Diskusi 5 – Lagi Tentang Amsal

11 12 2007

Diskusi ini saya kira menjadi penting karena kembali mengarahkan seluruh orientasi akademik kita kepada substansi pendidikan itu sendiri. Pemerian sejarah kenapa tulisan itu diterakan oleh bung Theo justru menyadarkan betapa “hal-hal yang biasa dilihat” sering terabaikan dalam telusuran historisnya. Sehingga tampilannya hanya dilihat dalam performa dekoratif dan simbolis, tetapi awamakna.

Kita sendiri tidak bisa memungkiri bahwa langgam intelektual kita [sebagai negara pewaris tradisi intelektual Eropa] masih kental terpetakan dalam rasionalitas Pencerahan yang positivistik. Ilmu-ilmu dan teori-teori seolah-olah mengalami kemarau spiritualitas etis yang memberi ruang bagi bernafasnya humanisme yang egaliter. Ujung-ujungnya, ilmu pengetahuan menjadi sebuah ranah perdebatan teoretik yang jauh dari solusi kemelut kemanusiaan. Dalam konteks itulah saya kira penawaran “etika” menjadi sebuah cita-cita agar ilmu pengetahuan tidak makin mandul dalam menyumbang keberlanjutan habitus baru yang memberi kegairahan dalam intersubyektivitas manusia.

Mungkin itu sebabnya meski terengah-engah dalam maraton epistemologinya, postmodernisme terus melakukan pencarian nilai-nilai etis yang selama ini tenggelam dalam “grand-narrative” ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus mengabdi kepada kemanusiaan, bukan sebaliknya. Label “Kristen” dalam akronim UKSW tentu bukan sebuah “kebetulan” tapi suatu “kesengajaan” yang mesti terus dimaknai dalam konteks gumul baru. Kekristenan itu bukan sebuah cap atau stempel supaya kita beda dengan “yang lain” atau menjadi “lain dari yang lain”. Melainkan sebuah “peristiwa” yang selalu berkelindan dengan konteksnya. Kita tidak bisa melepaskan “peristiwa Kristen” itu dari historisitasnya. Karena menjadi kristen tidak sama maknanya dengan beragama kristen. Menjadi kristen adalah sebuah proses demitologisasi institusionalisasi spiritualitas agar tidak terperangkap dalam struktur-struktur kepongahan despotik.

Meskipun tidak ada lagi pertanyaan dari Pak Wasi, saya malah berpendapat percakapan kita justru baru dimulai. Asumsi saya: seluruh proses pencarian dan pengejawantahan keilmuan kita ternyata tidak dapat terelakkan dari pendasaran teologis dalam praksis berilmu kita. “Teologi” tentu bukan suatu ranah epistemik eksklusif bagi orang-orang yang menyebut diri “teolog”. “Teologi” bukan persoalan kaum pendeta yang rajin berkhotbah. Tetapi “teologi” adalah roh dari seluruh proses kita untuk terus “menjadi” sahabat bagi bumi dan seluruh penghuninya.

Ilmu pengetahuan [yang katanya berawal dari perintah Tuhan untuk “menguasai bumi”] ternyata telah menjadi biang kerok eksploitasi lingkungan hidup dan penghancuran tatanan relasional manusia dan bumi. Kita sedang terseret dalam krisis ekologis yang mengerikan [bayangkan saja bagaimana nasib saudara-saudari kita yang sedang “ditenggelamkan” oleh semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas di Sidoarjo]. Mereka sedang menjadi komunitas tanpa identitas [hilang tanah, hilang sejarah, hilang masa depan].

Kalau dulu, kakek-kakek kita doyan sabung ayam demi kesenangan, sekarang ilmu pengetahuan memberi “ayam” yang lebih canggih dalam wujud senjata nuklir. Negara-negara sedang siap menyabung nuklir. Konflik sosial tidak lagi mengerikan tapi menjadi sebuah guyonan realitas yang menghibur kaum opresor dan meninabobokan rakyat dalam mitos SARA.

Di situlah pengujian terhadap seluruh karakter berilmu kita berlangsung. Apakah kita hanyalah pengecer-pengecer teknologi dan ilmu pengetahuan, ataukah sudah menjadi pencipta-pencipta yang “rasa tahu diri” (etis) dan bukannya “rasa diri tahu” (rigid) sehingga kita tidak [lagi] terperangkap dalam kepongahan bak “gajah” yang merasa diri besar dan siap melabrak siapa saja.





Diskusi 4 – Kenapa Harus "Takut Akan Tuhan"?

11 12 2007
Diskusi ini berawal dari pahatan teks Alkitab di tembok kampus UKSW. Terima kasih kepada bapak Wasi yang sudah “menjewer” kita yang muda-muda ini untuk siuman kembali terhadap suatu teks yang mungkin selama ini kerap kita baca [dan mungkin hafal] tapi lalai untuk membumikannya dalam sebuah wujud spiritualitas akademik yang bernas.

Menurut saya, ke-ngalor-ngidul-an yang dikhawatirkan jika wacana ini diperbincangkan adalah suatu kecemasan yang tergesa-gesa. Demikian pula dengan prapaham bahwa diskusi ini akan menjadi sebuah “jalan tak berujung” adalah sebentuk a priori yang [rasanya] tak perlu dirasa begitu. Bukankah hidup ini sendiri adalah sebuah “percakapan tak berujung” dengan banyak hal yang [mungkin] hanya berjeda dalam kematian? [Kendati tak seorang pun tahu apakah di balik kematian itu kita masih berdialog dengan Sang Tuhan yang tak terdefinisikan oleh lingkup-lingkup rasionalitas kemanusiaan]. Simpulannya: mari kita terus bercakap-cakap dalam terang pencerahan rasionalitas yang gelisah mencari sepenggal “Kebenaran”.

Karena pak Wasi mulai dari pahatan di tembok Satya Wacana, saya juga ingin memulai dari situ. Bukan dari temboknya atau pahatannya, tetapi dari teksnya sebagai sebentuk simbolisasi yang hanya bermakna dalam tradisi [intelektual] yang sudah, sedang dan terus dibangun dalam praksis ber-UKSW.

Kalau saya tidak salah, ungkapan itu dikutip dari Amsal 1:7. Amsal adalah bagian dari sekumpulan kitab yang dijilid dalam bundel Perjanjian Lama. Saya kira, kita jangan cepat-cepat melompat untuk meng-”yesus”-kan kata TUHAN yang ada di situ. Kata Gaston Bachelaard, nanti kita bisa mengalami “keretakan epistemologis”.

Setiap kitab mempunyai konteks dan tradisi penulisannya sendiri. Karena itulah, kekristenan tidak mengenal istilah “Firman Tuhan yang turun dari langit” sebagaimana yang dihayati oleh saudara-saudari Muslim atas kitab suci Al-Quran. Tetapi Firman Tuhan yang berproses dalam kesejarahan manusia dan dunia. Alkitab bukan Firman Tuhan, tetapi mengandung Firman Tuhan. Artinya, Firman Tuhan itu tidak termanifestasi dalam “kata-kata” Sang Tuhan [apa benar Tuhan hanya bisa bahasa Arab, bahasa Ibrani atau Yunani?], tetapi dalam “pengalaman-pengalaman kemanusiaan” [perang, kemiskinan, pemerkosaan, perselingkuhan kekuasaan, dsb]. Dalam hermeneutika sosial, seperti yang dilakukan oleh Ricoeur, “pengalaman-pengalaman manusia” adalah transposisi tekstual menjadi diskursus [wacana?]. Ricoeur melihat bahwa kalau kita ingin memahami suatu teks maka kita mesti “membaca”-nya dalam satu keutuhan sistem linguistik dan tanda-tanda bahasa. “Membaca” bagi Ricoeur adalah sebuah cara menafsir (hermeneutik). Karena itulah Ricoeur melihat bahwa realitas pengalaman manusia sebenarnya adalah sebuah diskursus yang menyembunyikan makna tertentu dan oleh karena itu perlu ditafsir. Dalam kerangka itu, alkitab hanyalah sebuah media menampilkan pengalaman manusia yang [sempat] ditulis dalam berbagai bentuk literer, yang kemudian [mestinya] ditafsir agar terkuak apa maknanya [bagi siapa saja yang membacanya].

Amsal adalah kumpulan ungkapan bijak bestari yang didesas-desuskan dalam suatu konteks masyarakat tertentu. “Dia” tidak bisa dimengerti jika dilepaskan dari akar konteksnya. Karena saya bukan “orang Ibrani” saya harus tahu dulu bagaimana sih asal muasal dan penggunaan amsal ini dalam konteks masyarakat ibrani. Asas itu saya kira tidak beda jauh dari kerangka metodologi keilmuan sekarang ini: petakan dulu konteksnya, tentukan akar masalahnya, cermati implikasinya dsb. Sama juga dengan kebingungan saya kenapa kata “by the way” kok bisa jadi “ngomong-ngomong” dalam pembahasaan indonesianya. Atau bagaimana mesti memahami “mangan ora mangan ngumpul” dalam logika kultural kejawaan. Atau kenapa orang Papua [laki-laki] hanya memakai koteka untuk menutupi “burung”nya [lalu yang perempuan?], jika alasannya hanya takut digigit nyamuk, padahal seluruh bagian tubuh lain terbuka lebar untuk dilahap si nyamuk.

Kata “takut” dalam kajian psikologi agama sebenarnya adalah asal-muasal religiositas itu sendiri. Mau diterjemahkan sebagai “hormat” atau “segan”, intinya ya karena manusia merasa takut terhadap “sesuatu” yang tidak mampu dikendalikannya [misal: kekuatan alam]. Upaya mengendalikan “rasa takut” inilah yang melahirkan temuan-temuan teknis agar hidup tidak lagi terpenjara dalam keterbatasan diri. Termasuk kemudian bagaimana cara mengendalikan “tuhan” yang [katanya] ada di balik kekuatan-kekuatan alam. Pengendalian itu [dianggap] berhasil ketika apa yang terjadi ternyata bisa dijelaskan dalam korelasi dengan sang tuhan itu. Inilah yang dialami Max Weber ketika mengatakan bahwa “kekristenan adalah agama yang rasional”. Artinya, orang kristen bisa menjelaskan kenapa begini-begitu atau harus buat ini-itu dalam korelasi dengan sang tuhan yang semula ditakuti itu.

Weber adalah seorang keturunan yahudi. Dia mengenal tradisi religius nenek moyangnya. Apa yang khas dari Yudaisme ialah keberanian mereka untuk memunculkan konsep “perjanjian” antara “Yahweh” dan manusia. Yahweh ini sebuah nama yang tak jelas. Penamaan ini hanyalah menunjuk pada superioritas tuhan israel dalam pantheon dewa-dewa bangsa-bangsa sekitar (Amon, Kanaan, dsb). Tuhan Israel dipercaya [oleh orang Israel] lebih unggul atas dewa-dewa lain. Jadi secara implisit eksistensi dewa-dewa lain dipercaya, hanya jabatannya di bawah Yahweh. [Katanya sih, superioritas Yahweh itu hanya bikinan orang Israel yang terserang demam sindrom minoritas dan cognitive dissonance pecundang.] Keunikan si Yahweh ini hanya pada kemauannya untuk “berdialog” dengan manusia. Ini konsep religius yang tak lazim karena jarang dipraktikkan oleh bangsa-bangsa non-Israel. Lantas lahirlah konsep “perjanjian”. Sederhananya, manusia bisa kok berdialog bahkan bernegosiasi dengan si Yahweh itu. Lihat saja bagaimana Abraham bernegosiasi dengan Tuhan soal keputusan Tuhan untuk membumihanguskan Sodom dan Gomora.

Itu kalau kita mau lihat kasusnya Israel alkitab. Fenomena religiositas sejenis juga terjadi dalam berbagai masyarakat dan kebudayaan, seperti nampak dalam berbagai kajian fenomenologi agama oleh Mircea Eliade. Atau juga banyak kajian antropologis agama. Semua kajian itu sebenarnya membuka perspektif kita untuk melihat bahwa apa yang disebut “kebenaran” agama pada hakikatnya adalah quasi-kebenaran. Kemeriahan “kebenaran” yang dipamerkan agama-agama baiknya dilihat sebagai wujud kekuataan tafsir manusia yang terekspresi dalam simbol-simbol kultural, termasuk bahasa. Karena itu saya sih setuju-setuju aja dengan tesis John Hick (lihat “God Has Many Names”) bahwa penamaan realitas ultima itu sebenarnya hanyalah suatu penamaan budaya. “Tuhan” adalah hasil konstruksi sosial manusia. Itu juga yang digarap Max Dimont dalam bukunya [yang kemudian dilarang beredar di Indonesia beberapa tahun lalu] “Desain Yahudi atau Kehendak Tuhan”.

Kesimpulan:

  • Ilmu pengetahuan itu lahir dari ketakutan manusia pada realitas yang melampaui dirinya.
  • Ketakutan itu mendorong manusia untuk mencari cara mengendalikan kekuatan itu.
  • Cara mengendalikan itu semakin tersistematisasi ke dalam kerangka epistemologi dan aplikasinya yang makin valid.
  • Dari situ terbentuk genealogi pengetahuan. Karena itulah Francis Bacon menggelari temuannya dalam rumusan “knowledge is power”; atau Michel Foucault yang mendekonstruksi pengetahuan sebagai “metode untuk memenuhi hasrat berkuasa”.

Dalam konteks pahatan di dinding kampus saya melihatnya sebagai nasihat agar jangan takut untuk “menjadi takut” kepada apapun atau siapapun, termasuk Tuhan. Karena ketakutan kepada yang “paling ditakuti” [Tuhan] justru akan melahirkan sikap berani untuk menghadapi apa yang “tidak ditakuti” [realitas hidup]. Jadi, orang yang “takut Tuhan” justru adalah orang yang tidak boleh berdiam diri atau berhenti berpikir, melainkan mestinya terus bereksperimen dengan imannya agar tidak “cengeng” dan bisanya minta “permen” terus dari Tuhan. Orang yang takut Tuhan adalah orang yang berusaha tidak tergantung sepenuhnya pada Tuhan tapi berusaha bernegosiasi dengan Tuhan. Berdialog dengan Tuhan bukan dalam relasi tuan-hamba, tapi “sahabat” (kayaknya Yesus pernah bilang begitu tapi lupa di injil mana). Konsekuensi “perjanjian” atau “persahabatan” adalah kedua belah pihak harus dalam posisi setara, baru bisa terjadi percakapan. Kekristenan Barat [mungkin] lupa itu sehingga lebih suka conversion daripada conversation dengan budaya-budaya yang belum di”Barat”kan.

Jadi “Satya Wacana”, menurut saya, tidak bisa disempitkan menjadi [hanya] kesetiaan pada “alkitab”, karena Firman Tuhan itu tidak terpasung dalam “alkitab”. Mestinya kita “satya” pada “pengalaman-pengalaman kemanusiaan” atau dalam bahasa Whitehead “occasion of experience”, yang mesti terus menjadi diskursus keilmuan dan keimanan kita [kristen, islam, dll]. Pengalaman manusia itu bukan jargon tapi realitas. Teks yang sesungguhnya itu adalah konteks. Apakah UKSW sudah sungguh-sungguh mengkontekstualisasikan ke-“satya wacana”-annya?





Diskusi 3 – Lagi Tentang Creative Minority

11 12 2007

Catatan ringkas berikut ini merupakan tanggapan terhadap beberapa pendapat beberapa rekan mengenai topik “Meruntuhkan Mitos Creative Minority”. Terima kasih untuk tanggapan dan penjelasannya yang insightful.

Sebenarnya saya hanya mengajukan presuposisi saya berdasarkan perspektif saya tentang interpretasi wacana creative minority. Saya tidak bermaksud menjelaskan karena konsep itu sudah dicetuskan dan dijelaskan oleh Arnold J. Toynbee dalam magnum opus-nya A Study of History. Terima kasih rekan Theo Litaay yang sudah membantu menjernihkan sedikit tentang creative minority dari sang empunya.

Rekan Eka mengatakan ”sepertinya anda salah memahami apa yang dimaksud dengan creative minority”. Memang apa yang saya deskripsikan “panjang lebar” itu adalah presuposisi interpretatif saya terhadap diskursus creative minority. Jika ada yang melihatnya dari perspektif yang berbeda, silahkan. Tetapi bukan berarti saya harus menilainya sebagai “salah memahami” kan?! Tentu saja, perspektif teman-teman sama sekali “tidak melenceng” karena melihatnya dari angle yang berbeda. Bagi saya, perspektif rekan Eka malah makin menjernihkan sudut-sudut yang masih gelap dalam perspektif saya tentang creative minority.

Sebagai diskursus, saya agak ragu bisakah kita memahami creative minority dalam sebuah ranah epistemik yang terisolasi [entah dari konteksnya, entah dari bias interpretatifnya]? Maksudnya, pendasaran logis apa yang membuat creative minority dikatakan ”tidak ada hubungan dengan mayoritas atau minoritas agama, suku, ras, dll”? Apalagi dikapling dalam ”konteks pembicaraan kita”?

Mari kita lihat sejenak apa yang dikatakan Arnold J. Toynbee dalam A Study of History:

{p. 26} When we are confronted with something that we do not understand, we try to make it intelligible to ourselves by tracing a connexion between it and something else that we believe we understand better. Explanation is essentially an act or process of reference.

One step towards explaining a phenomenon is to find its context. ‘Research into meaning cannot be free from synthesis, for only by putting anything into a wider context can its meaning be seen.’ A fact cannot be established or made intelligible unless it is related to other facts or is part of a larger system.

Toynbee melihat bahwa peradaban dapat dibangun dan berdaya tahan lama ketika tersedia creative minority yang mampu melahirkan ide-ide dan metode-metode untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam suatu masyarakat. Ide-ide dan tantangan-tantangan itu kemudian dijiplak oleh mayoritas. Artinya, creative minority itu mampu mengonstruksi suatu mode of thought (gaya bernalar) and mode of ought (etika).

Nah, creative minority itu bukan malaikat, bukan? Creative minority itu kan juga manusia yang struktur penalarannya sangat dipengaruhi oleh konstruksi sosial-budaya masyarakatnya. Demikian pula dengan etika sebagai seperangkat nilai yang dilihat sebagai ”baik”, ”bermoral”, ”bermanfaat” dsb. Artinya, merujuk pada statement Toynbee di atas, penjelasan suatu fenomena harus dilihat dalam konteksnya.

Saya bukan Toynbeean. Saya tidak tahu apakah Dr Noto adalah Toynbeean atau hanya sekadar memanfaatkan istilah Toynbee itu karena dianggap sesuai dengan visi/misinya dan semangat zamannya. Saya hanya ingin melihat creative minority sebagai sebuah diskursus yang mesti dipahami dalam lalu-lintas diskursus keindonesiaan yang sarat dan padat dengan multi-interpretasi. Saya ragu apakah memang Toynbee sendiri tidak melihatnya dalam sebuah jejaring makna dengan bidang-bidang kehidupan lain.

Mari kita lihat sejenak lagi apa katanya:

A disintegrating civilization was apt to enter into intimate relations with one or more other representatives of its species; and these encounters between civilizations gave birth to societies of another species: higher religions. At the beginning of the inquiry I had tried to explain the higher religions, like the national and other varieties of parochial states, in terms of civilizations. The last stage of my survey of the history of civilizations convinced me that this way of looking at the higher religions did not, after all, give anything like an adequate explanation of them.

Bukankah sesuatu yang unik ketika Toynbee mengatakan bahwa perjumpaan peradaban-peradaban ternyata melahirkan “spesies” baru dalam masyarakat yaitu “agama-agama tertinggi” yang sudah pasti bukan agama seperti yang kita pahami (Kristen, Islam, Budha, dsb). Nah di situlah persoalan saya dengan Toynbee karena dia hanya memahami jatuh-bangunnya peradaban dalam sebuah perspektif yang sangat Barat dan sangat individual. Mari kita lihat lagi apa katanya:

Civilizations arise not because of genetically superior individuals (there are none) or because of favorable geographical environment, but because of a creative response by a minority of individuals to a situation of special difficulty.

