itu, ketika gereja bergerak keluar untuk berjumpa dengan agama-agama lain, sebenarnya terjadi diskursus mengenai kebenaran-kebenaran absolut (perhatikan: “kebenaran” dalam bentuk jamak, bukan tunggal).

Jadi, pemahaman misiologis Kristen (dalam batasan ini) mesti dipahami sebagai suatu “percakapan” (conversation), bukan “pengkristenan” (conversion). Kristenisasi, atau apapun namanya, adalah suatu bentuk penindasan, bukan percakapan. Penindasan selalu memosisikan ada pihak yang kuat atau benar, pada satu sisi, dan pihak yang lemah atau tidak benar, pada sisi lain. Pola relasinya adalah subordinasi. Sementara percakapan selalu memosisikan “yang lain” dalam pola relasi egaliter dan setara (equal).

Realitas kehidupan beragama di Indonesia selama ini mengindikasikan secara kuat bahwa agama-agama masih terbelenggu dalam pemaknaan “kebenaran absolut” yang tunggal. Hal inilah yang menyebabkan banyak sekali benturan interpretatif karena masing-masing agama ingin memperebutkan hak milik atas satu “kebenaran absolut”. Apa yang terjadi pada gilirannya adalah penindasan demi penindasan. Tidak ada perjumpaan, tidak ada percakapan, tidak ada komunikasi egaliter. Bahasa penindasan adalah bahasa kekerasan. Di sinilah letak problem agama-agama dalam membangun komunikasi antariman.

Menjumpai agama-agama lain secara komunikatif dan egaliter semestinya juga menjadi cara baru menggereja jemaat-jemaat Kristen di Indonesia. Kita percaya bahwa Allah sudah “berfirman” dalam pengalaman sejarah kita selama ini, terutama pada realitas konflik dalam konteks pluralitas sosial. Seharusnya kita belajar dari “firman Tuhan” itu bagaimana membangun cara hidup kristiani dalam konteks multikultural dan multiagama di Indonesia. Komunikasi dan relasi egaliter antarkomunitas bukan hanya dibangun berdasarkan asas persamaan budaya atau nenek moyang (pendekatan homogenitas), melainkan mesti pula dibangun berdasarkan asas perbedaan, yang memperkaya pengalaman hidup bersama setiap komunitas (pendekatan multikultral).

Misi gereja yang masih bercorak “pengkristenan” mengindikasikan bahwa cara kita menggereja masih sangat bersifat kolonial (relasi subordinasi), yang pada gilirannya menimbulkan resistensi karena dianggap telah merenggut “kemerdekaan” beragama orang lain. Bagaimana kita merumuskan “percakapan” seperti apa yang dapat kita lakukan dengan agama-agama lain sangat ditentukan pada apakah kekristenan kita di Indonesia masih berkutat pada hal-hal “sorgawi”, ataukah sudah secara sadar mengarahkan hidup pada kemanusiaan dengan seluruh situasi problematiknya.

Desakan Globalisasi dan Krisis Nasional

Globalisasi ekonomi telah menimbulkan efek domino yang mengubah kebijakan politik negara-negara di dunia. Desakan globalisasi yang diikuti oleh berkembangnya teknologi informasi-komunikasi secara signifikan telah membuka sekat-sekat antar­komunitas dunia yang selama ini terisolasi, sehingga menjadi transparan. Namun jika dicermati, seluruh proses perubahan massif akibat globalisasi ini sebenarnya mengarah pada lahirnya bentuk-bentuk neo-imperialisme yang tak kalah bengisnya dari periode kolonialisasi abad-abad lampau. Mekanisme pasar bebas membuka peluang sangat besar bagi negara-negara maju untuk mengeksploitasi kekayaan negara-negara dunia ketiga sebagai kompensasi pembayaran hutang-hutang luar negeri yang tak terlunaskan (karena itu negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, sebenarnya hidup dari hutang-hutang itu). Lilitan hutang luar negeri dan kewajiban untuk melunasinya telah melumpuhkan seluruh mekanisme politik dalam negeri suatu negara. Hampir seluruh kebijakan dalam negeri suatu pemerintahan tidak lagi didasarkan pada kebutuhan rakyatnya, melainkan “dipaksa” untuk menyesuaikan diri dengan keinginan negara-negara maju pemberi donor.