Edward Said dalam bukunya Orientalism mencoba untuk mendekonstruksi civilization yang konotasinya sangat dipengaruhi oleh ”cara pandang” Barat terhadap ”non-Western” yang kemudian dalam sejarah ternyata membentuk identitas ”kita” yang bukan Barat dalam posisi diametral dengan identitas Barat. Kita melihat Barat sebagai “individu” tetapi Barat melihat kita hanya sebagai “kerumunan tanpa identitas” (crowd). Pendekatan Said ini yang kemudian dikembangkan oleh Gayatri Spivak dengan interpretasi post-colonial. Tujuannya adalah untuk mendekonstruksi proyek-proyek rasionalisasi Barat (sosiologi, antropologi, sejarah, sastra dll) yang hanya berujung pada pelestarian hegemoni Barat atas non-Barat.

”Sejarah” ala Toynbee itu juga yang dikritik oleh Chr. Dawson sebagai yang tidak bebas nilai dan jika tidak hati-hati malah kecemplung dalam lubang hegemoni. Demikian Dawson,

There is as yet no history of humanity, since humanity is not an organised society with a common tradition or a common social consciousness. All the attempts that have hitherto been made to write a world history have been in fact attempts to interpret one tradition in terms of another, attempts to extend the intellectual hegemony of a dominant culture by subordinating to it all the events of other cultures that come within the observer’s range of vision. (Chr. Dawson, The Dynamics of World History, p. 273)

Kembali kepada creative minority. Saya percaya bahwa ketika Toynbee bicara soal creative minority dia tidak bicara dalam sebuah “ruang hampa” tapi dalam sebuah konteks sosial masyarakat tertentu. Dalam hal itu Toynbee pun tak bisa mengelak bahwa apa yang dia sebut peradaban itu (apalagi peradaban Barat) tidak bisa dilepaskan dari intervensi agama-agama. Karena apa? Karena agama-agama mampu memberikan kekuatan legitimasi moral yang sangat dibutuhkan agar sebuah peradaban mampu bertahan lama. Seperti yang diyakini oleh Peter Beger dan Thomas Luckman bahwa religion is an effective agency of legitimation because it creates an ordered and total world in which all experience has a meaningful place (Nicholaus Abercombe, Class, Structure and Knowledge: Problems in the Sociology of Knowledge, 1980, hlm. 156).

Craig R. Prentiss (ed.), Religion and the Creation of Race and Ethnicity (2003) menyajikan 14 artikel tentang pertautan agama dan etnisitas yang melahirkan kesadaran identitas, nasionalisme, resistensi, konflik sosial, dsb:

  1. “A Servant of Servants Shall He Be”: The Construction of Race in American Religious Mythologies – Paul Harvey
  2. Myth and African American Self-Identity – Eddie S. Glaude, Jr.
  3. Almost White: The Ambivalent Promise of Christian Missions among the Cherokees – Joel Martin
  4. Indigenous Identity and Story: The Telling of Our Part in the Sacred Homeland – Nimachia Hernandez
  5. Jew and Judaist, Ethnic and Religious: How They Mix in America – Jacob Neusner
  6. Blackness in the Nation of Islam – Aminah Beverly McCloud
  7. Theologizing Race: The Construction of “Christian Identity” – Douglas E. Cowan
  8. Loathsome unto Thy People: The Latter-day Saints and Racial Categorization – Craig R. Prentiss
  9. Our Lady of Guadalupe: The Heart of Mexican Identity – Roberto S. Goizueta
  10. Myths, Shinto, and Matsuri in the Shaping of Japanese Cultural Identity – John K. Nelson
  11. Islam, Arabs, and Ethnicity – Azzam Tamimi
  12. Cosmic Men and Fluid Exchange: Myths of Arya, Varna, and Jati in the Hindu Tradition – Laurie L. Patton
  13. Religious Myth and the Construction of Shona Identity – Chirevo V. Kwenda
  14. Sacral Ruins in Bosnia-Herzegovina: Mapping Ethnoreligius Nationalism – Michael A. Sells

Di Indonesia, kita bisa menemukan proyek intelektual “membangun peradaban” dalam karya-karya Nucholish Madjid (alm.) yang hendak menempatkan Islam sebagai fondasi sivilisasi Indonesia (masyarakat madani). Cak Nur sangat terpengaruh dengan gagasan “civil religion” di Amerika Serikat yang dikembangkan oleh Robert Bellah berdasarkan analisisnya terhadap agama Tokugawa di Jepang yang ternyata menjadi pendorong utama kemajuan masyarakat Jepang [jelas di sini creative minority tak dapat dilepaskan tautannya dari nilai-nilai agama dan etnisitas].

Saya sengaja menulis judul-judul ke-14 artikel itu hanya untuk menawarkan betapa perspektif kita tentang peradaban dan lahirnya creative minority tidak bisa dilepaskan dari kompleksitas diskursus yang mengitari dan melilitnya. Saya tidak tahu apakah menurut teman-teman judul-judul artikel di atas bisa dianggap merefleksikan diskursus peradaban atau tidak. Saya hanya ingin menempatkan creative minority sebagai sebuah diskursus kontekstual di Indonesia. Bahwa itu dilahirkan oleh Toynbee, okelah… Tapi ketika ”dia” dibaca dan dialami oleh orang lain, ”dia” tidak lagi menjadi milik Toynbee sehingga kita harus menempatkannya dalam struktur penalaran manusia Indonesia dengan pengalaman-pengalamannya yang khas.

Saya setuju dengan rekan Neil bahwa kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam perangkap ideologisasi ”mayoritas-minoritas” yang sempit, serta ”perlu merujuk kembali kepada kira-kira apa yang sebetulnya ingin dikatakan dengan pemilihan konsep ini”.

Jika rekan Neil melihat bahwa ”konsep creative minority yang dirujuk pak Noto dari Toynbee tampaknya lebih menekankan peran kepemimpinan”, saya kira itu akan menjadi lebih menarik dan kontekstual dalam bidang pendidikan.

Itu pula yang sebenarnya saya maksudkan dalam paragraf

Julukan “Indonesia Mini” kepada UKSW bukanlah sebuah jargon atau faktor kebetulan, tetapi sebuah metodologi praksis untuk menciptakan sebentuk kesadaran multikultural di kalangan para intelektual yang ditempa di UKSW. Perjumpaan kultural generasi kampus inilah yang nantinya diharapkan membentuk karakteristik kepemimpinan dan intelektual yang sadar budaya dan jauh dari kesan “culun” seperti “katak yang malas keluar dari tempurung”. Dalam konteks itu, UKSW adalah sebuah laboratorium sosial-budaya. Kita semua sedang bereksperimen dengan kemajemukan sosial masyarakat Indonesia. Namanya juga “laboratorium”, kita menguji segala sesuatu di dalamnya dan tidak semua eksperimen itu berhasil, bukan? Pasti kita akan menjumpai kegagalan-kegagalan, yang justru makin membuat kita mengenal dimana letak kesalahan kita dan artikulasi formula seperti apa yang mesti tetap dipertahankan dalam serangkaian interaksi sosial yang diuji itu.

Melahirkan seorang pemimpin tidaklah ekuivalen dengan mencetak teknokrat atau spesialis ilmu pengetahuan. Sebagaimana kritik filsuf Spanyol Jose’ Ortega Y. Gasset (1883-1955) yang pada tahun 1930 menyimpulkannya dalam “The Revolt of the Masses” bahwa peradaban diruntuhkan oleh “the masses and creative minorities”.

Ortega menulis: The prototype of the mass man is the technocrat or the specialist, the person who knows very well a small corner of the universe, but who is ignorant of the rest. The creative minority is a man of dynamic excellence. This man is a hero in that he exerts his will in service to values and goals that are larger than himself; he lives the noble, rather than the common life, in that he lives it as a discipline for which he constantly trains.

Kalau rekan Eka berpendapat bahwa “Cita-citanya UKSW diharapkan menghasilkan orang-orang yang kreatif, yang berbeda dengan sarjana pada umumnya, orang-orang yang jumlahnya sedikit, tetapi memberi warna pada dunia”. Di mana perbedaannya? Dari sudut ilmu pengetahuan? UKSW tidak menyajikan genre ilmu pengetahuan yang baru. Dari sudut penelitian? Mungkin. Tapi tema-tema penelitian toh tidak berbeda dalam kerangka teoretiknya dengan universitas2 lain (daftar pertanyaan bisa diperpanjang).

Dalam pandangan saya, UKSW harus berbeda dari caranya memahami konteks keindonesiaan yang multikultural ini sehingga karakter intelektual yang dibentuk di dalamnya tidak hanya melahirkan teknokrat dan spesialis untuk memenuhi tren dunia kerja kontemporer (meski itu bukan tak penting), tetapi dari UKSW lahir intelektual-intelektual yang memiliki karakter ”Indonesia”: artinya, tidak terperangkap dalam arogansi ”kebarat-baratan” yang ”sok tahu” tapi sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang ”Indonesia”. Ujung-ujungnya, kita malah menciptakan hegemoni baru. Para intelektual UKSW mestinya berbeda karena memiliki kompetensi untuk membangun ”strategi kebudayaan” (pinjam istilah Van Peursen, Strategi Kebudayaan). Tapi bagaimana bisa membangun strategi kebudayaan jika kita sendiri tidak mengenal karakteristik masyarakat kita dan mengalami kehidupan multikultural (agama, etnis, bahasa, dsb) sebagai bagian dari praksis pengalaman komunitas ”kampus”?

”Menuju Kampus Populis” hanyalah gagasan eksperimental berdasarkan pengalaman ber-UKSW dan ber-Salatiga yang sangat singkat. Dan itu adalah refleksi intelektual dan spiritual saya yang sebenarnya juga dicerahi oleh Berger dan Luckmann yang believe that one of the main weakness of analyses in the sociology of knowledge, besides their determinism, is their concentration on theoretical thought or, worse, on the written ideas of intellectuals…Within knowledge defined in this way, theoretical speculation plays only a minor role. What is of much greater importance is the knowledge appropriate to the conduct of everyday life and, following Schutz, Berger and Luckmann believe that the reality of everyday life is the paramount reality. (Abercombe, hlm. 146).

Begitulah!





Diskusi 2 – Meruntuhkan Mitos Creative Minority

11 12 2007

Hal pertama yang saya rasa sangat mengusik karena kerap muncul, bahkan seolah menjadi mitos ialah konsep “creative minority”. Indonesia ini kan rumah kita bersama to? Ataukah masih ada yang merasa “ngontrak” atau “indekos” di Indonesia? [Istilah “ngontrak” di sini beda maknanya dengan social contract-nya mbah Rosseau]. Kalau rasa “teralienasi” itu masih ada, saya rasa di situlah pekerjaan rumah kita untuk terus menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa negara-bangsa ini lahir karena tuntutan proyek nasionalisme bersama lintas golongan [etnis, agama, kebudayaan, aliran politik dll]. [nah, saya rasa kontrak sosialnya Rosseau bisa dipakai dalam proyek ini] Ya karena itulah namanya “Indonesia”, bukan Republik Islam karena Islam [anggap diri] mayoritas atau Republik Jawa [karena etnis Jawa anggap diri lebih banyak jumlahnya]. Namanya “Indonesia” supaya saya yang berkulit sawo matang dan rambut keriting tetap bisa ngobrol bahkan berdebat tegang dalam kesetaraan dengan teman-teman berkulit kuning dan rambut lurus. [nb: tesis itu saya pinjam dari Prof. John Titaley]. Dan obrolan kita bukan siapa yang lebih banyak atau lebih jago tapi tentang kemungkinan-kemungkinan agar hidup bersama yang kental dengan potensi konflik ini bisa dijalani sebagai konsensus budaya.

Julukan “Indonesia Mini” kepada UKSW bukanlah sebuah jargon atau faktor kebetulan, tetapi sebuah metodologi praksis untuk menciptakan sebentuk kesadaran multikultural di kalangan para intelektual yang ditempa di UKSW. Perjumpaan kultural generasi kampus inilah yang nantinya diharapkan membentuk karakteristik kepemimpinan dan intelektual yang sadar budaya dan jauh dari kesan “culun” seperti “katak yang malas keluar dari tempurung”. Dalam konteks itu, UKSW adalah sebuah laboratorium sosial-budaya. Kita semua sedang bereksperimen dengan kemajemukan sosial masyarakat Indonesia. Namanya juga “laboratorium”, kita menguji segala sesuatu di dalamnya dan tidak semua eksperimen itu berhasil, bukan? Pasti kita akan menjumpai kegagalan-kegagalan, yang justru makin membuat kita mengenal dimana letak kesalahan kita dan artikulasi formula seperti apa yang mesti tetap dipertahankan dalam serangkaian interaksi sosial yang diuji itu.

Nah, di situlah saya melihat bahwa proses mengejawantahkan ideal-ideal itu tidak mesti terjadi dalam bentuk-bentuk formal [penerbitan buku, diskusi, dll], melainkan bisa saja mewujud dalam interaksi alamiah. Komunitas “askarseba” saya kira bisa menjadi refleksi “benturan peradaban” yang tidak harus menuju konflik tetapi malah melahirkan kreativitas menyiasati hidup bersama dalam perbedaan. Di situlah, saya mencoba berjarak kritis dengan Mpu Samuel Huntington dan mungkin juga Francis Fukuyama yang nampaknya cenderung mengintip fenomena Asia dan Indonesia dalam “kaca pembesar” Amerikanisme. Dengan “kaca pembesar” itu memang nampak semua yang kecil-kecil di Asia atau Indonesia, tetapi dalam beberapa konseptualisasi mereka lupa bahwa “Ini bukan Amerika, bung!”

Saya tidak merasa nyaman dengan “creative minority” karena saya curiga jangan-jangan konseptualisasinya sebenarnya sudah terserang “sindrom kompleks minoritas” yang malah melumpuhkan kreativitas kita sehingga kita malah jadi salah kaprah dalam banyak kiprah.

Saya sekarang [masih] Kristen Protestan dan dilahirkan dalam kultur Ambon. Apakah itu tanda bahwa saya adalah “minoritas” [entah ukurannya kualitatif atau kuantitatif]? Setidaknya, di kampung saya di Ambon saya masih punya keluarga besar yang menerima saya bukan sebagai “alien”. Dan di kampus pun saya merasa tidak harus berdialek Ambon dan enjoy dengan slank Salatiga. Demikian pula dengan teman2 lain yang dengan enteng ber-“beta”-ria “sonde” dengan aksentuasi daerah mereka yang menimbulkan efek bunyi yang menggelikan di telinga. Tetapi itulah Indonesia kita, kan?

Dalam konteks keagamaan, apakah tepat mengatakan Islam adalah agama mayoritas. Secara umum mungkin ya. Tapi kenyataannya, seorang teman NU sendiri mengakui betapa kuatnya fragmentasi karena banyaknya faksi dalam Islam Indonesia. Misalnya, kelompok Ahmadiyah tetap merasa “teralienasi” dalam arus utama keislaman Indonesia [yang lebih banyak ditentukan oleh tradisi-tradisi besar seperti NU dan Muhammadiyah].

Jadi menurut saya soalnya adalah bagaimana kita mengelola “otherness” kita bukan sebagai upaya pengerucutan kategorial “minoritas” atau “mayoritas”.

Itulah pula sebenarnya yang saya alami sebagai eksperimentasi UKSW untuk mengejawantahkan idealisme keindonesiaan dan ideal-ideal lainnya dalam konteks yang lebih konkrit. Saya kira UKSW serius dengan itu karena pengalaman saya studi di UKSW baru pertama kali saya temukan genre ilmu pengetahuan seperti “Sosiologi Menurut Indonesia” yang sekarang menjadi “Sosiologi Indonesia”. Saya percaya karakteristik sejenis juga bisa ditemukan di fakultas-fakultas lainnya di UKSW.

Sebenarnya itu yang saya maksud dengan pertanyaan “menuju kampus populis”. Itu sebuah pertanyaan retoris yang hendak menggugat kembali apa yang pernah menjadi praksis UKSW [sekarang pun masih hanya tampil dalam performa dan intensitas yang berbeda].

Konsientisasi saya kira berlangsung pada semua aras pendidikan [yang mungkin maknanya mesti lebih luas dari sekadar “mengajar”]. Jika kehadiran UKSW sudah “disadari” sebagai bagian dari dinamika sosial masyarakat Salatiga [yang masih wilayah Indonesia] itu saja sudah merupakan revolusi paradigma pendidikan tinggi Indonesia, menurut saya. Maksudnya, janganlah kita terjebak untuk mengukur yang “nasional” itu selalu harus “made in Jakarta”. Dampak positif kehadiran UKSW [performa, kontribusi iptek, dll] DI SALATIGA, bagi saya itu sudah sebuah prestasi nasional. Hanya banyak orang yang memang enggan belajar dari “yang kecil”. Padahal dari peristiwa biasa “apel jatuh” oleh seorang Newton bisa melahirkan teori gravitasi yang menginspirasi manusia untuk mengatasinya agar bisa menyentuh “big apple” [maksudnya: bulan].

Catatan untuk rekan Neil Rupidara, saya kira artikulasi “grassroot” dan “academic role” mungkin sebaiknya tidak dilihat sebagai aral tapi misi humaniora ilmu pengetahuan. Muhammad Yunus peraih Nobel yang lalu membuktikan bahwa konsep perbankan populis bisa menjadi teladan bahwa misi itu bukan sebuah utopia.





Diskusi 1 – UKSW: Menuju Kampus Populis?

11 12 2007

JAS MERAH – JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH, demikian pernah dikatakan Bung Karno. “Sejarah” memang merupakan aspek penting bagi kita untuk belajar tentang apa yang sudah kita lakukan dan dampaknya bagi masa depan kita sendiri. Kita “belajar” dari sejarah kita. Artinya, kita ingin dibebaskan dari keterbelengguan historis yang membuat kita hanya sibuk mengurus [atau bahkan meluruskan] masa lalu. Tetapi apakah “sejarah” itu? Bagi saya, “sejarah” bukanlah fakta, melainkan perspektif tentang apa yang dianggap fakta. Sebagai yang demikian, kita memang bisa mengeksplorasi jutaan informasi yang kita anggap sebagai “sejarah” [padahal itu hanya kumpulan informasi dan analisis yang reliabilitasnya pun tergantung pada vested interest masing-masing orang].

Saya adalah generasi kampus yang TIDAK “merasakan” langsung pergolakan UKSW yang sudah dibahas rekan-rekan milis. Karena itu, saya merasa urun rembug saya akan mubazir karena toh perspektif saya tidak memadai tentang apa yang saya anggap fakta itu. Catatan-catatan dari para rekan milis sudah cukup memberikan gambaran bagaimana rekan-rekan “outsider” dan “insider” meneropong peristiwa saat itu.

Kita harus mengakui bahwa apa yang pernah terjadi di UKSW sangat mempengaruhi eksistensi dan praksis UKSW selanjutnya. Tetapi apakah tepat jika hanya satu “peristiwa” itu kemudian dipakai sebagai parameter tunggal untuk menilai seluruh cara mengada (atau eksistensi) UKSW? Kalau “kemelut UKSW” pernah dijuluki sebagai pergolakan kampus terhebat, saya justru melihatnya hanya salah satu riak kecil dalam perjalanan panjang UKSW yang tak pernah berhenti bergolak. Maksud saya, pergolakan intelektual di kampus diponegoro rasanya TIDAK PERNAH berhenti pasca peristiwa itu. Dalam konteks itulah saya adalah generasi kampus yang MERASAKAN langsung pergolakan [intelektual] di UKSW [bahkan sampai saat ini].

Persoalannya: mungkinkah kita mentranformasi paradigma sejarah sebagai sejarah “orang-orang besar” dan “lembaga-lembaga besar”, menjadi sebuah sejarah populis atau sejarah rakyat yang termarjinalisasi?

Siapa yang tak kenal “Probowinoto”, “Arief Budiman”, “Th. Sumartana”, “Ariel Heryanto”, “Willy Toisuta”, “John Titaley” dll? Saya mengagumi pikiran-pikiran mereka! Dedikasi mereka terhadap UKSW tentu mesti dilihat dalam sebuah cara pandang yang kontekstual, karena mereka juga dibentuk dalam kultur akademik yang berbeda-beda. Karena itu, tidak mengherankan jika gaya kepemimpinan mereka juga berbeda. Tetapi bukankah itu yang membuat UKSW menjadi makin kaya dengan perbedaan?

Tetapi mungkin kita tidak kenal “Mas Joko” tukang sapu kampus beranak 3 yang juga nyambi jualan singkong di pasar Salatiga, “Mbak Retno” penjual nasi pecel di pinggir kampus, “Pak Warno” satpam kampus, “Mbak Indah” pramugerai wartel dan lain-lain… Mereka termasuk “tokoh” dalam “sistem” atau tidak?

Pernah suatu hari di tahun 2000, saat itu situasi konflik di Ambon sedang memanas, ada sekelompok anak muda yang mengaku datang dari beberapa pesantren menempelkan selebaran-selebaran yang berisi ajakan berjihad ke Ambon di tembok-tembok bangunan di Salatiga. Tak lama kemudian, serombongan anggota BANSER NU melakukan swepping dan merobek-robek selebaran-selebaran yang sudah maupun yang belum ditempel. BANSER NU kemudian mengingatkan kelompok yang menempelkan selebaran itu dengan berkata [dalam bahasa Jawa]: “Ini Salatiga, bukan Ambon. Jangan merusak Salatiga. Jangan coba-coba mengganggu UKSW karena kalian akan berhadapan dengan wong Salatiga!”

Peristiwa itu mungkin peristiwa kecil karena hanya disaksikan oleh sedikit orang. Tetapi peristiwa itu merupakan refleksi kesadaran mendalam akan pentingnya kehadiran UKSW di tengah-tengah kehidupan masyarakat Salatiga. Siapa yang membesarkan siapa? Siapa yang tokoh? Sistem mana yang lebih kokoh? UKSW-kah atau masyarakat Salatiga-kah? Saya kira, kita tidak bisa menafikan keduanya. Masyarakat dan kampus adalah bagian integral dalam orientasi pendidikan kita. Mudah-mudahan kita [yang orang kampus] tidak lupa itu. Sehingga kita selalu siuman bahwa “kebesaran” UKSW tidak hanya ditentukan oleh “tokoh-tokoh besar” dengan sederetan gelar akademik jebolan luar negeri, tetapi juga oleh “rakyat” yang memberikan hidupnya bagi UKSW.

Intermeso

Saya pernah ditanya: UKSW itu di mana? Saya jawab: Di Salatiga. Komentar balasan: “Lho, ada to kampus di kota kecil itu? Mangkanya gak kedengeran namanya.” [Apa hubungan universitas dengan ukuran kota tempat kampusnya? – toh banyak juga “kampus ecek-ecek” yang bertebaran di kota-kota besar; jadi yang “besar” kapabilitas universitasnya atau ukuran kotanya?] Lagi-lagi soalnya: UKSW yang gak bersuara [membisu] atau si penanya itu yang budeg [bolot]? Padahal pengalaman saya, identitas UKSW melekat padu dengan identitas sosial wong Salatiga.

Jika “kemelut UKSW” pernah membuat CEMAS [itu perspektif saya berdasarkan percakapan dengan ibu-ibu tukang cuci baju di Askarseba] rakyat Salatiga karena banyak orang menggantungkan hidupnya pada kehadiran UKSW [langsung dan tak langsung], tidakkah itu menjadi sebuah catatan penting bahwa “sejarah” UKSW sebenarnya adalah juga “sejarah kaum proletar” [pinjam istilah eyang Karl Marx]? Dan oleh karena itu, UKSW juga harus menata masa depan berdasarkan keterlibatannya dalam kehidupan masyarakat marjinal, bukan hanya di Salatiga tapi juga di Indonesia.

Persoalannya: mampukah UKSW [tokoh, sistem, visi/misi, orientasi, ideologi, teologi, kurikulum, faculty development, dll] di masa depan tidak lagi terkooptasi oleh lingkaran elitis di menara gading, tetapi menampilkan eksistensinya sebagai “kampus populis”?

Kalau mau dikonkritkan: kita bisa bertanya apa visi dan misi keindonesiaan yang ditawarkan oleh UKSW tentang bencana berseri sejak akhir 2006 hingga awal 2007 ini. Kok rasanya gak pantes jika kita “membisu” di tengah jeritan histeris kematian yang menimpa rakyat negeri ini. Atau malah asyik nonton tayangan tragis rakyat kecil di tv sambil menikmati batagor panas? Atau hanya tersipu dengan kebinalan kelamin sang anggota DPR dengan penyanyi dangdut – refleksi kebobrokan elite yang bercadar “kepentingan rakyat”. Lantas, hukum ternyata mengarahkan perhatian publik pada kebersalahan “perempuan” yang selalu dianggap “nakal” dalam keliaran sensualitasnya, sementara “lelaki” sebagai lambang keangkuhan tak pernah diutak-atik. Hukum makin menjadi “maskulin” dan kehilangan “feminitasnya”. Akhirnya, cuma yang perkasa dan berduit yang menang, yang kecil dan lemes… emang gue pikirin. Nah, untuk urusan “hukum-menghukum” biar nanti bung Theo cs di fakultas hukum yang mempersiapkan berkas perkaranya.

Mungkin saja, “saya” [daripada mengatasnamakan “kita”] termasuk orang-orang yang lebih doyan beronani intelektual ketimbang melakukan intercourse dengan realitas derita rakyat miskin-tertindas. Padahal [katanya] kita hendak menjadikan pendidikan sebagai konsientisasi untuk menghancurkan “budaya bisu” ketidakadilan yang kerap malah dilestarikan oleh lembaga-lembaga pendidikan [seperti yang diidealkan oleh opa Paulo Freire].





UKSW dalam Pergulatan Kebangsaan Kini

7 12 2007
Mencermati situasi sosial dan keamanan publik di Poso belakangan ini membuat kita semakin cemas. Pasca eksekusi Tibo cs yang divonis bersalah sebagai “dalang” beberapa peristiwa konflik dan kekerasan horisontal di Poso, ternyata tidak membuat situasi sosial makin membaik. Sehingga kemudian beredar rumor di kalangan masyarakat luas: apakah benar orang-orang seperti Tibo cs adalah dalangnya? Ataukah Tibo cs hanyalah “kambing hitam” yang memang diperlukan untuk meredam [atau mengalihkan] energi konflik dalam masyarakat? Ataukah eksekusi Tibo cs itu hanya menjadi cara pihak kepolisian dan hukum “menyelesaikan” kasus Poso? Daftar pertanyaan masih bisa dilanjutkan lebih panjang lagi.

Sejumlah pertanyaan itu mengemuka setelah terjadinya serangkaian aksi teror bom dan kekerasan disertai pembunuhan yang melibatkan kelompok masyarakat tertentu dan aparat kepolisian. Tuntutan sekelompok orang agar pemerintah menarik pasukan Brimob yang di-BKO-kan di Poso dan beberapa orang jenderalnya, nampaknya memang agak aneh. Anehnya ialah: polisi saja [jika memang institusi negara ini diandaikan bersikap netral] tidak mampu menemukan para pelaku aksi teror; bagaimana mungkin mereka bisa ditarik? Keanehan yang berikut ialah: jika mereka menghendaki polisi BKO ditarik maka diasumsikan kelompok ini tahu siapa pelaku aksi teror sehingga mereka tidak membutuhkan kehadiran polisi. Atau, mereka memang mempunyai agenda politik tersendiri yang dirasakan dapat dilakukan dengan “menunggangi” situasi Poso yang tak menentu.

Wapres Jusuf Kalla menanggapi perkembangan situasi di Poso dengan langkah-langkah yang tidak proporsional. Dia memanggil tokoh-tokoh yang pernah menandatangani Perjanjian Malino I. Di antaranya adalah Jafar Umar Thalib, bekas panglima Laskar Jihad yang juga pernah berjibaku di medan Ambon. Langkah yang diambil oleh wapres ini memang nampak seperti sebuah “dagelan politik” yang memuakkan. Orang-orang seperti Tibo cs dengan tanpa ampun bisa dieksekusi [bahkan foto-foto jenasah mereka menunjukkan dengan jelas luka-luka di wajah akibat penganiayaan] , tapi kenapa orang seperti Jafar Umar Thalib bisa lolos mulus? Padahal nyata-nyata pasukan Laskar Jihad di Ambon petantang-petenteng dengan segala jenis senjata api [yang konon polisi Indonesia pun tak pernah memegangnya] . Memang tak berlebihan jika Clifford Geertz menyebut negara ini sebagai “negara teater”.

Dan lagi dalam wawancara di salah satu stasiun TV swasta, JK dengan enteng mengatakan bahwa konflik Poso ini hanyalah ulah sekelompok kecil orang. Mereka melakukan itu hanya karena tidak ingin Poso aman sehingga bisa mengambil keuntungan dari situasi itu. JK benar-benar sedang membodohi publik Indonesia. Kalau memang itu ulah sekelompok kecil orang, kenapa polisi pontang-panting seperti orang linglung menyelesaikan konflik Poso? Kalaulah mereka memang benar hanyalah sekelompok kecil, tapi tentunya untuk melakukan aksi teror dalam skala massif [dengan bom dan senjata api, lalu kemampuan menghilang] diperlukan “orang besar” dan “dana besar” dong. Artinya, untuk apa mereka melakukan itu? Jumlah korban yang besar dan operasi teror yang licin, tentu harus dilakukan untuk kepentingan yang besar dan jangka panjang. No pain, no gain.

Dalam pemberitaan Harian Seputar Indonesia Kamis 2 November 2006 (hlm 1) disebutkan bahwa Kapolri Jenderal Pol Sutanto mengatakan bahwa Polri telah meminta bantuan Ketua Forum Silaturahmi dan Perjuangan Umat Islam Sulteng Adnan Arsal untuk membantu mendapatkan ke-29 tersangka. Tidak disebutkan bantuan seperti apa yang diminta. Tapi dalam kapasitas sebagai masyarakat sipil, rasanya paling banter yang bisa dilakukan adalah bantuan informasi. Itu pun sebenarnya agak lucu juga, karena bukankah polisi dan militer di negara ini memiliki badan intelijen yang tugas pokoknya adalah mengumpulkan informasi dan melakukan pemetaan jaringan kelompok-kelompok yang dicurigai sebagai dalang kejahatan? Bukankah tugas seperti itu sudah dilakukan juga oleh beberapa kelompok masyarakat atau LSM, seperti Crisis Center GKST dan yang lain-lainnya? Informasi seperti apa yang dibutuhkan oleh Polri? Informasi yang memang menunjuk pada terungkapnya fakta konflik Poso ataukah informasi yang “diinginkan” oleh Polri, meskipun tak harus sesuai fakta?

Makin rumitnya konflik Poso ini seharusnya menggelisahkan kita semua sebagai orang-orang UKSW. UKSW pernah dijuluki sebagai “Indonesia Mini” dan kita yakin sampai sekarang pun masih begitu adanya. Julukan itu bukan saja menandai kemajemukan civitas academica-nya, tetapi terlebih menunjuk pada pendekatan keilmuan yang dibangun di atas dasar “spiritualitas” keindonesiaan. Tahun 2000 atas prakarsa beberapa mahasiswa asal Ambon, Halmahera dan Poso dibentuklah semacam kelompok kerja (pokja). Pokja ini bertugas a.l.:
  1. (1) menginventarisasi nama-nama mahasiswa yang keluarganya menjadi korban konflik dan mengusahakan terbangunnya jejaring beasiswa dari berbagai pihak yang konsern agar para mahasiswa dari tiga daerah itu tetap bisa studi;
(2) mencatat setiap perkembangan situasi yang terjadi di tiga daerah konflik tersebut dan membuat analisis situasi, lalu menyebarkannya ke media massa;
(3) berdasarkan analisis situasi tersebut, disusunlah semacam materi kampanye perdamaian dengan tujuan menjaring sebanyak mungkin pihak yang mau terlibat agar publik luas makin mengerti situasi sebenarnya;
(4) melakukan seruan-seruan ke lembaga-lembaga HAM internasional dengan tujuan pihak internasional mampu menekan pemerintah Indonesia agar tegas dalam menghentikan kekerasan dan pembunuhan secara massif di tiga daerah itu;
(5) dan lain-lain.

Seluruh upaya itu memang tidak semuanya membuahkan hasil. Tetapi salah satu hasil yang membuat nama UKSW semakin dikenal di dunia internasional ialah ketika Pdt. Dr. John Titaley diundang untuk hearing di hadapan United States Conference of International Religious Freedom (USCIRF) bersama dengan beberapa orang delegasi dari ketiga daerah itu. Dalam waktu 1 minggu pokja ini bekerja mengumpulkan data dari berbagai sumber, mendisain peta wilayah konflik agar lebih mudah di-display, menulis kronologis peristiwa konflik untuk menemukan sebuah “pola” yang dapat dijadikan bahan analisis, mendiskusikan draft tersebut berkali-kali. Semuanya itu dilakukan di beberapa tempat: asrama unit 7 dan unit 4, di kampus, dan di garasi rumah Pdt. John Titaley [yang untuk sementara disulap menjadi sebuah ruang kerja sederhana dengan 1 unit komputer]. Untuk pengiriman bahan lewat internet digunakan fasilitas internet di Gedung G lantai 4. [Sampai-sampai Satpam pun maklum dan meminjamkan kunci jika memang harus kerja sampai larut malam].

Walaupun agenda hearing itu lebih terfokus pada konflik Maluku, namun beberapa pakar sosiologi, antropologi, politik internasional, “indonesianis” , sejarahwan [termasuk analisis Pdt. Dr. John Titaley] yang turut hadir juga menyampaikan analisis mereka mengenai “Indonesia”. Artinya, mereka menyadari bahwa kontur politik Indonesia-lah sebenarnya yang membuka ruang bagi pecahnya konflik horisontal. Dengan perkataan lain, konflik-konflik sosial yang terjadi di Indonesia lebih banyak dilihat sebagai “akibat” dari konflik-konflik struktural dan ekonomi yang lebih besar. Bahkan turut melibatkan “tangan-tangan asing”.

Peristiwa tersebut tentu menjadi catatan penting dalam sejarah UKSW. Oleh karena itu, mungkin kita juga sekarang mesti melihat kembali peran sosial-politik UKSW [mudah-mudahan belum terpasung] dalam penentuan kebijakan [sipil dan militer] yang langsung atau tak langsung melibatkan nasib ratusan juta anak negeri Indonesia. Kita mestinya optimis bahwa jaringan ikasatya di seluruh Indonesia mampu melakukan sesuatu yang “menggetarkan” Indonesia. Apalagi jika itu dilakukan dalam spirit solidaritas kemanusiaan universal. UKSW bertindak demi kemanusiaan dan keindonesiaan. Bukankah itu sebenarnya maksud mengapa huruf “K” itu [harus] selalu ada di antara “U” dan “SW”?


*Tulisan ini awalnya merupakan materi diskusi yang diposting di mailing list alumni UKSW Salatiga.




Islam-Kristen Dalam Diskursus Kebudayaan dan Etnisitas: Catatan Kecil dari Maluku

7 12 2007
Abstract

In this article I would like to analyze theological perspective of Rev. Dr. Arnold N. Radjawane which had been written in 1960s under the title “Islam in Ambon and Haruku”. His perspective about Islam in Maluku at that time was closely related to his construction of thought as a theologian who studied theology in West (Germany). Through this article I am trying to trace interconnectedness between theological discourse and political context which very influence Radjawane’s view. From such elaboration I am also constructing my critique toward Christian understanding about mission and looking for the opportunities to unfold theological discourse in the context of local culture in Maluku (in this case, Ambon society). Once Radjawane’s article had been used as prime reference about “christianization” in Maluku since he was well-known as one influential church leader in Maluku (he was a chairperson of GPM Synod and actively involved in political party until his retirement). The aim of this article is not to debate the meaning of Christian mission in the past and its sociological effects today but rather to understand interrelationship between text and context that further producing the so-called “cultural discourse” in Maluku society.

Key words: critical discourse analysis, etnisitas, cultural studies

Pengantar

Tulisan ini merupakan tanggapan terhadap artikel Pdt. Dr. Arnold N. Radjawane bertajuk “Islam di Ambon dan Haruku”.[1] Ada dua alasan kenapa artikel itu dijadikan acuan dan sekaligus kritik:

1. Artikel itu memberikan sebuah perspektif teologis yang sangat penting dan kontekstual pada suatu ruang dan waktu tertentu; yang sangat mempengaruhi pandangan orang-orang Kristen terhadap hakikat menggereja dalam tantangan konteks sosial dan budaya masyarakat Maluku (pada saat itu).

2. Artikel itu ditulis oleh seorang teolog muda Maluku dan sekaligus kader pemimpin gereja (GPM) yang sangat potensial. Dapat dipastikan bahwa artikel itu merefleksikan sikap dan perspektif eklesiologis-misiologis GPM saat itu dalam menyikapi realitas konteks gumul GPM.

Pendekatan

Kerangka analisis yang dipakai sebagai pisau untuk membedah tulisan Radjawane itu adalah analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis – CDA). CDA dikembangkan untuk mengidentifikasi kendali-kendali sosial-politis yang diyakini secara aktif mengonstruksi masyarakat pada beberapa tataran.

Sudah banyak kajian yang menggunakan CDA dan ditemukan kerumitan tersendiri untuk menentukan suatu definisi yang tegas-jelas. CDA mempunyai tujuan utama untuk mengidentifikasi ketidaksetaraan sosial-politis yang berlangsung dalam masyarakat. Dari sejumlah definisi, saya membatasi diri dengan merujuk pada definisi Fairclough:[2]

[CDA is the study of] often opaque relationships of causality and determination between (a) discursive practices, events and texts, and (b) wider social and cultural structures, relations and processes; to investigate how such practices, events and texts arise out of and are ideologically shaped by relations of power and struggles over power; and to explore how the opacity of these relationships between discourse and society is itself a factor securing power.

Kata “kritis” menunjukkan pertautan dan akar-akar yang terselubung, juga intervensi, misalnya menyajikan sumber-sumber bagi mereka yang terabaikan dalam proses perubahan. Lacakan terhadap hal-hal yang tersembunyi itu menjadi penting, karena selama ini tidak terlalu jelas bagi masyarakat yang terlibat di dalamnya dan karena itu tidak mampu menghadapinya.

Batsone mengelaborasi lebih lanjut:[3]

Critical Discourse Analysts seek to reveal how texts are constructed so that particular (and potentially indoctrinating) perspectives can be expressed delicately and covertly; because they are covert, they are elusive of direct challenge, facilitating what Kress calls the ‘retreat into mystification and impersonality’.

Fairclough menyelidiki bagaimana cara kita berkomunikasi dikungkung oleh struktur-struktur dan kekuatan-kekuatan lembaga-lembaga sosial yang di dalamnya kita hidup dan berfungsi.[4] Dia mengidentifikasi tiga tataran wacana: [1] social conditions of production and interpretation, yakni faktor-faktor dalam masyarakat yang menggiring pada produksi suatu teks dan bagaimana faktor-faktor itu mempengaruhi interpretasi; [2] process of production and interpretation, yakni bagaimana teks-teks diproduksi dan itu mempengaruhi interpretasi; [3] the product of the first two stages, the text. Fairclough membagi tiga tahapan CDA:[5]

  • Pemerian sebagai tahapan yang berkaitan dengan muatan formal suatu teks
  • Interpretasi terhadap hubungan teks dan interaksi, dengan melihat suatu teks sebagai produk dari suatu proses produksi dan sumber dalam proses interpretasi
  • Eksplanasi tentang interaksi dan konteks sosial, dengan determinasi sosial dari proses-proses produksi dan interpretasi, dan dampak sosialnya.