Neo-imperialisme abad ke-21 secara nyata telah memarjinalkan rakyat dunia ketiga dan menciptakan mekanisme politik-ekonomi dehumanistik. Rakyat dunia ketiga tertawan dalam sistem perekonomian global dan tetap menjadi korban berbagai praktik ketidakadilan dan kekerasan struktural. Ketidakberdayaan masyarakat dunia ketiga lantas melahirkan lingkaran kekerasan, karena manusia terkondisikan dalam pola relasi kom­petitif yang secara signifikan menggeser hakikat kemanusiaan sebagai subjek menjadi objek-objek ekonomi. Harga diri manusia tidak lagi dilihat utuh dan eksistensial, tetapi direduksi menjadi sebuah nilai ekonomi untuk kepentingan mesin birokrasi dan korporasi.

Konteks globalisasi ekonomi dan krisis nasional yang ditimbulkannya ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Kemampuan untuk melahirkan sebuah cara alternatif hidup bersama yang kembali menempatkan kemanusiaan sebagai subjek akan sangat ditentukan bagaimana gereja (dan juga agama-agama lain) merumuskan dan mengimplementasikan misinya secara kontekstual. Daya tarik ekonomi dimana kemanusiaan diposisikan sebagai objek menjebak masyarakat (jemaat) ke dalam sebuah gaya hidup konsumeristis yang dilandasi oleh semacam shoping libido, yakni hasrat untuk berbelanja tanpa batas demi kepuasan semata. Belanja bukan lagi sebuah tindakan ekonomi secara sadar untuk memenuhi kebutuhan hidup­nya, namun demi kepuasan diri semata.

Globalisasi ekonomi dan krisis nasional juga melahirkan proses pemiskinan dan marjinalisasi komunitas-komunitas lemah, serta semakin memperkuat atau memperkaya kelompok-kelompok kecil konglomerat. Resistensi sosial muncul di mana-mana sebagai akibat rakyat kecil kehilangan hampir seluruh hak hidupnya dan tergilas oleh birokratisasi politik-ekonomi yang jelas-jelas menguntungkan segelintir elite-elite politik dan ekonomi. “Kompetensi” dan “kompetisi” menjadi terminologi kunci dari seluruh proses globalisasi ini. Siapa yang tidak berkompeten, ia tak layak berkompetisi. Siapa yang tidak masuk dalam arena kompetisi (atau menjadi kompetitor yang kompeten), ia akan tergusur tanpa ampun.

Apakah konteks globalisasi semacam ini telah menjadi bagian dari proses berteologi gereja-gereja Indonesia abad ke-21? Ataukah gereja malah makin asyik masyuk mempersolek dan mempersaleh diri tanpa hirau sama sekali dengan pergumulan kompleks masyarakat dimana gereja hidup dan berkarya?

Teologi Pembebasan dalam Keindonesiaan

Konstelasi konteks yang terurai ringkas di atas tentu bukan dongeng 1001 malam. Itulah konteks berteologi gereja di abad ke-21. Pertanyaannya: Paradigma berteologi seperti apa yang mesti kita konstruksikan dalam realitas semacam itu? Pertanyaan ini menjadi penting karena akan sangat menentukan pemahaman misiologis gereja saat ini. Jika tajuk bagian ini memakai istilah “teologi pembebasan”, itu berimplikasi pada dua hal: (1) hakikat teologi sebagai sebuah praksis pembebasan dan (2) salah satu aliran pemikiran teologi yang berkiblat pada praktik ketidakadilan ekonomi.