Agama dan Konstruksi Identitas

Berbitjara tentang Islam di Maluku apalagi tentang orang Maluku Islam, biasanja tidak sedikit menimbulkan keheranan bagi sebahagian besar kalangan Kristen diluar Maluku sendri. Hal ini dapat kita mengerti bila kita ingat bahwa dalam kontak (persinggungan) dengan suku2 bangsa Indonesia lainnja diluar daerah Maluku, maka orang hanja mengenal suku2 Maluku (jang biasa dichususkan dengan nama “orang Ambon”) melulu sebagai golongan Kristen jang mewakili lapangan kepegawaian menengah dan terutama dilapangan kemiliteran. Tetapi fictie jang mengidentikkan “Maluku (Ambon)” dengan suatu “daerah Kristen melulu” adalah djauh dari realitet sebenarnja, karena hasil pemilihan umum DPR ditahun 1955 tjukup memberikan gambaran jang djelas tentang djumlah golongan Muslimin di Maluku (Partai Masjumi diwakili oleh djumlah suara ± 50% (hlm. 70)

Masyarakat Maluku terbentuk dalam suatu konteks dengan kontur geografis kepulauan besar/kecil yang dipisah-hubungkan oleh laut. Kondisi kepulauan ini turut membentuk karakter masyarakat dan pola-pola hubungan sosial antar­masyarakat pulau-pulau. Secara sosiohistoris, masyarakat Maluku adalah kelompok sosial heterogen yang terkonfigurasi dari berbagai suku-bangsa dan ras yang selama ratusan tahun telah menjalin kehidupan bersama. Konfigurasi sosial ini yang kemudian membentuk identitas etnis Maluku.

Proses kolonialisasi di Maluku selama beberapa abad telah pula memberikan kontribusi signifikan bagi pembentukan identitas “orang Maluku”. Kolonialisasi yang diikuti dengan aktivitas-aktivitas “kristenisasi” masyarakat lokal oleh badan-badan misi Kristen Barat menjadi arena interaksi kebudayaan “superior” dan kebudayaan “inferior”. Dalam konteks itu, inferioritas menjadi atribut utama yang sangat ditentukan oleh kemampuan (k)ebudayaan itu [lokal] membangun relasi dengan (K)ebudayaan Barat yang “modern” atau superior.

Cara pandang itu sangat dipengaruhi oleh rasionalitas Pencerahan (Enlightenment), yang memandang kelompok-kelompok etnis sebagai unit-unit sosial yang statis, koheren dan stabil. Jika ditelusuri kembali, apa yang disebut rasionalitas Pencerahan juga merupakan warisan abad pertengahan dan Renaisans terhadap kebudayaan, yang melihat perbedaan-perbedaan di antara manusia sebagai suatu tatanan ciptaan Tuhan. Mulanya, etnisitas memuat suatu konotasi peyoratif, dari akar kata Yunani ethnos: orang tidak beradab, bukan-Eropa, bukan-kulit putih, kelas rendah, barbar ~ “orang luar” atau “yang lain” (other).[6] Konsekuensinya, dunia tersegmentasi menjadi kelompok-kelompok budaya dalam suatu hirarkhi, dengan kebudayaan Eropa di tempat teratas. Gagasan-gagasan ideal mengenai “kebebasan” hanya berlaku untuk kelompok budaya ini saja (bahkan kelompok yang lebih terbatas: laki-laki, kulit putih, kelas menengah). Mereka inilah yang kemudian merasa berhak untuk menentukan identitas “yang lain”, sehingga “yang lain” itu sama sekali tidak memiliki independensi kreatif.[7]

Etnisitas: konsep dan problematika

Etnisitas selama ini mengandung pengertian negatif dan positif. Yang negatif melihat etnisitas sebagai faktor penghambat dalam proses nation building; yang positif melihatnya sebagai bentuk lain dari organisasi sosial atau faktor yang mendorong pembentukan identitas atau status minoritas. Sosiologi dan antropologi mengajukan tiga model untuk memahami etnisitas: dua model saling beroposisi (model primordialis dan model instrumentalis) dan model ketiga (konstruktif) mencoba untuk mengombinasikan kedua model sebelumnya.

· Primordialisme

Etnisitas dilihat sebagai identitas primordial suatu kelompok dan menjadi kategori a priori yang menentukan batasan kelompok guna menjamin stabilitas dan tatanannya. Yang bukan-anggota akan dieksklusi berdasarkan fakta bahwa mereka tidak berbagi identitas primordial yang sama; sedangkan para anggotanya tidak pernah bisa menolak identitas etnik primordial tersebut, tanpa mempedulikan faktor-faktor kontekstual atau historis.[8]

Studi-studi antropologis oleh para pemikir Barat terhadap bentuk-bentuk kebudayaan dan agama yang berbeda-beda, mendesak terjadinya beberapa revisi mendasar pandangan primordialisme. Kebudayaan tidak lagi menjadi istilah eksklusif terhadap “orang-orang beradab” (civilized), melainkan faktor utama pembentuk semua manusia. Perbedaan-perbedaan kebudayaan lebih dilihat sebagai fenomena historis dan kontekstual, bukan lagi sesuatu yang terberikan (given) secara biologis atau alamiah.

Pluralisme dipahami sebagai pendekatan akomodatif terhadap kelompok-kelompok etnis yang lebih kecil, yang meski berbeda-beda tetapi tetap terhisab ke dalam kelompok yang lebih besar secara keseluruhan. Memang kebudayaan tidak lagi dipahami sebagai ekspresi superioritas Barat modern, sehingga etnisitas kemudian menjadi konstruksi identitas bagi masyarakat-masyarakat bukan-Barat. “Asimilasi” dan “akulturasi” menjadi istilah-istilah yang kerap digunakan untuk menggambarkan proses identitas-identitas primordial terabsorbsi ke dalam kebudayaan dominan yang hanyut dalam utopia universalisme dunia modern.

· Instrumentalisme

Muncul konsep baru tentang etnisitas yang dapat dilihat dari gerakan hak-hak sipil (civil rights movement) di Amerika Serikat selama era 1960an. Kelompok-kelompok kecil menolak untuk berasimilasi dan berakulturasi ke dalam kelompok-kelompok dominan, melainkan membatasi diri berdasarkan identitas, kemerdekaan dan otonomi mereka.

Model instrumentalisme menolak kategori-kategori a priori pandangan primordialisme. Bagi kaum instrumentalis, konsep etnisitas sangat bergantung pada kepentingan tertentu manusia dan tanggapan partikular terhadap suatu peristiwa. Arena utama di sini ialah bidang politik. Jika kondisi dan kepentingan berubah, maka berubah pula identitas etnis. Kelompok-kelompok etnis dilihat sebagai bentuk-bentuk historis dan kontekstual yang content-nya bisa berubah. Fokus instrumentalisme bukan lagi pada esensi, tetapi pada batasan (boundaries) kelompok etnis di mana berlangsung transaksi dengan lingkungan sekitarnya.[9] Etnisitas menjadi suatu proses interaksi dinamis di mana berbagai identitas dimobilisasi untuk mengejar cita-cita dan kepentingan-kepentingan tertentu, serta nyaris berfungsi sebagai barter barang-barang sosial, politik dan ekonomi.

Agama dapat menjadi salah satu instrumen. Seperti kata MacKay, agama bisa menjadi “suatu aspek sistem sosial seperti aspek lain dari sistem sosial suatu kelompok: ekonomi, politik, kekerabatan atau kebiasaan (adat)” yang semuanya “bisa dimobilisasi untuk menentukan batas-batas (border) identitas kelompok etnis.”[10]

· Konstruktivisme

Konstruktivisme mencari celah kemungkinan untuk melewati batas rigiditas ekstrem primordialisme dan relativisme ekstrem instrumentalisme. Konstruktivisme menerima adanya aspek-aspek tertentu dari identitas etnis yang terbawa sejak lahir dan secara determinatif membentuk identitas individu anggota kelompok. Sekaligus mengakui bahwa setiap anggota kelompok secara kontinyu merekonstruksi aspek-aspek tersebut (juga untuk menanggapi yang bukan-anggota) di dalam suatu konteks lingkungan historis.

Identitas etnis bukan given secara eksternal tetapi dicitrakan secara kreatif (creatively imagined), yang berbeda dengan identitas-identitas lain yang juga dicitrakan secara kreatif. Identitas etnis selalu merupakan ide-ide yang berkembang [atau wacana], ketimbang sebagai unit sosial yang dapat teramati secara empiris. Identitas etnis adalah suatu konstruksi, ketimbang suatu yang terberikan.

Menurut Tilley, kaum konstruktivis terpecah menjadi dua kubu. Kubu satu mengasumsikan bahwa “identitas etnis bukanlah konstruksi intelektual yang dapat dipisahkan secara tegas, melainkan terartikulasi dalam jejaring praktik-praktik sosial dan beragam kepercayaan”. Kubu kedua mengandaikan bahwa kaum intelektual memainkan peran penting dalam konstruksi identitas etnis sebagai sebentuk “retorika” ketimbang “wacana”.[11]

Identitas etnis dapat dilihat dalam pertautan dengan dialektika identifikasi internal-eksternal. Tilley memahami identitas kelompok sebagai suatu proses historis internal identifikasi kelompok, yang secara kontinyu direkonstruksi melalui interaksi dengan lingkungannya (eksternal) yang terus berubah.[12]

Ketiga perspektif etnisitas di atas mesti dipahami sebagai sebuah jejaring proses-proses sosial-budaya yang berkelindan dan membentuk pemahaman yang dinamis mengenai “identitas sosial”.

Islam-Kristen dalam Proses Pembentukan Identitas: Catatan dari Maluku

Berbeda dengan di-lain2 tempat di Indonesia ini maka di Ambon, Haruku dan Maluku chususnja hubungan antara golongan Islam dan Kristen merupakan jang luar biasa baiknja. Sangatlah mengherankan bahwa keduanja dapat bertumbuh dengan penuh kerukunan dan tolerensi jang hampir tak dapat dimengerti oleh orang2 Islam dan Kristen lainnja jang diluar Maluku sendiri. (hlm. 77)

Penyebarluasan Islam dan Kristen di Maluku dengan metode dan dinamika sejarahnya masing-masing turut mempengaruhi kekentalan homogenitas budaya masyarakatnya. Kesatuan konstruktif identitas budaya lantas terfragmentasi berdasarkan kategori keagamaan yang diwarisi dan dianut oleh satu atau lebih unit-unit sosial yang ada di dalam lokus itu. Meski demikian, kekuatan nilai-nilai etnisitas untuk waktu lama telah berfungsi sebagai perekat sosial (social glue) yang efektif dalam menganyam perbedaan dan ketegangan teologis pada tataran keagamaan.[13] Tampilan identitas berdasarkan ikatan kultural dan agama ini lantas melahirkan komunitas-komunitas hena (negri) yang teragregasi dalam suatu lokus tertentu (biasanya pada satu pulau).[14] Sehingga orang luar (outgroup) dengan mudah mengidentifikasi identitas budaya masyarakat suatu hena dan secara a priori mengenal apa agama yang dianut oleh komunitasnya.[15]

Jarang dijumpai struktur masyarakat hena yang terdiri lebih dari satu agama (walau ada pula beberapa pengecualian). Umumnya struktur, sistem sosial dan sistem kepercayaan masyarakat hena berlatarbelakang sejarah keleluhuran yang sama, mitos-mitos asal-usul yang satu dan hanya merupakan satu komunitas agama. Tentang mitos, saya setuju dengan Lincoln bahwa dalam memahami “mitos dan konstruksi batas-batas sosial” kita lebih baik mengklasifikasi narasi-narasi mitologis itu bukan berdasarkan muatannya, tetapi berdasarkan klaim-klaim yang dibuat oleh para naratornya dan bagaimana klaim-klaim itu diterima oleh para pendengarnya. Mitos bukan sekadar coding device untuk menyampaikan informasi penting, yang melaluinya para aktor mengonstruksi masyarakat. Mitos juga adalah tindakan diskursif yang melaluinya suatu masyarakat dikonstruksi secara aktif.[16]

Untuk jangka waktu yang panjang masyarakat Islam dan Kristen di Maluku hidup dalam dialektika pemahaman-diri yang kreatif sebagai satu etnis, yang sekaligus terbedakan menurut agama. Pandangan dunia dialektik yang terkondisikan ini dibutuhkan untuk, pada satu sisi, mengelola ketegangan antara pemahaman mengenai hakikat kebudayaan sebagai basis eksistensi lokal, dengan sandaran interpretatif teologi agama yang dianut sebagai basis eksistensi spiritual, pada sisi lain. Matra kearifan lokal masyarakat berfungsi mengakomodasi dialektika tersebut, lalu mentrans­forma­si­­kannya ke dalam harmonisasi kreatif. Dari proses ini terbentuk suatu pola religiositas yang khas, sebagaimana oleh Frank Cooley disebut dengan “agama Ambon”.[17] Meski dilekatkan Cooley pada postur Kekristenan Ambon, terminologi ini juga padan untuk menggambarkan realitas Islam Ambon. Malah dalam beberapa aspek, karakter Islam Ambon lebih gamblang menampilkan corak perpaduan agama dan adat dibandingkan dengan Kekristenan Ambon yang terkesan canggung untuk bersandar pada salah satunya. Dengan demikian, corak keberagamaan di Maluku bukan terletak pada dinamika sinkretik “Islam” dan “Kristen” pada satu sisi dan “budaya lokal” atau “adat” di sisi lain, melainkan utamanya lebih kuat menampilkan corak beragama yang hibrid.[18]

Realitas kolonialisasi telah pula meninggalkan deviasi laten dalam masyarakat Maluku. Hal itu nampak khususnya pada kelompok yang mewarisi tradisi kekristenan, yaitu punahnya bahasa tanah sebagai genre bahasa lokal dalam pergaulan sosial,[19] ambruknya lembaga adat saniri negri,[20] tergusurnya apresiasi pada hikmat lokal di kalangan muda yang “westernized”, serta terbentuknya pola beragama [Kristen] yang formalistik dengan sentralisasi kuat pada figur “pendeta”.[21] Kenyataan ini melahirkan ketaksaan dalam kesadaran dan bersikap terhadap adat, serta dikotomi tajam antara “injil” dan “adat” dalam masyarakat Kristen (Sarane). Berbeda dengan masyarakat Islam (Salam) Maluku yang tidak mengalami ~ meski tetap ada ~ ketegangan separah saudara Kristennya.

Islam masuk ke Maluku nyaris tanpa pergolakan berarti. Namun harus diakui bahwa teori mengenai pola-pola perdagangan dalam penyebaran agama tidak mengakomodasi konflik-konflik ideologis yang lebih didasari oleh kepentingan penguasaan teritori ekonomi pada aras mikro.[22] Kelenturan ini disebabkan Islam masuk ke Maluku bukan dalam bentuk organisasi dengan struktur hirarkhis yang ketat, melainkan lebih berupa spiritualitas religius dan hubungan-hubungan ekonomis yang diintroduksi secara individual. Hampir tidak ada ketegangan antara agama dan adat dalam masyarakat Islam. Agama dan adat bersintesis membentuk kesatuan identitas masyarakat lokal.[23] Kelenturan Islam dalam mengakomodasi matra budaya lokal dan menjadikannya bagian integral dari postur keislaman lokal, sejak lama telah memperlihatkan proses-proses kontekstualisasi ajaran Islam. Artinya, agama [Islam] benar-benar telah menjadi agama rakyat yang mengkhamiri sendi-sendi sosial kehidupan masyarakat.

Sementara Kekristenan yang diintroduksi oleh zending Barat galibnya telah memiliki perangkat struktural organisasi agama dengan visi dan misi sentralistik-hirarkhis yang cukup mapan. Jika dalam batasan tertentu kekristenan kemudian menjadi semacam civil religion di Maluku, toh tidak dapat disangkali bahwa proses awal perjumpaan kekristenan dan budaya lokal sarat dengan ketegangan-ketegangan. Pada aras praksis kehidupan sosial, ketegangan-ketegangan itu kerap terjadi dalam pemaknaan peran fungsional gereja dan lembaga adat, masing-masing dengan orientasi dan “ideologi”-nya.[24] Keduanya bersaing mencari dukungan seluas mungkin agar dapat mempertahankan otoritas legal dan pengaruh dalam masyarakat.

Secara sosiologis, pada masyarakat Kristen, persaingan (adat dan gereja) ini telah menimbulkan skisma identitas sosial. Satu sisi, sebagai anak adat orang mengidentifikasi diri secara kultural sebagai bagian dari hena dan seluruh tatanan nilai adatisnya yang berfungsi mengatur hubungan sosial (antarsesama) dan natural (kosmos). Di sisi lain, sebagai anak gereja dia mewarisi berbagai nilai yang dikemas dalam formulasi konvensional dogma gereja dengan tuntutan ortodoksinya yang bertolakbelakang dan bahkan menafikan adat. Sintesa injil-adat tidak mencapai fase pematangan nalar sehingga selalu berada pada kulminasi liminal (ambang).

Salam-Sarane dalam Wacana Teologi Jemaat di Maluku

Perhatian mengenai hubungan Islam-Kristen di Maluku dalam pemerian berikut ini lebih difokuskan pada perspektif kekristenan. Salam dan Sarane adalah terminologi budaya untuk Islam dan Kristen di Maluku. Kedua istilah ini lebih intens mengandung muatan makna budaya daripada dogmatis keagamaan. Dari kedua istilah itu secara eksplisit dapat ditelisik suatu corak beragama yang senantiasa mengalami transformasi kreatif membentuk pola religiositas yang tipikal, yang lebih bernuansa budaya. Dimensi budaya ini menjadi kekuatan fungsional yang mengikat kedua kelompok beragama di Maluku.

Dari perspektif internal kekristenan, masuknya berbagai zending ke Maluku mengintrojeksi pula beragam pandangan teologis bentukan budaya Barat, terutama menyangkut esensi kebudayaan lokal dan posisi teologi kristen saat itu terhadapnya. Pandangan teologis misi zending terhadap eksistensi kebudayaan lokal bersifat bipolar. Satu kutub, pendekatan terhadap adat memang dilakukan, tetapi di kutub lain terperangkap pada praanggapan peyoratif. Kekristenan dari Barat yang dibawa dijadikan sebentuk model kebudayaan modern yang [dianggap] lebih “baik”, “benar” dan “beradab” (civilized) daripada kebudayaan lokal. Sofistikasi semacam ini berimplikasi pada arogansi beragama yang mengejawantah dalam praktik-praktik penyingkiran bentuk-bentuk kehidupan lokal dan tertawannya hikmat-hikmat lokal dalam idiom-idiom pengadaban masyarakat. Bahasa tanah menjadi simbol keterbelakangan, tete-nene moyang dikafirkan, institusi-institusi budaya lokal tidak lagi menjadi élan vital. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa masuknya kekristenan sebenarnya telah menimbulkan benturan peradaban yang belum tuntas diwacanakan hingga kini. Secara simultan terjadi penguatan [agama Kristen] pada satu pihak, dan pemiskinan nilai [budaya lokal] pada pihak lain. Pola relasi ini sebenarnya mencerminkan korelasi kreatif antara teologi dan kekuasaan politik. Di sini “teologi” dan “kekuasaan” berkolaborasi membentuk aliansi supra-pengetahuan yang berhak menentukan kebenaran secara monolitik.

Badan-badan zending Barat ini selanjutnya membidani lahirnya institusi gereja yang secara substantif mewarisi paradigma berteologi dari induknya. Salah satu problem yang menimbulkan polemik adalah sikap dan pandangan teologi kristen mengenai kebudayaan lokal atau adat. Ketika Protestantisme terwadahi dalam wujud organisasi gereja di Maluku (1935) hingga kini, warisan teologi kolonial ini tidak banyak mengalami perubahan secara fundamental.[25] Ekspresi kebudayaan lokal masih menjadi subordinasi gereja, karena sarat dengan aspek-aspek tahayul dan kuasa-kuasa “gelap” yang menghalangi pemahaman injili jemaat. Keengganan untuk mewacanakannya sebagai bagian dari tindakan berteologi ~ disadari atau tidak disadari ~ malah mendangkalkan kedalaman spiritual yang sebenarnya bisa diperoleh melalui eksplorasi kebudayaan lokal itu sendiri. Bukankah kekristenan dari Barat itu juga sarat dengan ekspresi kebudayaan lokal dari Barat?

Pada titik ini timbul persoalan ganda. Pada satu sisi, keengganan tersebut makin menyudutkan komunitas beragama dalam krisis identitas menyangkut hakikat dan pemahaman dirinya sebagai orang Maluku, dengan segenap atribut kebudayaan yang melekat pada diri mereka. Di sisi lain, komunitas beragama mengalami cognitive dissonance dan terjerat dalam kebingungan mengartikulasikan imannya berhadapan dengan dinamika sosial-budaya dalam realitas hidup sehari-hari. Bagaimana menjadi orang Kristen yang Maluku? Apakah ada nilai-nilai kristiani dalam adat Maluku? Kalau ada, seperti apakah itu dan bagaimana menjelaskannya? Dan apakah mungkin menemukan universalitas (meski relatif) dalam partikularitas? Apakah berbicara tentang adat setelah “masuk Kristen” tidak bertentangan dengan kehendak Tuhan? Sedikit dari begitu banyak pertanyaan yang terlontar dari kegelisahan ontologis ini memberikan gambaran bahwa pergulatan teologis untuk memaknai etnisitas di Maluku masih berlangsung dengan tensi tinggi.

Pemahaman mengenai identitas sosial di Maluku terbentuk melalui proses interpenetrasi berbagai tafsir budaya dan tafsir teologi yang terus menerus bersintesa. Ada proses-proses historis yang pada satu saat mempertautkan beberapa identitas dalam wacana kebudayaan egaliter tanpa mengeliminasi perbedaan di antaranya, misalnya pada penyebutan “Salam” dan “Sarane”. Namun pada saat lain, identitas-identitas itu ~ komunitas Kristen dan komunitas Islam ~ secara kultural saling teralienasi pada posisi diametral. Keduanya teralienasi karena pertautan kebudayaan sebagai orang Maluku mengalami distorsi makna. Alienasi tersebut menggiring kekristenan (gereja) untuk lebih memperhatikan hubungan-hubungan formal kelembagaan dan mengabaikan upaya merekonstruksi secara positif relasi kultural mereka dengan komunitas Islam Maluku.

Bagi orang Islam Maluku, hampir dalam segala aspek, gereja (sebenarnya) sudah kehilangan pertautan kultural dan selalu terbentur pada kontekstualisasi teologi setengah hati. Proyek “teologi kontekstual” Kristen hanya berhenti pada tataran penanda/signifier (media), namun selalu gagal pada tataran petanda/signified (makna). Wajah teologi Kristen malah menunjukkan tendensi yang kian abstrak dan jauh dari pergulatan memaknai pergolakan kultural di Maluku. Kekristenan kontemporer tidak memberikan apresiasi secara proporsional bagi terbentuknya kesadaran akan identitas bersama sebagai orang Maluku, bahkan akar-akar teologinya tercerabut dari tanah Maluku. Dari perspektif itu, mereka melihat kekristenan hanya menjadi batu sandungan bagi berlangsungnya wacana kebudayaan yang konstruktif di Maluku.

Dalam wacana teologi Kristen di Maluku, pemaknaan kebudayaan lokal nyaris menjadi catatan pinggiran. Sementara hampir seluruh energi terkuras untuk masalah penataan institusi dan modifikasi artifisial doktrin gereja yang jauh dari geliat derita kemanusiaan yang “bisu” dalam arus modernisasi. Ajaran kekristenan (gereja) sebagai bentuk pewarisan tradisi keagamaan memang penting. Tetapi lain soalnya kalau itu diterima begitu saja tanpa melalui proses reinterpretasi yang kritis terhadap tradisi. Apalagi jika tidak ada kegairahan intelektual yang mendorong kekristenan menggali akar-akar persoalan sosio-budaya baik pada aras lokal dan nasional, yang dapat dijadikan basis refleksi teologi kontekstual di Maluku secara riel. Persoalannya, bagaimana seluruh dinamika kebudayaan di Maluku mampu melahirkan horison baru mengenai signifikansi nalar budaya dalam berteologi. Dengannya, tindakan berteologi di Maluku menjadi tindakan otentik dan bukan lagi hanya menciptakan pengecer-pengecer teologi.

Pluralitas agama dan budaya bukan fenomena baru di Maluku.[26] Korelasinya tidak mudah untuk diurai jelas karena keduanya telah dan terus bermetamorfosis menjadi fenomena-fenomena baru dengan kualitas yang berbeda. Apa yang tampak dari pewacanaan agama dan kebudayaan di Maluku adalah suatu profil taksa (ambigu) dengan dependensitas sangat tinggi pada struktur penalaran masyarakat untuk menginterpretasi pertautan nilai-nilainya. Jejaring relasi keduanya makin kompleks ketika Islam Maluku menjadi suatu kekuatan politik yang signifikan setelah meleburkan diri secara afirmatif dalam kancah pergaulan Islam nasional Indonesia. Implikasi politis dari pergeseran ini membentuk kesadaran baru dimana Islam berkembang dari wacana kebudayaan lokal menjadi wacana politik nasional. Wacana keislaman kemudian terarah pada wacana mayoritas vis-a-vis kekristenan yang pasca kolonial hanya menjadi kelompok parsial dan minoritas dalam konteks [politik] keindonesiaan.

Apa yang tercermin dari wacana Islam-Kristen Maluku di era Indonesia kontemporer adalah munculnya fenomena agama sebagai manifestasi kekuasaan politik dan hegemoni budaya.[27] Persoalan lain yang muncul adalah bagaimana memaknai pertautan antara etnisitas sebagai identitas bentukan budaya lokal dan pada saat bersamaan masuk ke dalam identitas bersama dalam konteks negara-bangsa baru. Dalam situasi problematik itu, agama acapkali memainkan peran sebagai kekuatan pemersatu sekaligus menciptakan konflik ideologis. Jadi dapat dikatakan bahwa sebenarnya agama[-agama] berada dalam realisme liminal yang mendorong penggumpalan kesadaran etnis dan ketegangan-ketegangan ideologis dalam ranah politik lokal, yang berkelindan dengan pergolakan kepentingan politik tingkat nasional.

Konstruksi Dialogis Islam-Kristen di Maluku: Upaya Berteologi dengan Membaca Budaya

Asumsi dasar di sini ialah “kebudayaan merupakan suatu proses berlangsungnya transformasi kreatif dalam kehidupan sosial suatu masyarakat”. Dalam proses itu, masyarakat melakukan interpretasi simbolik terhadap realitas hidupnya yang berlangsung dalam sekuen pengalaman-pengalaman bermakna. Pengalaman-pengalaman itu lantas diinstitusionalisasikan dalam bentuk simbol-simbol budaya. Jika berteologi merupakan kesadaran kritis untuk melakukan interpretasi religius terhadap situasi hidup manusia kontemporer dalam hubungannya dengan realitas transendental yang disebut “Tuhan”, maka kebudayaan adalah basis bagi analisis kritis untuk mencari dan menghargai bentuk-bentuk manifestasi sang Tuhan.

Itu berarti, kebudayaan tidak lagi dilihat dalam perspektif dikotomik antara sakral dan profan, melainkan sebagai pengejawantahan ilahi yang berlangsung dalam proses menjadi (process of becoming) terus menerus. Karena kebudayaan tidak statis, maka konstruksi refleksi teologis yang hendak dibangun pun tidak permanen atau baku. Refleksi teologi yang dipaksa untuk relevan pada konteks yang berbeda patut dicurigai jangan-jangan ia sudah menjadi sejenis ideologi intoleran. Refleksi teologi yang dibangun di atas dasar kebudayaan ini merupakan suatu proses berpikir dan bertindak yang mengalami transformasi secara kontinyu.

Proses, menurut Alfred North Whitehead, memiliki karakter distingtif, yakni sebagai [1] “transisi” (masa antara dari satu peristiwa/pengalaman ke peristiwa/pengalaman berikutnya), yang disebut peristiwa-peristiwa aktual (actual occasions) atau peristiwa-peristiwa pengalaman (occasions of experience); dan [2] “konkresensi” (concrescence) yang berarti “menjadi konkrit”, yakni bahwa di dalam setiap peristiwa itu sendiri berlangsung suatu proses menjadi. Kedua proses ini membuka pemahaman baru dalam melihat keberbagaian pengalaman religius.[28] Proses transisi menentukan pentingnya waktu. Satu peristiwa dilanjutkan dengan peristiwa lainnya. Masa lampau terdiri dari peristiwa-peristiwa yang sudah dialami; masa depan adalah benar-benar berbeda karena tidak mengandung “peristiwa”; dan masa kini adalah peristiwa yang sedang dialami. Setiap momen adalah baru dan tidak dapat diulang. Sementara dalam proses konkresensi, tidak dikenal waktu. Tetapi bukan berarti setiap aktualitas bersifat statis. Setiap momen adalah “sekarang”.

Dengan kerangka “proses” Whitehead itu maka upaya memahami hubungan kultural Islam-Kristen di Maluku menjadi sebuah pembacaan budaya yang lebih dinamis tanpa mesti terjerat romantisme masa lalu. Dengan meminjam istilah Ricouer, langkah ini akan menjadi sebuah fixation of action.[29] Lebih jauh, kita dapat keluar dari keterperangkapan pada logika rasionalitas Pencerahan yang selalu mendikotomikan realitas dalam konstruksi oposisi-biner. Bisa saja, dalam momentum sekarang ini kita membutuhkan sebuah kontrak sosial yang baru untuk menciptakan kembali mitos baru atau pandangan dunia baru dalam konteks relasi keberagamaan di Maluku pascamodern (postmodern).

Selain itu, dalam ranah teologis, hubungan Islam-Kristen di Maluku tidak bisa didekati hanya dengan pendekatan tekstual alkitabiah atau dogmatis-apologetis, melainkan baiknya dicermati dalam suatu kerangka pemahaman konteks budaya yang utuh. Suatu “konteks” adalah “teks”, yang tersusun dari rangkaian kata sehingga menghasilkan sebuah makna. Dalam theory of action suatu diskursus tindakan merupakan salah satu bagian dari situasi transaksi yang mengalir dari satu bagian ke bagian lain, persis seperti dalam bahasa wicara yang ditangkap dalam proses interlokusi atau translokusi (translocution). “Konteks tertentu” ini secara kreatif ditransformasikan ke dalam “konteks tertentu yang berbeda”, yang dijadikan basis untuk merekonstruksi kembali makna yang valid. Pendekatan hermeneutik budaya semacam ini membutuhkan ~ apa yang disebut Paul Ricoeur ~ “objektifikasi”.[30]

By this objectification, action is no longer a transaction to which the discourse of action would still belong. It constitute a delineated pattern that has to be interpreted according to its inner connections. This objectification is made possible by some inner traits of the action that are similar to the structure of the speech act and that make doing a kind of utterance.

Bila pemahaman terhadap kebudayaan lokal mengalami stagnasi, maka kekristenan tidak akan mampu memahami pola keberagamaan yang berlangsung di Maluku. Di sini diperlukan pemahaman kontekstual mengenai hakikat pluralisme agama sebagai masalah kebudayaan dan fungsi tindakan berteologi (yang sudah mengalami transisi dan konkresensi hermeneutis dari “teks” ke “tindakan”) sebagai upaya menciptakan pandangan dunia baru dalam sebuah realitas (atau peristiwa pengalaman) yang baru.

Dalam kerangka pikir itu maka perspektif imaniah kehadiran Allah dalam peristiwa dan tindakan Kristus mesti dipahami sebagai proses, bukan sebagai doktrin yang rigid. Artinya, jika Allah itu adalah substansi transendental yang menyejarah dalam eksistensi kemanusiaan, maka setiap momen dari eksistensi manusia bersifat unik. Keilahian Allah itu memberi kualitas pada setiap momen kemanusiaan. Dengan kualitas ilahi dalam setiap momentum eksistensialnya, setiap entitas ciptaan (creatures) dihadapkan pada masa depan potensial. Masa depan potensial ini bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja karena Allah menghendakinya (God’s will), tetapi suatu masa depan yang dinegosiasikan bersama antara entitas ilahi (Allah) dan entitas kodrati (manusia). Dalam teks Alkitab, cerita Abraham yang bernegosiasi dengan Tuhan menyangkut keberadaan orang-orang benar di Sodom dan Gomora merefleksikan suatu relasi kreatif antara Tuhan dan manusia. Masa depan yang diterima dan ditolak ini sebagian besar berdasar pada seberapa besar kontribusinya terhadap kesejahteraan orang lain.

Dalam pemahaman sedemikian, setiap momen eksistensial manusia dan dunia tidak pernah menjadi kadaluarsa atau hilang, melainkan terabsorbsi ke dalam Allah. Artinya, setiap peristiwa pengalaman (masa lalu, masa kini, masa depan) menjadi peristiwa yang mengandung kualitas ilahi dan karenanya berharga. Dalam setiap momen, Allah terus menerus belajar setahap lebih tinggi tentang diri manusia. Dia belajar sebagai Allah yang hadir dalam tiap momen eksistensi kita. Manifestasi manusia Kristus, misalnya, adalah salah satu momen yang melaluinya Allah belajar memanusiakan keilahian-Nya. Allah tidak berinkarnasi, karena memang kualitas keilahian-Nya yang sempurna dan final tak mungkin tertampung dalam keterbatasan kodrat manusia. Allah hanya membangkitkan kesadaran akan kualitas ilahiah dalam eksistensi kemanusiaan Yesus yang digunakan sebagai energi positif untuk menemukan kebenaran-kebenaran lebih dalam dari setiap pengalaman.

Peristiwa Kristus adalah suatu fiksasi tindakan bermakna dalam sekuen pengalaman-pengalaman kemanusiaan. “Kristus” menjadi simbol berlangsungnya situasi transaksi pengalaman fundamental dalam realitas kemanusiaan dan dunia. Dialektika kultural yang dialami Kristus menjadi dasar untuk berjumpa secara riel dengan manusia. Kemanusiaan adalah actual occasion dari Kristus. Itu sebabnya Kristus tidak menghindari wacana budaya dengan masyarakat sipil, termasuk dengan dunia politik. Di sini kebudayaan manusia menjadi ranah penting. Tanpa kebudayaan manusia, Kristus hanyalah “sebuah kata” yang terlepas dari belantara makna “teks-teks” sosial. Artinya, tanpa berteologi dengan sebuah pertautan erat pada seluruh sistem simbolik kebudayaan manusia, kita terus mengalienasi Allah ke dalam sebuah matra nirwaktu (ahistoris), sehingga Allah hanya menjadi entitas awamakna yang bisu karena tidak mengerti bahasa dan simbol-simbol budaya manusia. Kebisuan tidak pernah menghasilkan sebuah wacana.

Menyoal-ulang Misi Kekristenan

Dengan konseptualisasi seperti itu, pendekatan terhadap hubungan Islam-Kristen di Maluku mesti dilakukan dengan memberikan fokus pada berbagai wacana identitas budaya yang inheren dalam kedua entitas tersebut. Bahwa di dalam kebudayaan, entitas ilahi mewujud dan menyatukan kemanusiaan di Maluku sehingga dapat menjadi titik awal untuk memulai tugas berteologi bagi kekristenan di Maluku.[31] Di dalamnya pergumulan kekristenan tidak sekadar memberikan makna bagi kehadiran dirinya di tengah dinamika kebudayaan lokal, tetapi juga menggali makna etnisitas dan kebangsaan yang plural dalam mengartikulasikan teologinya yang otentik dalam konteks yang lebih luas.

Kekristenan baiknya memiliki pemahaman diri yang utuh sebagai manifestasi Kristus atau translokusi “teks-teks” Tuhan (yang lahir dari pengalaman-pengalaman spiritual) dalam pergaulan umat manusia. Kemanusiaan dibangun berdasarkan kesediaan untuk mengasihi dan memberikan diri bagi kepentingan orang lain (solidaritas). Kasih dan solidaritas itu sendiri dapat diartikan sebagai wacana simbolik dan tindakan bermakna dari pertautan spiritualitas dan materialitas dalam dunia kebudayaan manusia. Jika kebudayaan dibangun sebagai kesepakatan untuk menjalani kehidupan bersama-sama dalam keberbagaian lokalitas, maka di situ terkandung nilai-nilai kemanusiaan. Bukankah itu berarti bahwa dalam kebudayaan, kekristenan bisa menemukan makna kasih dan solidaritas? Pada momentum tersebut kekristenan dapat melihat tindakan bermakna dari Tuhan yang berkarya dalam simbol-simbol kebudayaan, sejauh itu diinterpretasi secara komprehensif, bukan lagi partikular. Karena Tuhan tidak bisa didefinisikan dalam konsep-konsep baku; Tuhan hanya dapat dirasakan dalam spirit di mana kemanusiaan membangun dirinya sendiri. Dengan kata lain, kebermaknaan Tuhan hanya dapat dialami (occasion of experience) di dalam praksis. Sehingga dengan demikian, keberagamaan kita juga adalah suatu keberagamaan yang bersifat praksis.

Dalam kebudayaan-kebudayaan kita tidak menemukan konsep Tuhan, melainkan praksis kehadiran Tuhan dalam dunia dan terutama dalam bentuk terjalinnya pola-pola relasi manusia yang saling menopang. Tuhan “menuliskan” manifesto kebudayaan bersama-sama dengan manusia. Hubungan antara Tuhan dan kemanusiaan adalah kooperasi mutual, membimbing pada hasil positif agama dalam masyarakat. Dengan memahami kebudayaan manusia, teologi tidak lagi sekadar menjadi tindakan instrumental melainkan suatu praksis komunikasi yang setiap orang belajar untuk mendengarkan dan memahami, ketimbang berkonfrontasi satu sama lain mengenai “kebenaran” versi masing-masing. Jika ternyata relasi Islam-Kristen di Maluku dapat dipahami sebagai manifestasi praksis Tuhan yang memberi inspirasi bagi terciptanya hubungan kemanusiaan yang fundamental, itu berarti pembedahan dimensi kebudayaan adalah sesuatu yang sangat teologis.

Konseptualisasi konstruksi dialogis Islam-Kristen di Maluku melalui studi kebudayaan lebih membuka ruang bagi adanya perjumpaan kemanusiaan yang kreatif. Di sini etnisitas menjadi media penting bagi peristiwa tersebut dan mendorong orang untuk mengapresiasi perbedaan budaya-budaya dalam realitas pluralisme di Indonesia. Ketika proses membaca budaya ini mampu dilakukan sebagai ikhtiar pemaknaan kehadiran kekristenan di Indonesia maka refleksi teologi yang muncul tidak lagi hanya sekadar mencangkokkan teks-teks kitab keagamaan apa adanya ke dalam pergumulan konteks, melainkan sebaliknya terhisab dalam dialektika dekonstruksi-rekonstruksi sistem makna yang dibangun dari situasi sosial setempat.