Pertama, hakikat teologi sebagai sebuah praksis pembebasan. Teologi Kristen lahir dan berkembang sebagai konsekuensi dari interpretasi Injil (kabar sukacita) kepada orang-orang tertindas. Tetapi Injil bukan hanya sebuah kabar gembira, melainkan action. Hal ini secara gamblang ditampilkan oleh para penulis Injil dalam kisah dan ajaran Yesus Kristus. Dalam kisah kelahiran Yesus, misalnya, dituturkan bahwa para gembala (representasi kaum marjinal) tidak hanya menerima kabar kelahiran Yesus dari malaikat, tetapi juga disuruh pergi untuk mencari bayi itu. Itu berarti, Allah menyingkapkan matra keilahian-Nya untuk ditemukan oleh manusia di dalam suatu realitas kemanusiaan. Para penulis Injil secara implisit juga menunjukkan bahwa orientasi misi Yesus bukanlah untuk mencari “pendukung” (supporter), melainkan “murid-murid” (disciples). Pendukung sulit belajar dari orang yang didukungnya dan biasanya berkepentingan mendapatkan bias kekuasaan dari mereka. Berbeda dengan murid-murid. “Murid-murid” adalah komunitas yang belajar dan terus mengalami transformasi karena selalu berjalan dan hidup dengan sang guru. Sebagaimana pula fungsi profetik Yesus, yang selalu berpikir dan bersikap kritis terhadap dinamika masyarakatnya. Bukan menjauh dari masyarakatnya, melainkan bergumul bersama masyarakatnya. Dalam fungsi sedemikian, seorang nabi (PL) dan Yesus (PB) sering dianggap sebagai pemberontak oleh penguasa karena dalam kiprahnya tidak berpedoman pada arus utama (mainstream), tetapi pada “kebenaran” yang berpihak kepada korban ketidakadilan struktural.

Kedua, istilah teologi pembebasan secara eksplisit digunakan oleh salah satu tradisi pemikiran teologi yang konsern terhadap praktik-praktik ketidakadilan ekonomi. Basis teoretis teologi pembebasan ini merupakan kolaborasi konseptual dan reflektif antara pesan pembebasan Kristus dan kritik Marxisme terhadap kapitalisme. Sebagai arus pemikiran teologi yang kritis, teologi pembebasan (sempat) tidak popular dalam diskursus teologis gereja-gereja di Indonesia. Mazhab teologi ini dikuatirkan akan menghambat dinamika pembangunan nasional yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Itu berarti memosisikan gereja vis-a-vis negara. Jika itu terjadi bisa berbahaya. Seperti kegetiran yang terbersit dalam untaian kata pengantar bukunya Compassionate and Free yang baru terbit di Indonesia 28 tahun kemudian, Marianne Katoppo menulis, “Pada awal tahun 1980 ada penerbit Katolik di Indonesia yang mau menerbitkannya. Almarhum Justinus Kardinal Darmojuwono, yang turut menghadiri ATC I (Asian Theological Conference, pen.) itu, sudah membuat Kata Pengantar. Ternyata penerbit tersebut membatalkan niatnya tanpa memberikan alasan. Maklum, pada waktu itu Orde Baru yang berkuasa, yang tidak bersahabat dengan theologia pembebasan. “Theologia seorang perempuan Asia” memang digolongkan dalam kategori theologia pembebasan.” (Compassionate and Free – Tersentuh dan Bebas: Teologi Seorang Perempuan Asia, 2007:xvii).

Hipotesis ini tentu tidak valid lagi ketika gereja-gereja hidup dalam kenyataan ketimpangan ekonomi dan terus membisu. Teologi pembebasan dalam arti kedua ini sebenarnya mendorong gereja agar terus-menerus mendekonstruksi pesan profetiknya secara baru sesuai dengan perkembangan zaman. Sebagai yang demikian, teologi Kristen atau gereja bisa berdialog dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang menyiapkan piranti kritis bagi proses penajaman praksis berteologi.

Tantangan konteks abad ke-21 sungguh-sungguh menantang gereja untuk merekonstruksi arus pemikiran teologinya secara kritis. Mindset tradisi berteologi yang lebih terarah pada mencari “pendukung” mesti dikritisi secara terbuka sebagai sebentuk pola menggereja yang berorientasi pada kekuasaan kompetitif. Teologi pembebasan menawarkan alternatif cara menggereja yang lebih berorientasi pada pembentukan komunitas “murid” yang terus-menerus belajar mencari kehendak Tuhan dalam pengalaman sosial dan pribadi manusia. Sang murid hidup dalam realitas sosial-politik, tetapi menolak untuk dikooptasi dan dikorbankan.