Dari perspektif ini, etnisitas dapat dilihat sebagai anugerah Tuhan yang mesti dihargai dan digali maknanya untuk menjadi dasar teologis dan ideologis membangun Indonesia. Tanpa apresiasi terhadap etnisitas, agama-agama (khususnya Kekristenan) hanya akan terbelit dalam sikap mereduksi hakikat kekayaan makna Indonesia, yang justru menjadi alasan lahirnya kesepakatan untuk hidup bersama. Pada titik ini, penting bagi kita untuk memikirkan secara serius terlebih dulu pemaknaan konstruksi identitas primordial kita masing-masing sebelum beranjak ke wacana mengenai identitas nasional sebagai konstruksi hibriditas ideologis. Karena harus disadari bahwa hampir sebagian besar pemaknaan mengenai identitas primordial merupakan konstruksi kolonial dalam rangka mengidentifikasi perbedaan antara “pihak penjajah” (colonizer) dan “pihak terjajah” (colonized).

Proses tersebut tidak hanya meliputi perubahan struktur dalam postur kelembagaan Kristen (Gereja), tetapi merupakan transisi paradigmatis. Memang dalam proses itu, seperti kata David Bosch, kita akan mengalami semacam “skizofrenia teologis” karena bekerja dalam dialektika logika Pencerahan ~ pada satu sisi ~ dan pencarian orientasi baru berteologi yang belum tuntas ~ di sisi lain.[32] Apa yang penting untuk dicatat di sini tentu saja munculnya tantangan sosial-politik yang baru bagi proses artikulasi peran dan fungsi agama-agama dalam masyarakat multikultural, serta reformulasi “wahyu” khususnya dari agama-agama teistik kontemporer. Jika hal itu tidak dipikirkan secara serius maka agama-agama akan makin terkerdilkan menjadi atribut pelengkap dari munculnya new spirituality pasca-modern yakni teknologi sibernetika dan internet. Agama baru ini sedang mengubah wajah dunia kita menjadi sebuah dunia yang dibangun di atas lambaran interelasi hegemonik dimana batas-batas “kekuasaan imperialis” dan “yang tertindas” makin kabur dalam eufemisme modernisasi dan kapitalisme global.

Penutup

Kerangka kerja Critical Discourse Analysis yang disebut pada awal tulisan ini memang tidak nampak sebagai kerangka keseluruhan elaborasi. CDA memberikan inspirasi untuk meneropong teks Radjawane sebagai sebuah proses produksi konseptual yang tak terpisahkan dari ketertarikan dan keterikatan pada konteksnya. Karena keterbatasan ruang pula maka tidak seluruh bagian teks itu dapat diurai. Kajian ini dapat dilihat sebagai sebentuk “undangan” untuk masuk dalam diskursus teologis yang lebih debatable sehingga ~ insya Allah ~ melahirkan bentuk-bentuk pemahaman baru dalam menata hubungan-hubungan keberagamaan dan kebudayaan yang lebih segar.

Kepustakaan

Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 2004)

Bruce Lincoln, Discourse and Construction of Society: Comparative Studies of Myth, Ritual and Classification (New York: Oxford Univ. Press, 1989)

Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005)

Craig R. Prentiss (ed.), Religion and the Creation of Race and Ethnicity: An Introduction (New York: New York Univ. Press, 2003).

David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (Jakarta: BPK GM, 1999)

Frank Cooley, Mimbar dan Tahta: Hubungan Lembaga-lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah (Jakarta: Sinar Harapan, 1989)

Frank Cooley, “Indjil dan Adat di Maluku” dalam W.B. Sidjabat (peny.), Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964), 220-235.

John B. Cobb, Jr. dan David Ray Griffin, Process Theology: An Introductory Exposition (Philadelphia: Westminster Press, 1976)

John Hutchinson dan Anthony Smith (eds.), Ethnicity (New York: Oxford Univ. Press, 1996)

Leonard Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period (University of Hawaii Press, 1993)

N. Fairclough, Language and Power (London: Longman, 1989)

N. Fairclough, Discourse and Social Change (London: Politiy Press, 1992)

W.B. Sidjabat (peny.), Panggilan kita di Indonesia Dewasa Ini (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964)

Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II. Translated by Kathleen Blamey and John B. Thompson (Northwestern Univ. Press, 1991)

R. Batstone, “Grammar in discourse: attitude and deniability” dalam G. Cook dan B. Seidhofer (ed.), Principle and Practice in Applied Linguistic (Oxford: Oxford University Press, 1995)

V. Tilley, “The Term of the Debates: Untangling language about ethnicity and ethnic movement” dalam Ethnic and Racial Studies 20 (1997), 511-512.

W. Braun dan R.T. MacCutcheon (eds.), Guide to the Study of Religion (London, 2000)



[1] W.B. Sidjabat (peny.), Panggilan kita di Indonesia Dewasa Ini (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964), 70-85. Pendeta Dr. Arnold N. Radjawane adalah pendeta Gereja Protestan Maluku dan dosen matakuliah Perjanjian Lama pada Fakultas Teologi UKIM Ambon. Ketika tulisan ini dibuat beliau sudah memasuki masa emeritusnya.

[2] N. Fairclough, Discourse and Social Change (London: Politiy Press, 1992), hlm. 132-133.

[3] R. Batstone, “Grammar in discourse: attitude and deniability” dalam G. Cook dan B. Seidhofer (ed.), Principle and Practice in Applied Linguistic (Oxford: Oxford University Press, 1995), hlm. 198-199.

[4] N. Fairclough, Language and Power (London: Longman, 1989), hlm. vi.

[5] Fairclough, Language and Power, hlm. 26.

[6] Lihat D.B. MacKay, “Ethnicity” dalam W. Braun dan R.T. MacCutcheon (eds.), Guide to the Study of Religion (London, 2000), 96-109. Dalam Politics Aristoteles memakai istilah ethnos untuk mendeskripsikan “orang-orang asing dan barbar” yang berbeda sekali dengan orang-orang Yunani yang beradab seperti dirinya sendiri (MacKay, 98).

[7] Gagasan-gagasan ini pula yang sangat mempengaruhi paradigma misiologi dari badan-badan misi (zending) yang masuk ke Maluku bersama-sama dengan proses kolonialisasi Barat. Proyek Pencerahan telah melahirkan karakter keberagamaan (Kristen) yang triumfalistik terhadap kebudayaan-kebudayaan bukan-Barat (dan bukan-Kristen). Atau dengan kata lain, kekristenan adalah pantulan spirit eurosentrisme.

[8] Lihat Max Weber, “The Origins of Ethnic Groups” dalam John Hutchinson dan Anthony Smith (eds.), Ethnicity (New York: Oxford Univ. Press, 1996), 35.

[9] Fredrik Barth, “Ethnic Group and Boundaries” dalam John Hutchinson dan Anthony Smith (eds.), Ethnicity (New York: Oxford Univ. Press, 1996), 75-82.

[10] Lihat D.B. MacKay, “Ethnicity” dalam W. Braun dan R.T. MacCutcheon (eds.), Guide to the Study of Religion (London, 2000), 102.

[11] V. Tilley, “The Term of the Debates: Untangling language about ethnicity and ethnic movement” dalam Ethnic and Racial Studies 20 (1997), 511-512.

[12] Tilley, ibid., 514-515.

[13] Lih. Craig R. Prentiss (ed.), Religion and the Creation of Race and Ethnicity: An Introduction (New York: New York Univ. Press, 2003). Buku ini mendeskripsikan sejumlah pertautan agama dan etnisitas yang terjadi di dalam beberapa masyarakat di sejumlah negara.

[14] Di Pulau Jawa dikenal sebagai “desa” meskipun ada perbedaan karakteristik sosiohistoris yang cukup tegas di antara konsep “desa” (Jawa) dan “hena” atau “negri” (Maluku). Proses agregasi simbol-simbol agama dan budaya lokal ini tidak dapat dipahami sebagai proses linear, melainkan interpretatif.

[15] Sebagai contoh, Pulau Ambon. Pulau ini menyerupai huruf “U” (karena terdapat teluk Ambon). Di sebelah utara disebut Jazirah Leihitu, didiami oleh negri-negri Salam (Islam); di sebelah selatan disebut Jazirah Leitimor, didiami oleh negri-negri Sarane (Kristen). Sebelah timur merupakan wilayah batas yang dalam pandangan masyarakat tidak bisa dimasukkan ke dalam salah satu wilayah dari kedua jazirah itu.

[16] Bruce Lincoln, Discourse and Construction of Society: Comparative Studies of Myth, Ritual and Classification (New York: Oxford Univ. Press, 1989), 24-25.

[17] Frank Cooley, Mimbar dan Tahta: Hubungan Lembaga-lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah (Jakarta: Sinar Harapan, 1989), 53. Lihat juga Frank Cooley, “Indjil dan Adat di Maluku” dalam W.B. Sidjabat (peny.), Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964), 220-235.

[18] Lihat Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), 27. Hibriditas menandai karakter masyarakat-masyarakat lokal pascakolonial. Hal itu terutama dapat dilihat pada fenomena kreolisasi dalam genre bahasa-bahasa lokal. Dalam percakapan dengan seorang tokoh masyarakat di negri Liang (Islam), berkali-kali dia menggunakan istilah “Tete-Manis” untuk menyebut nama Tuhan; sementara di beberapa negri Kristen ada pengistilahan “Upu Yesu”. Ada beberapa komunitas kecil generasi tua di salah satu jemaat kota Ambon yang masih getol berkomunikasi memakai bahasa Belanda ~ yang bisa dipahami sebagai social boundaries dengan kelompok-kelompok lain.

[19] Dalam cultural studies dikenal argumen anti-esensialisme yakni bahwa identitas bukanlah sesuatu yang eksis; ia tidak memiliki kandungan universal atau esensial. Identitas merupakan konstruksi diskursif, produk diskursif atau cara bertutur yang terarah tentang dunia ini. Identitas dibangun, diciptakan ketimbang ditemukan, oleh representasi, terutama bahasa. Lihat Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), 12.

[20] Fenomena ini dapat dilihat dari arsitektur baileu di negri-negri Salam/Sarane yang telah direnovasi menurut rancangan arsitektur modern dan menggunakan material modern, serta tidak lagi mengikuti aturan adat. Penyimpangan ini kemudian ditafsirkan sebagai makin teralienasinya pandangan dunia adatis dari diskursus sosial masyarakat negri kontemporer.

[21] Pernah pada suatu masa sebagian besar rakyat Ambon-Lease mengalami booming hasil cengkeh. Penduduk yang memiliki dusun cengkeh menyekolahkan anak-anaknya ke Pulau Jawa dan Makassar. Sebagian besar mengambil studi kedokteran. Mereka ini representasi generasi modern pasca kemerdekaan Indonesia yang tidak lagi “berminat” pada matra budaya lokal Maluku. Di sisi lain, animo besar di kalangan muda untuk menjadi “pendeta” juga mengindikasikan adanya suatu pewarisan nilai-nilai spiritualitas pietistik untuk beroposisi dengan tendensi penguatan semangat primordialisme adatis.

[22] Lih. Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 2004), 80-83.

[23] Pada masa pemerintahan kolonial, kebijakan “kebebasan mempertahankan budaya lokal” diperlukan agar tidak menimbulkan perlawanan rakyat yang akan sangat mengganggu aktivitas administratif pemerintahan dan ekonomi kolonial. Sehingga dapat dimengerti bahwa pada masa-masa kolonial cukup berkembang tulisan-tulisan mengenai hukum adat (adatrecht).

[24] Lih. Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), 60. Bagi Althuser, ideologi memiliki dua sisi: pertama, ideologi adalah pengalaman yang dijalani, meliputi pandangan dunia yang menjadi landasan orang untuk hidup dan menyelami dunia ini. Karena itu ideologi tidak palsu (seperti yang dikemukakan oleh Marx). Kedua, ideologi merepresentasikan hubungan imajiner individu dengan kondisi eksistensi nyata mereka.

[25] “Kolonial” di sini tidak hanya dipahami sebagai suatu peristiwa pengalaman dalam rentang sejarah masa lalu, tetapi juga mengindikasikan karakter kekuasaan yang selalu berada dalam polarisasi “menguasai-dikuasai”. “Kekristenan” (Katolik) lebih tua usianya daripada Protestantisme. Sikap tegas terhadap “adat” muncul dalam Pesan Sinode 1960. ini juga dipengaruhi oleh situasi sosial, politik dan perekonomian yang dihadapi GPM. Wawancara dengan Dr. A.N. Radjawane tanggal 23 Juli 2006 di rumahnya.

[26] Leonard Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period (University of Hawaii Press, 1993), 55. Menurut Andaya, pandangan dan sikap pluralisme itu rupanya lahir dan bertahan karena pandangan dunia “dualisme” di Ternate dan Tidore. Jalinan hubungan ini membingungkan orang Eropa. Kendati kedua kerajaan bersumpah untuk saling bermusuhan, mereka tetap saling menasihati tentang setiap aktivitas orang Eropa yang dapat mengancam kesejahteraan masing-masing.

[27] Lih. Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), 11. Hegemoni adalah proses penciptaan, perawatan dan reproduksi makna dan praktik yang menguasai kehidupan masyarakat. Hegemoni berakibat kepada situasi di mana satu ‘blok historis’ kelompok-kelompok berkuasa menggunakan otoritas sosial dan kepemimpinan terhadap kelompok-kelompok subordinat lewat kemenangan konsensus.

[28] John B. Cobb, Jr. dan David Ray Griffin, Process Theology: An Introductory Exposition (Philadelphia: Westminster Press, 1976), 14-15.

[29] Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II. Translated by Kathleen Blamey and John B. Thompson (Northwestern Univ. Press, 1991), 150.

[30] Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II. 151.

[31] Saya memakai “kekristenan” di sini untuk menggantikan terminologi “gereja” yang secara konotatif lebih memberikan gambaran yang strukturalistik ketimbang fungsional. Walaupun saya sadar bahwa tanpa “tubuh organisasi” sebuah agama akan lebih bersifat introver (individual) dan tidak berdampak sosial dalam pergaulan bersama di tengah-tengah masyarakat multikultural.

[32] David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (Jakarta: BPK GM, 1999), 296.





Pemuda Gereja dan Pemaknaan Identitas

7 12 2007

Pengantar*

Sophie Amundsen, seorang pelajar sekolah menengah berusia empatbelas tahun. Suatu hari sepulang sekolah, dia mendapat sebuah surat misterius yang hanya berisikan satu pertanyaan: “Siapa kamu?” Belum habis keheranannya, pada hari yang sama dia mendapat surat lain yang bertanya: “Dari manakah datangnya?” seakan tersentak dari rutinitas hidup sehari-hari, surat-surat itu membuat Sophie mulai mempertanyakan soal-soal mendasar yang tak pernah dipikirkannya selama ini. Dia mulai belajar filsafat.

Kutipan di atas adalah sinopsis dari novel filsafat karya Jostein Gaarder yang judul aslinya “Sofie’s Verden” (Norwegia); Sophie’s World (Inggris); dan dalam edisi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Mizan dengan judul “Dunia Sophie”. Novel ini sempat menjadi best-seller dunia pada tahun 1995. Di dalamnya Gaarder menyajikan sejarah filsafat dalam bentuk novel (sesuatu yang luar biasa mengingat rumitnya sejarah dan pemikiran para filsuf dunia sejak zaman Yunani hingga era modern).

Tetapi kita tidak sedang membahas buku itu. Saya justru agak digelisahkan dengan subtema “Jadikan Aku Alat Damai Sejahtera-Mu” yang didasarkan pada Injil Yohanes 14:27. Kegelisahan itu rupanya sama seperti yang dirasakan oleh sang tokoh utama dalam novel itu, Sophie: “Siapa kamu?”. Pertanyaan itu pula yang sebaiknya mengawali diskusi kita saat ini.

Dalam dunia pemikiran filsafat, pertanyaan tersebut adalah pertanyaan pertama-tama yang kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan mengenai hakikat hidup keberadaan manusia dan dunia, serta bagaimana relasi eksistensial dengan substansi-substansi yang lain (sesama manusia, hewan, tumbuhan, lingkungan hidup). Pertanyaan “siapa kamu” adalah pertanyaan yang eksistensial. “Siapa kamu” (who are you; mindarokomu) berbeda dengan “apa namamu” (what is your name; apa sangammu). Kita bisa menyebutkan nama kita dengan singkat, tetapi mengenai hakikat diri kita atau identitas kita sebagai manusia membutuhkan suatu uraian panjang lebar dalam jangka waktu yang panjang (bisa jadi, seumur hidup ~ termasuk mengenai kepribadian, latar sosial-budaya, ekonomi dan seterusnya).

Jadi hakikat sebuah identitas itu tidak terpaku mati pada sebuah nama (seperti kata William Shakespeare: apa arti sebuah nama). Identitas kita sebagai manusia mempunyai makna yang lebih dalam, bahkan mencakup seluruh proses kesejarahan kita. Identitas kemanusiaan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dapat terus mengalami perubahan. Tetapi pada saat yang sama, ketika identitas digempur oleh berbagai realitas perubahan, ada suatu dorongan untuk mempertahankan prinsip-prinsip atau nilai-nilai utama yang tetap memagari identitas agar tidak terlebur dalam perubahan namun menjadi sumber hikmat yang memaknai perubahan.

Karena itulah, saya merasa pemakaian kata “alat” dalam subtema ini menjadikan identitas kita sebagai pemuda agak kaku dan tidak menggambarkan proses pembentukan kesadaran yang dinamis bagi peran kaum muda dalam pergumulan hidup menggereja di tengah konteks masyarakatnya.

Memaknai Identitas

Persoalan identitas adalah persoalan kemanusiaan. Manusia adalah makhluk simbolik yang selalu ingin untuk dikenal oleh orang lain. Itu pula yang sementara terjadi di jemaat Efesus.

Apa yang terjadi di Efesus? Kita bisa melihatnya pada ayat 14: perseteruan. Perseteruan (konflik) ini dilihat sebagai “tembok pemisah” antara kedua pihak: Yahudi dan non-Yahudi. Tetapi perseteruan itu adalah akibat (implikasi) dari sesuatu yang lebih mendasar yaitu “proses identifikasi sosial” (identitas); suatu proses mendefinisikan diri dan kelompok berdasarkan ciri-ciri simbolik bersama yang kemudian dilegitimasi oleh suatu ideologi superioritas kelompok tertentu atas kelompok yang lain.

Sekarang pun kita melihat betapa masyarakat dunia terperosok ke dalam perseteruan tiada henti hanya karena alasan “identitas” (agama, etnisitas, budaya, golongan ekonomi, parpol, negara maju/negara berkembang, identitas nasional/identitas primordial dsb). Termasuk pula gereja-gereja kita yang melekatkan nama kelompok primordial pada gereja: GPM, GT, GBKP dll. Walaupun mengklaim sebagai persekutuan yang terbuka, namun penamaan itu telah menciptakan citra kelompok yang eksklusif (tertutup) dimana hanya orang-orang yang berasal dari akar budaya dan bahasa yang sama yang bisa bertemu di situ. “Yang lain” (other) tidak punya tempat.

Itulah sebabnya masyarakat manusia tidak pernah bisa berhenti berkonflik. Konflik, kata George Simmel, merupakan tanda bahwa suatu masyarakat sedang bergerak maju. Malah konflik itu sebenarnya yang menciptakan masyarakat. Hal itu juga yang dicatat oleh Terrance Bigalke dalam bukunya Tana Toraja: A Social History of an Indonesian People, bahwa identitas “Toraja” itu sebelumnya belum ada sampai masyarakat yang hidup dalam tondok-tondok berhadapan dengan “yang lain” yakni Islam dan Kristen Barat (hlm. 110).

Mari kita lihat sekarang bagaimana proses identifikasi sosial yang dilakukan oleh orang Yahudi di Efesus. Supaya mereka [tampak] berbeda dengan kelompok lain non Yahudi, mereka melekatkan sejumlah atribut identitas:

  • Menciptakan istilah “bukan Yahudi” (gentile)
  • Berdasarkan tradisi: tak bersunat
  • Tidak masuk “kewargaan” Israel
  • Tidak masuk “perjanjian”
  • Tanpa pengharapan (?)
  • Tanpa Allah (?)