Marinyo dan Andarinyo

7 12 2007

Dalam kosmologi orang Maluku, tete-nene moyang berada dalam posisi ambang (liminal). Istilah ini dipopulerkan oleh Victor Turner berdasarkan hasil penelitian antropologis mengenai pola hidup dan kebudayaan salah satu suku di Afrika. Turner menemukan bahwa seluruh interaksi social dan pola-pola kebudayaan masyarakat suku itu selalu berada dalam krisis yang membutuhkan sebuah moderasi di antara jejaring makna hidup manusia. Ritual-ritual yang dilakukan sebenarnya bermuara pada dua hal penting: (1) menjaga keseimbangan relasi-relasi substansi kosmos; dan (2) menyiasati krisis sebagai mekanisme alamiah yang membawa manusia pada pemaknaan-pemaknaan baru dalam ranah kebudayaannya. Di sinilah Turner melihat liminalitas sebenarnya merupakan konseptualisasi kultural yang menggiring pada masyarakat bebas struktur.

Struktur sosial (atau struktur apapun), dalam interpretasi Turner, hanya menjadi sebuah mediator bagi pertautan jejaring makna dalam kehidupan manusia. Struktur tidak pernah rigid atau baku. Dia selalu berada dalam “lingkaran hermeneutis” (terminology George Gadamer) atau “eksternalisasi-objektivasi- internalisasi” (terminology Peter Berger). Struktur bentukan manusia selalu berada dalam “krisis” yang membuatnya selalu berada dalam posisi ambang atau liminal. Dalam kerangka pikir ini, struktur penalaran (rasionalitas) manusia pun tak pernah terkristal secara padat. Selalu ada kelenturan-kelenturan untuk beradaptasi dengan krisis-krisis yang dialaminya. Dalam masyarakat “bebas struktur” setiap manusia tidak terbelenggu dalam fragmen-fragmen budaya yang parsial. Seluruh kosmos dilihat sebagai jejaring relasional antar-substansi kosmos. Tidak ada batas secara riil. Batasan yang ada hanya sebuah rekayasa rasional manusia untuk memahami realitas parsial.

Kembali pada tete-nene moyang. Selama ini kita, melalui rasionalisasi atas nama teologi Kristen, melakukan pembatasan-pembatasan pada aras kognisi untuk menerima satu realitas parsial dan mendiamkan realitas-realitas kosmos yang lain (atau yang oleh Franz Wijsen disebut “realitas meta-empiris”).[1] Hal ini tentu mesti dipahami dalam konteks sejarah ruang dan waktu tertentu. Pemahaman-pemahaman teologis yang kita adopsi harus dilihat sebagai sebuah euforia Pencerahan yang membawa serta keagungan-keagungan peradaban Barat (dengan rasionalitasnya), yang kawin-mawin dengan gagasan-gagasan teologi para zending.

Evangelisasi pada abad-abad yang lampau sebenarnya telah menciptakan benturan peradaban yang hebat. Namun karena berlangsung dalam piranti kolonialisasi, benturan peradaban tersebut kemudian terbungkus dalam “kebisuan”. Kendati demikian, memori kolektif masyarakat tetap mempersoalkannya sebagai proses hermeneutik sosio-kultural yang tak pernah usai. Dalam kosmologinya, orang Maluku memposisikan entitas tete-nene moyang sebagai yang bermatra ganda: tete-nene moyang itu bukan “orang” dan bukan “Tuhan”. Entitas ini berada pada posisi liminal (ambang). Kesadaran cultural ini membentuk sebuah struktur penalaran yang lentur dalam memahami sebuah “realitas”. Kosmos adalah sebuah wilayah tak terbatas yang dalamnya manusia merayakan kekayaan khazanah ekspresi budayanya. Oleh karena itu proses mediasi (penjembatanan) hubungan antar-substansi kosmos terus berlangsung (atas/bawah, ke laut/ke darat, dsb).

Apa implikasinya dalam kehidupan sosial orang Maluku? Contoh paling kentara ialah idiom “sagu salempeng dipata dua”. Idiom budaya lokal menunjukkan pada dua realitas: konflik dan akomodasi; baku malawang dan baku polo. Sagu adalah lambang hidup orang Maluku. Dan ketika ia dibagi dua, itu sebenarnya menunjuk pada adanya krisis hidup. Tetapi krisis hidup itu kemudian secara sadar membawa pada sebuah tindakan sharing (berbagi) agar basudara lain juga menikmati hidupnya bersama-sama. Liminalitas dinikmati sebagai sebuah keniscayaan social. Dalam kondisi itu, moderasi-moderasi dibutuhkan agar setiap krisis membawa pada pemaknaan hidup yang baru.

Di manakah struktur? Struktur bergerak secara elastis untuk menampung gerak perubahan yang tak terelakkan. Jadi “relasi antar-substansi kosmos” lebih diutamakan ketimbang “struktur”. Struktur hanya menjadi penting sebatas difungsikan sebagai “moderator” bagi terjaganya jaringan makna; bukan malah mereduksi makna hidup itu sendiri.

Jika seluruh perspektif kebudayaan itu diletakkan pada proporsi kritis dalam membaca fenomena kepemimpinan gereja di Maluku, maka kita akan tiba pada dua hal:

(1) Kualitas manusia. Kualitas manusia yang dimaksud bukan hanya dalam arti particular sebatas kualitas intelektual. Kapasitas intelektual penting, karena tanpa itu seluruh proses akan kehilangan pendasaran-pendasaran rasionalitasnya. Tetapi yang tidak kalah penting ialah kapasitas emosionalnya dalam menjelajahi dinamika persoalan-persoalan yang dihadapinya.

(2) Kapabilitas struktur. Struktur kepemimpinan tidak boleh terpenjara dalam sekat-sekat artificial yang menghambat kelenturannya. Struktur kepemimpinan, bila mau diidealkan, harus menjadi perangkat moderasi jejaring makna agar krisis-krisis yang dihadapi mampu disiasati sehingga menjadi “makna baru”. Demikian seterusnya.

Kualitas manusia dan kapabilitas struktur menjadi acuan utama kita dalam merancang-bangun perspektif menggereja kita di masa depan. Keterjebakan pada pesona figure pada gilirannya hanya membatasi jarak pandang kita terhadap horizon masalah yang sedang kita geluti. Sebaliknya, aksentuasi berlebihan pada kapabilitas struktur malah akan bermuara pada upaya menafikan kualitas manusia demi mengamankan struktur atau kebijakan. Proses moderasi macet dan membekukan relasi-relasi kemanusiaan.

Di sinilah kepemimpinan gereja (GPM) diletakkan sebagai proses bergumul dalam lumpur bersama jemaat-jemaat dan seluruh realitas kemanusiaan. Dalam beban persoalan gereja yang begitu berat, kita tidak membutuhkan kepemimpinan berkarakter marinyo,[2] yang bisanya hanya berkoar-koar atau berkhotbah dengan intonasi yang dibuat-buat untuk memberi kesan wibawa, tanpa suatu perspektif fundamental mengenai gelutan jemaat-jemaatnya. Kita tidak mungkin juga membutuhkan kepemimpinan berkarakter andarinyo,[3] yang tidak tahan duduk lama untuk mendengarkan keluh-kesah jemaat-jemaat atau pergumulan kemanusiaan. Mau yang mana? Ini hanya sebuah tawaran.



[1] Franz Wijsen, There is Only One God: A Social-Scientific and Theological Study of Popular Religion and Evangelization in Sukumaland, Northwest Tanzania (Kampen, 1993), hlm. 78-88.

[2] Dalam struktur pemerintahan masyarakat adat di Maluku (Saniri Negri), marinyo tabaos (memberitakan pengumuman dengan suara keras). Dia harus berusaha “menerjemahkan” keputusan Saniri Negri ke dalam terma-terma yang dimengerti oleh masyarakat negri. Dalam konteks ini, fungsi marinyo dapat dianalogikan dengan fungsi Dewa Hermes dalam mitologi Yunani yang menjalankan fungsi sebagai “pembawa berita atau pengumuman dari Saniri Negri”. Marinyo akan berjalan ke seluruh pelosok negri untuk tabaos (berteriak) memberitakan pengumuman bagi warga negri.