Seluruh atribut tersebut menjadi “tembok pemisah” yang membedakan kelompok kita (ingroup) dan kelompok mereka (outgroup). Pembedaan semacam itu dalam kenyataan sering mengerucut menjadi konflik antargolongan bahkan dengan menggunakan tindakan kekerasan. Di situlah kemudian kita menemukan bahwa “perbedaan” tidak dipahami sebagai suatu realitas yang mesti diterima sebagai anugerah, melainkan sebagai ancaman terhadap diri sendiri. Perbedaan yang seharusnya memperkaya kehidupan dengan warna-warni dinamika kelompok sosial malah terus dilihat sebagai bahaya. Sehingga kita tidak lagi merasa hidup di “taman firdaus” tetapi di “taman safari”. Yang merasa lemah selalu terancam oleh kepentingan yang kuat; yang kuat cenderung mengabaikan kehidupan yang lemah. Hukum yang berlaku adalah “hukum rimba”.

Tuhan menciptakan kita dengan kemampuan untuk membangun kebudayaan. Dalam kebudayaan, hidup kita menjadi kaya dengan berbagai simbol. Makna simbol-simbol itu bukanlah sesuatu yang baku-kaku, tetapi terus mengalami perubahan makna seiring perubahan zaman.

Kekristenan dan Transformasi Sosial-Budaya

Dalam film “Pong Maramba” kita sudah melihat bagaimana orang Toraja membangun kebudayaan dalam tatanan simbol-simbol yang maknanya mesti ditafsir ulang terus menerus (kontekstualisasi) sehingga makna itu tetap bernilai dalam membangun kehidupan bersama dalam konteks yang berubah.

Kita tidak bisa menyangkali bahwa identitas ketorajaan kita bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Identitas ketorajaan kita adalah suatu konstruksi sosial-budaya yang dibangun berdasarkan kesepakatan dan konflik dengan unsur-unsur budayawi yang lain (misalnya, Bugis, Islam dan Kristen).

Oleh karena itu, ketorajaan kita sekarang ini adalah suatu bentuk transformasi identitas yang berlangsung tanpa henti. Anda sedang berada dalam proses “menjadi” orang Toraja dan memberi makna pada identitas ketorajaan dalam perubahan zaman.

Jika kemudian para leluhur kita bersepakat untuk menerima kekristenan sebagai bagian dari identitas ketorajaan, maka itu harus dilihat sebagai cara mereka menyerap perubahan yang mereka alami pada masa hidup mereka. Hal yang sama juga perlu kita renungkan: apakah kekristenan masih bermakna memperkuat identitas ketorajaan kita menjadi identitas yang terbuka ataukah makin tertutup? Jika dalam diskursus budaya Toraja terjadi transformasi dalam memahami tongkonan sebagai “rumah bersama” (oikumenis) maka proses itu merupakan upaya memahami budaya Toraja seutuhnya dan melakukan kontekstualisasi pengalaman-pengalaman iman kristiani.

Teks Efesus menyebutkan sejumlah transformasi karena perjumpaan dengan Kristus:

  • Yang “jauh” menjadi “dekat oleh Darah Kristus
  • Tembok pemisah dirubuhkan
  • Dipersatukan oleh Damai Sejahtera
  • Reinterpretasi hukum taurat
  • Manusia baru
  • Menghadirkan damai sejahtera
  • Kedua pihak berjumpa (ayat 18)
  • Menjadi “kawan sewarga”; tidak ada “orang asing”

Kita bisa meyakini bahwa dengan segala kelemahan historisnya kekristenan telah memberikan kesempatan kepada kita untuk menafsir ulang seluruh dimensi kebudayaan Toraja sehingga menjadi kebudayaan yang terbuka bagi perubahan dan menampung perbedaan. Tetapi proses itu tidak terjadi dalam semalam. Pengalaman iman dan sejarah ketorajaan kita terus berjalan dalam dinamika perubahan zaman. Kita juga mesti jeli melihat tanda-tanda zaman. Apakah kekristenan dan ketorajaan kita menjadi sebuah identitas yang terbuka dan transformatif; ataukah hanya menjadi semacam ekstasi teologis demi kepuasan diri dan kelompok kita sendiri?

Efesus memperlihatkan bahwa pengenalan kita kepada Kristus seharusnya membuat kita menjadi sebuah komunitas yang terbuka bagi perubahan; atau istilah Pak Jonathan Parapak: “berselancar di atas ombak perubahan”. Kita tidak takut terhadap perubahan, tetapi mampu menyiasati perubahan dalam strategi dan seni kehidupan.

Jika dianalogikan: pemuda gereja adalah peselancarnya, bukan papan selancarnya. Jadi kita semua bukanlah “alat damai sejahtera Tuhan” melainkan “pelaku damai sejahtera Tuhan”. Alatnya apa? Macam-macam: ormas, organisasi gereja, organisasi politik, LSM, paduan suara, perguruan tinggi, dsb. Dengan kata lain, seluruh bidang kehidupan itu adalah “alat” atau “sarana” kita memberlakukan damai sejahtera Tuhan. Tidak ada wilayah yang kotor atau tabu bagi pelayanan menghadirkan damai sejahtera Tuhan bagi manusia (termasuk politik dan ekonomi).

Pertanyaannya: Sudahkah kita masuk dalam spiritualitas transformatif seperti itu? Ataukah kita masih terus bersibuk ria dengan hal-hal internal yang menguras energi sehingga tidak lagi berdaya “berselancar di atas ombak perubahan” sekarang ini, lalu digulung oleh ombak perubahan itu dan hancur terhempas di batu karang realitas kehidupan?

Kita sering mendengar jargon “pemuda adalah tulang punggung bangsa”. Lalu gereja-gereja kita latah dengan jargon yang sama: “pemuda adalah tulang punggung gereja”. Kenyataannya, itu tetap cuma jargon. Dalam praktiknya, kaum muda dihadapkan pada suatu sistem di mana perannya tetap dipinggirkan dan tak lebih hanya objek pelengkap. Alasannya macam-macam: masih hijau dalam pengalaman, pengetahuan belum matang, dll. Jadi yang bisa memimpin dan mengorganisasi gereja cuma kaum “ortu” saja.

Memang tidak ada salahnya. Tetapi dominasi yang berlebihan kaum ortu ini tentu menimbulkan ketidakseimbangan yang cukup parah dalam dinamika menggereja khususnya di Indonesia. Kenapa demikian? Karena pengelolaan gereja sebagai organisasi sosial membutuhkan kepekaan terhadap munculnya tantangan-tantangan baru yang mesti ditangani dengan metodologi atau cara yang baru pula. Dan tentu itu membutuhkan energi baru dari sumber daya yang masih segar. Jika kebuntuan itu tidak segera ditembus maka kaum muda gereja-gereja kita tak lebih hanya berperan sebagai pelengkap liturgi gereja (vocal group, paduan suara). Itu penting. Tetapi peran kaum muda semestinya harus lebih berbobot dan signifikan daripada hal-hal semacam itu. Dengan kata lain, saya mau mengatakan bahwa ada persoalan internal dan eksternal gereja yang tak dapat dihindari serta mesti dipikirkan dan disikapi oleh pemuda gereja kalau memang kita mau mencapai suatu sasaran yang jelas di masa depan.

Pemuda Gereja Menyikapi Tantangan Zaman

Untuk menjalani proses pematangan diri sebagai kaum muda gereja, maka dalam pemahaman saya, ada beberapa segi wawasan yang mesti menjadi kepekaan kaum muda gereja, yang kemudian bermuara pada terbentuknya karakter kaum muda gereja yang cerdas dan punya komitmen kuat terhadap pergumulan gereja dalam konteksnya.

1. Pemahaman mengenai hakikat Alkitab

Sederhananya, ada dua pemahaman mengenai apa itu Alkitab yang sangat berpengaruh terhadap sikap hidup jemaat. Pertama, pandangan bahwa Alkitab itu adalah wahyu yang disampaikan langsung oleh Tuhan. Karena itu setiap bagian dalam Alkitab tidak boleh diragukan kebenarannya. Alkitab tidak bisa salah (infalibitas). Barangsiapa meragukannya, digolongkan sebagai orang “kafir” yang perlu dilawan atau diselamatkan dari iman yang sesat. Mereka yang berpandangan seperti ini digolongkan sebagai kaum fundamentalis yang sering sangat kaku dalam memaknai pesan-pesan dalam alkitab. Biasanya pandangan seperti ini berlaku dalam jemaat-jemaat kita (sebagai konsekuensi warisan teologi kolonial).

Kedua, pandangan bahwa Alkitab merupakan tulisan-tulisan manusia yang proses pengumpulan, seleksi, penyuntingan (editing), dan pengakuannya (disebut kanonisasi) berlangsung selama berabad-abad hingga mencapai bentuknya yang sekarang. Alkitab merupakan suatu refleksi teologi, sosial, politik dan kebudayaan dari suatu masyarakat yang pernah hidup pada suatu waktu dan tempat tertentu. Sehingga untuk membaca Alkitab kita membutuhkan suatu pengetahuan tersendiri mengenai latar belakang kitab-kitab tersebut. Dengan begitu kita bisa tahu pesan apa yang mau disampaikan oleh penulis kitab, pertama-tama kepada masyarakatnya saat itu, dan kemudian kita hadapkan dengan kenyataan kita di saat ini. Apakah pesan yang sama bisa kita tangkap dan maknai sebagai bagian dari pergumulan kita juga. Dengan cara ini pesan-pesan Alkitab bisa kita maknai secara kritis dan kontekstual. Firman Allah akan ditemukan dalam sejarah manusia, bukan cuma dalam Alkitab. Karena Allah terus berfirman dalam peristiwa-peristiwa sepanjang sejarah pergumulan manusia, baik secara pribadi maupun sosial. Di sini dibutuhkan kepekaan terhadap konteks kita sendiri.

2. Kepekaan terhadap pergumulan konteks sosial

Gereja berada di dalam dunia dan masyarakatnya, bukan di awan-awan nirwana atau sorga. Selain ditopang oleh berbagai pengalaman rohani jemaatnya, gereja turut pula dibentuk oleh struktur kebudayaan dan struktur sosial masyarakatnya. Jadi gereja tidak bebas nilai, bahkan mesti terus dikritisi. Konteks sosial gereja itu yang sering mempengaruhi kemampuan gereja dalam membaca alkitab dan melihat tindakan Allah dalam sejarah dan pergulatan masyarakatnya. Oleh karena itu, di sini kita membutuhkan kepekaan terhadap pergumulan konteks sosial. Itu penting. Kalau tidak, gereja hanya menjadi ghetto (perkampungan Yahudi) yang tertutup dan “kuper” (kurang pergaulan), “gatek” (gagap teknologi). Secara fisik keberadaan gereja memang diakui, tetapi secara visi, miskin dan kering makna. Untuk itu gereja membutuhkan kaum muda yang cerdas, kritis dan cepat tanggap terhadap berbagai persoalan sosial, politik, budaya, dll. Dari mana harus memulai? Tidak dapat tidak, budaya membaca buku-buku dalam berbagai dimensinya mesti menjadi tradisi dalam kehidupan menggereja kita. Sehingga orientasi kita tidak melulu kuantitas, tetapi juga kualitas pengetahuan kaum muda gereja.

3. Penyiapan pola kepemimpinan gereja yang modern dan dinamis

Kalau proses pencerdasan kaum muda gereja sudah mencapai tahap yang optimal (meskipun pengukurannya relatif) maka paling tidak kita telah mulai membentuk karakter kaum muda yang progresif. Maka selanjutnya kita perlu melakukan review terhadap pola kepemimpinan yang berlaku dalam gereja kita. Apakah masih terpaku pada paradigma kuno yang ketinggalan zaman, atau perlu direkonstruksi sesuai prinsip-prinsip manajemen dan kepemimpinan modern yang dinamis serta mengutamakan mutu dalam pelayanannya. Kita merumuskan suatu analisis yang tajam terhadap dinamika sosial kemasyarakatan dan berani menawarkan gagasan pembaruan kepada masyarakat kita. Hanya dengan cara itu, gereja diperhitungkan dalam seluruh proses pengambilan keputusan di republik ini. Kalau tidak, kita hanya jadi minoritas yang mandul.

4. Tersedianya forum diskusi pemuda gereja yang kritis dalam pemikiran

Untuk melaksanakan itu semua tentu kita membutuhkan suatu forum diskusi yang kapabel, kritis serta terorganisasi rapi. Yang saya maksud, bukan hanya momen-momen diskusi seperti ini saja, tetapi suatu wadah resmi di mana pemikiran-pemikiran serius mengenai teologi dan masa depan gereja serta masyarakat berlangsung dengan melibatkan kelompok internal maupun eksternal gereja. Jika perlu, gagasan-gagasan tersebut diartikulasikan dan dipublikasikan secara luas kepada umum. Dengan melakukan itu, masyarakat kita juga diajak untuk menyadari bahwa gereja-gereja kita bukan lagi “agama kolonial” yang sebaiknya dibom saja karena hidup dalam “menara gading”, tetapi mereka melihat bahwa gereja sudah menjadi bagian dari pergumulan, penderitaan, tekanan ekonomi, depresi, yang mereka rasakan.

5. Membangun komunikasi pemuda lintas organisasi gerejawi dan lintas agama

Kalau anda melihat kembali keempat hal di atas, anda akan melihat bahwa gereja yang kita bicarakan bukan lagi milik jemaat kristen, tapi milik masyarakat. Sebagai bagian integral dari masyarakatnya, gereja dituntut membangun komunikasi pro-aktif dengan semua elemen kemasyarakatan. Karena konteks kita adalah pemuda, maka pemuda gereja mesti membangun komunikasi kritis dengan berbagai organisasi kepemudaan, khususnya teman-teman pemuda dari agama lain. Kita harus mengakui bahwa secara kualitatif kita telah tertinggal jauh dari teman-teman pemuda Islam. Dalam amatan saya, teman-teman Islam telah berhasil menemukan core pemikiran-pemikiran progresif khas Islami. Bila dinamika berjalan kontinyu, bukan tidak mungkin konstruksi ideologi dan struktur kenegaraan Indonesia di masa depan akan sangat dipengaruhi oleh kelompok-kelompok muda Islam yang progresif dan cerdas ini. Sementara kita, masih ribut dengan urusan kita sendiri yang tak kunjung usai. Saya khawatir jika kita menyadari hal ini dan menyikapinya secara serius, kita hanya akan dianggap parasit yang hanya bisa hidup menumpang tetapi tidak produktif.

Tema Natal 2006 ini memang sedang menantang kita untuk memaknai natal dalam perspektif yang lebih realistis. Kita tidak lagi hanya sebatas berkisah tentang kelahiran bayi Yesus yang sudah terjadi dulu, tetapi kita mengarahkan hidup kita sebagai manifestasi kehadiran Tuhan dalam kekinian dan masa depan bersama. Kita ditantang untuk menjadi persekutuan yang transformatif karena hakikat kehadiran Allah dalam karya dan hidup Kristus juga adalah suatu spiritualitas transformatif (mentolinomo Puang Matua ilan Puang Yesu). Jika kepercayaan kita kepada Kristus ternyata tidak membawa perubahan dalam diri kita maupun masyarakat kita, jangan-jangan kita salah percaya Yesus.

Saya ingin mengutip perkatan bijak dari Tana Toraja yang sebenarnya mengandung makna persekutuan yang sangat dalam: Kita raka la losong na lise ‘na bo’bo’ yang artinya “kita tidak lebih banyak dari butiran nasi”. Ungkapan itu sebenarnya merupakan ungkapan iman orang Toraja bahwa hidup ini adalah sebuah anugerah yang mesti dibagi dengan orang lain, sehingga kita tidak perlu takut akan kekurangan dan pesimis menghadapi hidup dalam rekatan persekutuan beriman.

Bukankah itu pula makna natal sebagai cara Allah berbagi kasihNya dalam derita dan hidup manusia? Oleh karena itu Natal 2006 semestinya menjadi sebuah refleksi kehidupan yang mengajak kita pertama-tama memaknai identitas kita bukan sebagai tempurung yang menghalangi visi hidup kita, tetapi sebagai suryakanta yang makin memperjelas siapa kita dan apa orientasi visioner hidup kita. Di situlah kita bisa belajar dari Sophie Amundsen, si tokoh novel Jostein Gaarder.



* Materi ini awalnya merupakan refleksi Natal Pemuda Gereja Toraja, 10 Desember 2006 di Gereja Toraja Depok. Yang memilih tema: Dialah Damai Sejahtera Yang Telah mempersatukan (Ef. 2:14) dan subtema: Jadikan Aku Alat Damai Sejahtera-Mu (Yoh. 14:27).





Menjadi Indonesia: Masihkah Realistis?

7 12 2007

Pertanyaan di atas terbuka bagi siapa saja yang ingin menjawabnya. Tentu, banyak ragam jawab dan interpretasi yang akan muncul menanggapi soal tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegelisahan untuk melanjutkan pembangunan bangsa ini sekarang makin menguat dan menggumpal dalam sikap fatalistis: apakah kita masih bisa terus berjalan dalam komitmen kebangsaan yang bernama Indonesia? Kegundahan itu bukannya tidak beralasan bila kita melihat eskalasi suhu politik tanah air yang akhir-akhir ini makin memanas. Banyak faktor yang memicu munculnya gejolak tersebut. Adalah suatu kenyataan bahwa gejolak internal berdampak sangat signifikan bagi upaya pemulihan situasi sosial Indonesia yang sementara tertatih-tatih.

Kita memang sedang membangun kembali infra- maupun suprastruktur negara kita yang sudah terpuruk selama beberapa tahun terakhir ini akibat disorientasi dalam penataan sistem bernegara di segala bidang. Tentu saja, pembangunan yang dimaksud tidak hanya dalam arti yang fisik semata, melainkan lebih pada rekonstruksi struktur kesadaran dan mentalitas kebangsaan yang dilandaskan pada ideologi nasional yang disepakati bersama. Kesepakatan ideologis itulah yang sebenarnya memberikan “roh” bagi eksistensi dan daya tahan hidup suatu bangsa. Inilah sebenarnya makna hakiki dari apa yang sering disebut nation building.

Karakter nation building itu sendiri bukanlah wahyu ilahi yang jatuh dari sorga, tetapi produk pergulatan manusia memaknai inter-relasi dengan sesamanya dalam wujud simbol-simbol kebudayaan tertentu. Simbol-simbol kebudayaan ini meski merupakan pantulan refleksi manusia universal namun toh tetap merupakan suatu ekspresi yang terkungkung dalam batasan-batasan berdimensi temporal. Apalagi ketika simbol-simbol kultural tersebut mengalami proses institusionalisasi, yang berarti dia makin memperoleh legitimasi sosial dalam pengambilan keputusan publik. Dengan kata lain, sebagai simbol-simbol kebudayaan, karakter tersebut tidak bersifat perenial, tetapi selalu mengalami metamorfosis baik secara natural maupun artifisial. Itu semua terjadi karena setiap manusia memiliki perbedaan persepsi mengenai eksistensi kediriannya di dalam konteks hidup masing-masing. Jadi, manusia itu sendiri tidak bebas nilai karena dikurung dalam “rumah” tradisi, bahasa, kekerabatan, adat-istiadat, religiositas, pandangan dunia dan pengetahuannya.

Kendati demikian, manusia tidak tenggelam dalam kenisbian kultural tersebut. Sebagai makhluk yang selalu menjadi atau berproses, manusia terus menerus memberi makna kepada dunianya dalam kerangka membangun suatu peradaban yang lebih maju daripada yang sudah ada. Oleh karena itu, manusia mesti bersosialisasi. Sebab peradaban itu sendiri mesti dibangun bersama-sama. Sosialisasi ini merupakan lompatan keluar dari kurungan kebudayaannya untuk berjumpa dengan mereka yang lain, yang juga melompat keluar dari kurungan yang sama meski konteks berbeda. Pada saat itulah terjadi perjumpaan kreatif yang mendorong terciptanya kehidupan baru dengan spektrum yang lebih kompleks dan berwarna-warni.