[3] Andarinyo adalah capung (dragonfly). Hewan ini biasa dipakai dalam idiom lokal untuk menggambarkan “ketidakbetahan seseorang dalam mendalami suatu pokok atau masalah”: macam andarinyo colo panta (seperti capung yang hanya menyentuhkan ekornya di atas permukaan air dan terbang lagi).





Maarif Award untuk Rakyat Maluku

7 12 2007

Hidup kita sebagai manusia merupakan serangkaian pengalaman-pengalaman dan peristiwa-peristiwa yang selalu mengandung makna. Interpretasi terhadap signifikansi makna-makna itu tentu saja sangat bergantung pada kemauan dan kemampuan seseorang untuk menembus lapis permukaan faktual (apa yang dianggap fakta). Kebermaknaan setiap peristiwa dan pengalaman akan makin memudar ketika peristiwa dan pengalaman terjadi berulang-ulang dan konsisten, sehingga makna kemudian menjadi nalar umum (common sense) yang dianggap sudah terketahui. Padahal di dalam setiap proses, tidak ada pengalaman dan peristiwa berulang yang menyertakan makna yang sama. Panta rei, demikian kata eyang Herakleitos, yang terus mengejawantah dalam filsafat kontemporer yang dikenal sebagai filsafat proses (Alfred North Whitehead). Dengan teropong filsafat proses Whiteheadian, “kebiasaan” pun jika dicermati akan selalu menyelipkan pijar-pijar makna baru, sehingga rutinitas sebenarnya bukanlah keterpenjaraan dalam rigiditas ruang dan waktu, melainkan ketidakmampuan memaknai proses internalisasi yang seolah-olah berulang. Dalam asumsi tersebut, “konsistensi” (keberteguhan) bukanlah sebuah keasyikan untuk menikmati suatu situasi pengalaman begitu saja alias tidak mau berubah. Konsistensi, sederhananya, adalah sebuah pilihan hidup untuk memberi makna tiada henti dalam setiap peristiwa dan pengalaman, serta gerakan pengujian diri terus menerus untuk tidak terperangkap dalam kedangkalan nalar umum atas peristiwa dan pengalaman.

Sebagai yang demikian, keberteguhan (konsistensi) bukanlah suatu pilihan yang gampang di dalam sebuah masyarakat yang kecenderungannya terus berubah. Tidak banyak orang yang mau mengambil pilihan itu dengan setia, karena pilihan semacam itu sama sekali tidak populer dalam tren dunia kontemporer. Tetapi bukan berarti tidak ada orang yang mau mengambilnya, dengan segala risikonya. Sejarah selalu terbingkai dalam narasi-narasi manusia yang berani mengambil pilihan berisiko dan selalu menghindar dari tendensi memenjarakan kebermaknaan setiap peristiwa ke dalam nalar umum semata.

Rasanya tak berlebihan jika peristiwa penganugerahan Maarif Award kepada Pdt. Jacky Manuputty dari Lembaga Antariman Maluku dilihat sebagai sebuah narasi baru dalam khazanah sejarah kemanusiaan di Indonesia, dan di Maluku khususnya. Acara penganugerahan Maarif Award kepada dua orang aktivis kemanusiaan, Ariyanto Sangadji (Poso) dan Pdt. Jacky Manuputty (Maluku), yang digelar Senin malam, 28 Mei 2007 di Taman Ismail Marzuki Jakarta, jauh dari kesan glamor ala festival film Indonesia. Tidak ada selebritis atau pejabat yang hadir. Hanya para kerabat dan sahabat dari kedua orang tadi dan segelintir anak-anak muda serta aktivis kemanusiaan yang memang tekun berprihatin dengan tragedi kemanusiaan yang nyaris menenggelamkan republik ini ke dalam lumpur perseteruan.

Kita bisa menggugat, siapa sih mereka? Apa kriterianya sehingga mereka yang terpilih padahal banyak orang yang undercover juga melakukan karya-karya kemanusiaan dan jauh dari publisitas? Tidakkah ini hanya menjadi semacam ajang figurisasi seseorang ke dalam bingkai ketokohan yang semu, sementara cita-citanya adalah berkarya bagi kesejahteraan kemanusiaan? Semua pertanyaan itu layak diajukan, bahkan bisa ditambah lagi. Soal kriteria, silahkan tanyakan kepada Maarif Institute yang punya gawe. Tetapi apresiasi harus diberikan kepada lembaga yang dimotori oleh sejumlah pemikir Islam Indonesia yang bergerak bersama dengan idealisme sang pendirinya, Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif. Maarif sendiri adalah sedikit figur bangsa yang memiliki konsistensi tinggi memperjuangkan Islam kultural yang inklusif dan demokrasi yang berkeadilan. Sebagai tokoh Islam, ia berani menegaskan bahwa negara Indonesia harus tetap menjadi negara yang berdiri di atas Pancasila; bukan “negara agama” tertentu.

Dengan demikian jelas bahwa apa yang menjadi salah satu parameter pengujian kedua penerima award tersebut adalah ihwal keberteguhan (konsistensi). Sekali lagi, keberteguhan (konsistensi) sebagai sebuah pilihan hidup untuk memberi makna tiada henti dalam setiap peristiwa dan pengalaman, serta gerakan pengujian diri terus menerus untuk tidak terperangkap dalam kedangkalan nalar umum atas peristiwa dan pengalaman. Pemberian award ini pada hakikatnya mesti dipahami dalam konteks apresiasi terhadap seluruh prakarsa dan pemikiran seseorang yang memberi dampak positif dari perubahan sosial dalam suatu masyarakat. Tetapi pemaknaan award itu tidak bisa berhenti pada tataran kognitif belaka. Justru proses penilaian atas konsistensi sedang mulai diuji: apakah klimaks atau antiklimaks? Jadi award ini bukanlah “permen” supaya mereka terus berkarya, melainkan “kritik” atas apa yang sudah mereka lakukan dan apa yang sedang mereka rencanakan agar tidak tergerus oleh disorientasi kultus individu atau figur sentris. Award ini juga membuka ruang bagi publik untuk melakukan penilaian atas seluruh karya mereka dan bersama-sama mengawal seluruh proses yang telah dibangun dalam spritualitas “kemanusiaan yang adil dan beradab”, yang dalam pengalaman keduanya ternyata terdistorsi oleh kedangkalan “ketuhanan yang mahaesa” dan “persatuan Indonesia” sebagai produk ideologi nasionalisme dan religiositas dalam cangkang kebenaran tunggal.

Kekuatan visi Sangadji dan Manuputty nampak dalam pilihan mereka untuk membangun conflict resolution dan rekonsiliasi dengan menggunakan unsur-unsur kearifan lokal. Sesuatu yang rasanya naif di tengah terjangan juggernaut globalisasi yang meluluhlantakkan dinamika kearifan lokal masyarakat Dunia Ketiga. Tak sedikit kaum intelektual mencemooh sinis, mau apa dengan kearifan lokal itu, toh kita sudah dalam sebuah periode ultrasonic. Dalam diskursus modernisme, kearifan lokal memang sudah jadi “besi tua” tetapi gerakan kritik-modernisme (pascamodernisme) telah menelanjangi realitas modernisasi sebagai proses dehumanisasi dengan rasionalitas instrumentalnya. Kedua sahabat kita tadi, Sangadji dan Manuputty, setidaknya telah menjadi cermin untuk melihat wajah kita sendiri sebagai rakyat, sebagai jemaat, sebagai kaum beriman, sebagai warga negara, dalam ranah pergaulan yang lebih manusiawi. Mereka mungkin tidak representatif, tetapi kehadiran mereka dalam ranah publik serta merta menyadarkan kita bahwa masih banyak figur-figur incognito yang mengambil pilihan hidup berkarya bagi kemanusiaan dalam keberteguhan (konsistensi), di tengah terjangan gaya hidup konsumeristik dan hedonistik yang melihat “proses” hanyalah sebagai alur yang menjemukan dan useless, lantas hanya berorientasi pada “hasil”: untung atau rugi. Pilihan untuk konsisten dalam proses merupakan sebuah pilihan eksistensial, karena hidup itu sendiri adalah sebuah proses yang berujung pada sebuah kenisbian – seperti Ayub yang berkata, “dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya”. Konsistensi pada proses adalah konsistensi pada hidup itu sendiri. Viva populi!