Karakter nation building adalah suatu bentuk lompatan keluar untuk bertemu sebagai manusia-manusia yang berkehendak secara sadar melakukan dialog komunikatif di dalam suatu tatanan sosial yang beradab. Implikasi pengertian ini mencuat dalam aspek eksternal dan internal. Secara internal, tatanan sosial yang disebut masyarakat itu secara kontinyu bergerak dengan aturan mainnya sendiri. Secara eksternal, masyarakat itu juga meretas kebuntuan komunikasi dengan masyarakat lainnya sehingga mereka bisa membentuk masyarakat dengan identitas yang lebih makro. Pada titik inilah sebenarnya kita bisa memahami makna globalisasi.

Jadi, karakter nation building itu sendiri merupakan perpaduan dinamis antara apa yang internal dan eksternal, lokal dan global. Fenomena itu sudah berlangsung berabad-abad, meski intensitas globalisasi (eksternal) lebih terasa selama beberapa dekade akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. itu disebabkan oleh gebrakan teknologi komunikasi dan informasi yang memperlancar akselerasi relasional antar-manusia, antar-bangsa, antar-peradaban.

Benturan Peradaban

Prof. Samuel Huntington, guru besar ilmu politik internasional dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, pernah mengajukan tesis mengenai benturan peradaban (clash of civilization). Ia mencermati bahwa pasca perang dingin akan terjadi suatu pergeseran besar dalam peta kekuatan politik global yang lebih banyak dimotori oleh perubahan-perubahan mendasar dalam kepentingan politik internasional dari kedua negara superpower Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Sejarah mencatat bahwa dalam dinamika hubungan internasional yang fluktuatif dan kadang-kadang memanas, Uni Sovyet tidak mampu lagi survive dengan ideologi sosialis Marxis-Leninisme sehingga ambruk dan terpecah menjadi negara-negara kecil yang sampai hari ini masih terus diguncang perang saudara. Amerika Serikat, simbolisasi kekuatan kapitalisme dunia, seolah-olah muncul sebagai pemenang. Itu juga berarti AS menjadi satu-satunya negara adikuasa. Kenyataan ini telah menggiring AS untuk menempatkan diri sebagai satu-satunya negara super-modern yang paling berpengaruh di dunia. Justru di situ soalnya: AS tidak lagi memiliki musuh utama yang mampu menjadi rival sekaligus kontrol atas segala kiprahnya. Sebagai yang demikian, AS bebas menanamkan cakarnya di segala bidang (pertahanan, ekonomi, politik, pendidikan, teknologi dsb) dan hampir di semua negara. AS menjadi kekuatan imperialisme baru yang menciptakan “musuh-musuh” ideologis baru dalam suatu jejaring global.

Kenyataan ini bagi sementara pihak menimbulkan persoalan karena AS memberlakukan double standard: menjadi kiblat modernitas sebagai garda utama kebebasan manusia (HAM), sekaligus kekuasaan yang represif. Pemberlakuan standar ganda ini paling jelas tampak dari keterlibatan AS dalam konflik Palestina-Israel. Bagi AS sendiri, sulit melepaskan citra sebagai “pihak yang selalu mengalah” ketika berhadapan dengan Israel yang “keras kepala” dalam kasus ini (sudah menjadi rahasia umum bahwa posisi-posisi vital di pemerintahan AS didominasi oleh kelompok Yahudi perantauan). Meski sebenarnya lebih bernuansa politis, namun di lingkungan internasional, konflik Palestina-Israel telah berkembang secara manipulatif menjadi konflik agama (Yahudi vs Islam). Tetapi karena Yahudi secara salah kaprah selalu dikaitkan dengan Kristen maka jadilah konflik segitiga: Yahudi-Islam-Kristen. Pada momentum inilah, menurut saya, sedang terjadi suatu benturan kebudayaan yang luar biasa hebatnya karena sudah mengalami bias ke ranah paling sensitif: agama. Apakah ini yang dimaksud Huntington sebagai benturan peradaban? Saya kurang yakin. Sebab saya percaya Huntington tidak akan mengabaikan konflik Inggris-Irlandia Utara yang juga sarat dengan muatan konflik agama (Protestan vs Katolik); atau India-Pakistan (Hindu vs Islam).

Apa yang bisa dikatakan secara singkat hanyalah bahwa pada dasarnya tidak ada satu konflik pun yang disebabkan oleh perbedaan agama. Seluruh konflik yang terjadi sebenarnya hanya memperebutkan satu saja: KEKUASAAN. Siapa yang menguasai siapa dan apa yang bisa dipakai untuk menguasai orang lain. Di sinilah sebenarnya agama pada tampilan wajahnya yang lain menunjukkan potensi dimanipulasi sebagai “senjata” untuk melumpuhkan, mematahkan kekuasaan pihak lain dan menguasainya. Agama telah menjadi fenomena sosial yang sangat ideologis. Dalam wacana ini pula, “Tuhan” sebagai Realitas Ultim-Transenden bergerak secara antropomorfis menjadi “panglima perang” yang memberangus musuh-musuhNya (atau musuh manusia?). Betapa mengerikan bila kekuasaan Tuhan sebagai Realitas Ultim takluk di bawah kekuasaan manusia yang terbatas dan definit. Kalau sudah begitu, siapa yang menjadi “tuhan”? Tuhan itu per se dalam misteri adikodrati-Nya, atau manusia yang menuhankan dan mentransendensikan kekuasaannya sendiri?

Indonesia: di persimpangan jalan

Pasca peristiwa 11 September 2001, ketegangan meruncing antara AS dengan kelompok teroris [?] yang selama ini sudah beberapa kali melakukan aksi teror dalam berbagai bentuk di AS (mungkin juga di negara-negara lain sekutu AS). Banyak analisis yang melihat pertautan antara aksi vandalis di World Trade Center New York dan Markas Pentagon Washington DC dengan kekecewaan kelompok-kelompok perjuangan nasional pembebasan Palestina atas sikap AS yang ambivalen terhadap konflik Palestina-Israel. Ada pula yang melihat bahwa rangkaian peristiwa teror ini tidak dapat dilepaskan dari kegeraman seorang Osama bin Laden yang merasa dikhianati oleh AS ketika ia (dan kelompok Al-Qaedha) berjuang melawan tirani kekuasaan despotik Uni Sovyet di Afganistan. AS sendiri yang menginjeksi energi (persenjataan) kepada Osama bin Laden saat itu dan mempunyai andil membesarkan embrio perjuangan Al-Qaedha. Meski kemudian hubungan Osama dan militer AS makin memburuk.

Ada atau tidak bukti-bukti yang menunjuk pada keterlibatan Osama memang sulit dipertanggungjawabkan. Seperti yang dikatakan oleh Mayjen TNI Sudrajat (mantan Kapuspen TNI) dalam wawancara di salah satu stasiun TV swasta baru-baru ini, bahwa pembuktian pelaku teror sulit dilakukan dan memang selama ini tidak pernah dirasa perlu untuk dilakukan. Tetapi AS membutuhkan target untuk menumpahkan kekesalannya, maka dipilihlah Osama bin Laden.

Polemik terjadi ketika figur Osama ternyata telah menjadi simbolisasi persona yang diidentikkan dengan Islam. Sehingga serta-merta aksi penyerangan ke Afganistan, yang dikuasai kelompok Taliban yang dicurigai AS telah melindungi Osama, langsung dikaitkan sebagai penyerangan terhadap Islam. Osama memang seorang muslim. Tetapi apakah Islam benar-benar terwujud dalam diri seorang Osama? Belum tentu. Islam lebih besar dan universal daripada seorang Osama bin Laden. Di sinilah sebenarnya letak crucial point ketika agama telah diperalat menjadi “senjata” kekuasaan. Kita tidak tahu lagi mana yang menjadi peubah (variabel) utama yang mesti menjadi kekuatan nilai: agama atau simbolisme persona? Prof. Ibraim Abu-Rabi, guru besar Agama Islam dari Universitas Temple, Amerika Serikat, dalam makalahnya yang disampaikan pada Congres of Asian Theologians ~ Christian Conference of Asia (Dewan Gereja-gereja Asia) di Yogyakarta Agustus 2001, mengatakan secara singkat tapi mengesankan bahwa “banyak muslim tetapi tidak semuanya adalah Islam”. Artinya, lanjut beliau, Islam pada hakikatnya bersifat universal dan cenderung dimengerti-salah oleh kaum muslim karena keterbatasan konteks dan kebudayaan mereka.

Posisi Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia cukup sulit menyikapi situasi ini. Maraknya tuntutan massa (yang menurut sebagian tokoh muslim dinilai tidak realistik) menimbulkan beragam interpretasi, mulai dari yang moderat hingga radikal. Kentara sekali bahwa perpaduan emosionalitas dan rasionalitas kadang berhimpit sedemikian rupa sehingga tidak mampu lagi dicandra secara jernih.

Solidaritas menjadi terminologi kunci yang mendorong aksi-aksi kelompok-kelompok muslim di Indonesia. Untuk itu, mereka rela berjihad (entah dalam makna apa, sebab pengertian istilah inipun sangat bervariasi). Pertanyaan saya: apakah solidaritas kepada saudara-saudara muslim di Afganistan hanya bisa muncul dari kalangan muslim? Saya kira di sini sering terjadi kesalahpahaman. Solidaritas tidak selamanya mencuat dalam aksi massif di jalan-jalan, tetapi juga bisa dalam bentuk hening, meditasi dan doa. Dan itu juga dilakukan oleh setiap orang yang masih punya hati nurani kemanusiaan (tanpa pandang apa agamanya).

Presuposisi tersebut sebenarnya hendak membentangkan realitas kebangsaan kita yang jamak (plural). Pluralitas itulah yang menjadi karakter nation building kita sebagai sebuah Indonesia. Solidaritas kita tunjukkan bukan karena Indonesia berpenduduk mayoritas muslim, tetapi karena kita memang sudah bersepakat untuk hidup dalam pergaulan global. Kita tidak kaku dengan pendekatan pluralisme global karena Indonesia telah menempa kita untuk hidup dalam solidaritas lintas-peradaban (budaya, agama, bahasa).

Jadi, pemaknaan solidaritas secara sempit hanya pada dan dari kelompok yang homogen, sama saja mereduksi makna “Indonesia” ke titik nadir peradabannya sendiri. Para bapak/ibu pendiri bangsa kita tidak memilih nama “Republik Jawa” meski suku Jawa mayoritas; mereka juga tidak memilih “Republik Islam” meski mayoritas penduduknya beragama Islam. Tetapi mereka memilih nama baru “Indonesia” yang memberi ruang hidup bagi segenap manusia dengan kekayaan ekspresi kulturalnya masing-masing. Selain pluralitas, kesetaraan di antara manusianya juga dijamin secara konsekuen. Sehingga Indonesia sebagai realitas politik baru (lahir 17 Agustus 1945) menjadi suatu tempat di mana perjumpaan kemanusiaan terjadi dan terus berlangsung. Sekali lagi, jika tetap setia pada komitmen para pendiri bangsa ini untuk membentuk suatu negara modern yang berwawasan humanis, bukan sektarian atau primordial.

Indonesia seperti itu pada hakikatnya memberikan suatu kelonggaran bagi pendewasaan berdemokrasi yang santun tanpa mesti terperangkap dalam segmen-segmen primordialisme yang vulgar. Namun, toh kalau ternyata sepanjang perjalanan sejarahnya, kita melihat bahwa untuk menjadi bangsa yang dewasa membutuhkan proses jatuh-bangun, sejauh itu mendorong pemerdekaan setiap warga negara, itu harus dipacu dan dipertahankan. Sebaliknya, bila ternyata komitmen untuk menjadi bangsa yang majemuk dengan wawasan modern tidak lagi mempunyai kekuatan ideologis yang mengikat dan pada akhirnya menciptakan polarisasi yang makin mengerucut, maka kita perlu melakukan re-visi: masih relevankah kita menyebut diri orang Indonesia tanpa suatu keterbukaan untuk menerima kehadiran orang lain secara setara? Atau kesadaran historis kita sudah menjadi begitu pejal sehingga seperti orang linglung yang lupa daratan? Atau mungkin yang lebih spesifik: masih realistiskah untuk menjadi Indonesia?





Tolak Bush atau AS

7 12 2007

Gelombang demonstrasi menolak kedatangan Presiden Amerika Serikat (AS) George W. Bush terus mengalir. Berbagai komentar pun mencuat dari para politisi, akademisi maupun rakyat. Reaksi atas kunjungan Presiden AS itu memang mesti disikapi secara arif.

Pada satu sisi, protes sebagian elemen masyarakat Indonesia mengindikasikan bangkitnya sikap kritis terhadap praktik-praktik kekuasaan despotik yang selama ini dipamerkan AS melalui berbagai kebijakan luarnegerinya. Sikap kritis itu, terutama dari rakyat Indonesia, sebenarnya merupakan pesan keras kepada pemerintah AS yang pasca Perang Dingin memproklamirkan eksistensinya sebagai “polisi dunia”. Kepongahan politik itu nampak dalam wujud kebijakan luarnegeri yang sarat kekerasan. Lihat saja sepak terjang militer AS dan sekutunya di Afganistan dan Irak. Alih-alih melahirkan demokrasi yang dijargonkan oleh Presiden Bush, kebijakan luar negeri dan kampanye antiteror AS malah menyeret rakyat negara-negara tersebut ke dalam kancah perang saudara yang paling mengerikan awal abad ini. Pada titik itu, kita harus berkonfrontasi dengan AS.

Di sisi lain, sikap kritis terhadap kunjungan Bush sebagai Presiden AS seharusnya menjadi momentum untuk menunjukkan kedewasaan politik kita sebagai suatu bangsa yang berdaulat. Untuk itu, protes yang tak kalah kerasnya juga mesti disasarkan kepada pemerintah Indonesia yang akan melakukan percakapan kenegaraan selama kurang lebih 10 jam. Transparansi agenda percakapan kedua pemimpin negara itu layak untuk diketahui dan dicermati secara luas. Agenda tersebut akan menjadi indikator apakah memang kita (Indonesia) memposisikan diri sebagai pihak tertunduk ataukah mitra sejajar dalam hubungan politik bilateral. Dalam konteks ini, keberanian kita sedang diuji untuk menunjukkan kesantunan politik sebagai bangsa yang berdaulat melalui keterbukaan dan keramahan menerima seorang tamu negara, sekaligus oposisi.

Agenda Politik Kemanusiaan

Agenda pertemuan kedua pemimpin negara ini tentu sangat berkait dengan hubungan kerjasama bilateral. Namun, hal terpenting yang mesti ditempatkan sebagai roh dari percakapan tersebut ialah upaya membangun sebuah diskursus politik dan praktik kebijakan internasional yang lebih manusiawi. Kekalahan Partai Republik dalam perebutan kursi Kongres Amerika Serikat (DPR dan Senat AS) membuktikan bahwa pemerintahan yang “keras” dan “militan” seperti yang dilakonkan oleh Bush, tidak lagi populer dan diminati oleh rakyat AS. Rakyat sudah capek dengan isu-isu kekerasan yang tak kunjung reda mendera publik AS.

Di pihak Indonesia, pemerintahan SBY-JK pun menghadapi sederetan masalah rumit yang saling bertemali. Begitu rumitnya hingga Presiden SBY merasa perlu membentuk unit kerjanya sendiri. Sayang, bukan makin mengurai kekusutan masalah, kehadiran unit kerja presiden ini justru “dianggap” memperumit masalah. Belum lagi persoalan-persoalan seperti teror di Poso, lahirnya generasi baru yang tak gentar bereksperimen dengan bom bunuh diri, kabut asap, bertambahnya orang yang terinfeksi HIV/AIDS secara signifikan setiap tahun, flu burung, sampah, tenggelamnya sebagian Sidoarjo oleh pancaran lumpur panas, dan masih banyak lagi.

Indonesia dan AS mempunyai masalah dalam negerinya masing-masing. Namun tidak dapat disangkali bahwa dalam konteks mondial saat ini setiap negara tidak bisa lagi melihat dan memperlakukan suatu masalah sebagai masalahnya sendiri. Apa yang kita hadapi sekarang ini lebih merupakan jejaring masalah berkelindan. Tetapi sepanjang sejarah hubungan Indonesia-AS, kita nampaknya selalu menjadi pihak yang terpinggirkan. Secara fisik kita diakui ada tapi visi kita acap diabaikan. Pola relasional semacam itu merupakan refleksi relasi penjajah-terjajah dalam kemasan yang lebih cantik atau “neo”. Ironisnya, kerangka pikir kita pun terbentuk secara hegemonik untuk mengidentifikasi diri dalam perspektif yang ditentukan oleh “sang penjajah” [lihat bentukan gaya hidup melalui media dan kurikulum pendidikan].

Kritik agar Indonesia tidak berlaku sebagai negara jajahan yang tidak punya harga diri patut diperhatikan secara serius. Namun indikatornya tidak bisa hanya pada sebuah peristiwa kunjungan Bush ke Indonesia dengan penyambutan yang [terkesan] berlebihan. Bush [saat ini] tidak bisa dilihat terlepas dari kekuasaannya sebagai Presiden AS. Oleh karena itu, perspektif kritis baiknya ditujukan kepada manajemen kekuasaan politik-ekonomi-pendidikan pemerintah AS yang tidak manusiawi dan punya andil besar menghancurkan masa depan bumi dan umat manusia.

Masalah-masalah pelik kita di dalam negeri saat ini tak lepas dari invisible hands AS atau sebagai dampak politik luarnegeri AS. Jika kita mendaku bahwa kita bukan bangsa terjajah, mestinya seluruh perspektif dan gaya politik nasional kita berorientasi pada kemandirian strategi politik yang kontekstual. Sebab tak terpungkiri bahwa kita sekarang memang sedang tertindas di bawah hegemoni politik-ekonomi-pendidikan AS dan negara-negara Barat lainnya, yang menjadi patron modernisasi dan demokrasi. Masalah-masalah itu tidak bisa dihadapi hanya dengan demonstrasi dan aksi bakar bendera AS saja, tetapi harus lebih substansial menusuk ke jantung persoalan kita di Indonesia: KEMISKINAN. Harga diri kita jatuh bukan karena rusaknya [sebagian] Kebun Raya Bogor untuk membuat helipad. Harga diri kita mestinya lebih terusik dengan seabreg masalah yang melilit kita dalam benang kusut kemiskinan dan kekerasan yang terus menerus menimbulkan korban jiwa dari antara anak bangsa ini.

Jika ada seorang anggota DPR yang dengan keras menolak kunjungan Presiden AS karena alasan “Orang ini penjahat perang yang tangannya berlumuran darah”, maka itu seharusnya menjadi kritik-diri kepada kita semua: apakah tangan-tangan kita bersih dari lumuran darah? Ataukah kita sebenarnya setuju dengan Bush-way tapi memolesnya dalam topeng hipokrisi agar kita kelihatan lebih “bermartabat”? Kalau memang kita menolak Bush karena kekuasaannya sebagai presiden telah menimbulkan pertumpahan darah di mana-mana, itu berarti gaya politik kita seharusnya tidak boleh menimbulkan pertumpahan darah; atau minimal berkeinginan membangun kehidupan bersama yang pluralistik dan demokratis tanpa harus selalu pamer kekuatan untuk memaksakan keinginan, seperti yang dilakukan oleh Bush, bukan? Bush adalah gambaran pemimpin yang sebenarnya tidak berkarakter pluralistik dan demokratis. Mungkin karena faktor itu pula popularitasnya hancur di dalam dan luar negeri AS. Tetapi AS tentu tidak identik dengan Bush. Nah, dengan demikian yang jadi soal lagi-lagi harus kita pilih: sebenarnya kita menolak Bush atau Amerika Serikat? Kita tunggu saja sejauh mana nyali keindonesiaan kita teruji berhadapan dengan “Mr. President”.